“Apa yang ingin kau katakan, Fe?” tanya Arina.
“Bismillah, aku ingin kau menjadi adik maduku, Rin. Aku mohon menikahlah dengan Mas Rafif,” pinta Felisa..
"Tidak, Fe. Aku tidak bisa!" tolak Arina.
"Aku tidak akan menikah lagi, Fe! Dengan siapa pun itu!" tolak Rafif.
Felisa ingin suaminya menikahi sahabatnya, yang tak lain adalah mantan kekasih suaminya. Namun, Rafif menolaknya. Apa pun keadaan Felisa sekarang, dia tidak mau menikah lagi, meskipun dengan mantan kekasih yang dulu sangat ia cintai.
Namun pada akhirnya, Rafif menyerah, dan dia bersedia menikahi Arina, mantan kekasihnya dulu yang tak lain sahabat Istrinya sekaligus Dokter yang menangani istrinya.
Rafii sudah memberikan semua cinta dan kasih sayangnya hanya untuk Felisa. Cinta itu tetap abadi untuk Felisa, meski pada akhirnya Felisa pergi untuk selamanya. Akankah Rafif bisa mencintai Arina, yang sudah rela mengabdikan dirinya untuk menjadi istrinya sekaligus ibu sambung dari anaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hany Honey, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 21 : Jangan Pernah Tinggalkan Arina
Rafif membuang napasnya dengan berat. Memang tidak ada yang bisa menggantikan Felisa di hatinya, dirinya benar-benar belum siap kehilangan Felisa, meski dokter sudah memvonis Felisa kalau umur Felisa sebentar lagi Rafif tetap tidak percaya. Namun, Tuhan memang menghendaki demikian, sesuai apa yang dokter sampaikan, bahwa jika mempertahankan bayinya, besar kemungkinan ibunya yang akan kalah. Benar seperti itu adanya, Felisa tidak kuat lagi menanhan sakitnya. Tapi, di balik semua itu, mimpi Felisa terwujud, permintaan terakhir Felisa juga terkabulkan. Felisa ini memberikan keturunan untuk suaminya, dan ingin memberikan wanita yang terbaik yang ia pilihkan untuk suaminya setelah ia pergi selamanya.
“Ummik sudah lihat keadaan Byan?” tanya Rafif.
“Kemarin sore ummik ke sana, waktu kakung sama utinya Abyan mau pulang, ummik sama abah gantian ke sana. Abyan itu anak yang kuat, dia sangat kuat, dia mampu bertahan satu minggu ini, dan berat badannya juga naik, meski sedikit,” jawab Ummik Salwa.
“Rafif minta maaf ya, Mik? Rafif selama seminggu tidak peduli dengan Byan, Rafif hanya memikirkan diri Rafif yang terlalu sakit kehilangan Felisa, padahal Felisa menitipkan malaikat kecil untuk Rafif,” ucap Rafif.
“Kamu harus bisa ikhlas, Raf. Kasihan Felisa, dia di sana sudah tidak sakit, dia di sana sudah bahagia melihat kamu dan Abyan sehat. Kalau kamu gini, bukan hanya saja menyiksa dirimu, tapi menyiksa Felisa juga di sana. Kamu harus ingat hukum alam, ada yang lahir pasti ada yang meninggal. Allah sudah memberikan skenario hidupmu seperti ini, jalani dengan ikhlas, ingat kata-kata Almarhumah yang terakhir ia sampaikan padamu,” tutur Ummik Salwa.
“Iya, Mik. Rafif salah, sudah menyiksa diri Rafif, dan mengacuhkan Abyan.”
“Bukan hanya Abyan, Arina juga kamu acuhkan!” tukas Ummik Salwa.
“Kamu sudah janji dengan Felisa, untuk bisa menerima Arina, jangan kamu ingkari itu, Raf. Abah yakin pilihan Felisa itu yang terbaik untukmu,” tutur Abah Furqon.
“Iya Rafif tahu,” jawabnya singkat.
Tidak mudah bagi Rafif menerima Arina lagi dalam hidupnya, apalagi sekarang Felisa sudah tidak ada. Rafif belum bisa menerima kenyataan bahwa Felisa sudah pergi, dan sekarang di rumahnya hanya ada Arina saja. Bagaimana bisa dia menerima Arina kembali seperti dulu, dan mencintainya lagi kalau sekarang seluruh cintanya hanya untuk Felisa saja? Rafif tidak tahu bagaimana nantinya dengan Arina, yang terpenting adalah Abyan saat ini.
“Kamu belum sarapan, kan? Itu sarapannya dimakan dulu, kamu ini kelihatan kurus sekali, gak pernah makan, kerjaannya murung begini?” ucap Ummik Salwa.
“Iya nanti Rafif makan, Rafif mau ke rumah sakit dulu, pengin lihat Abyan,” jawab Rafif.
Rafif beranjak dari tempat duduknya. Dia langsung mengambil kunci mobilnya, lalu ke rumah sakit untuk melihat kondisi Abyan. Sudah satu minggu dia tidak pernah melihat Abyan di rumah sakit, dia hanya di rumah saja, keluar hanya ke makam Felisa saja tiap pagi dan sore hari. Pesantren pun ia abaikan, semua tugasnuya di pesantren ia serahkan kepada yang lainnya.
Sesampainya di rumah sakit, Rafif langsung ke ruangan Abyan, untuk melihat kondisi Abyan. Dia melihat Arina masih di rumah sakit, masih berada di depan ruangan bayi. Setiap pagi dan sore, Arina selalu ke rumah sakit untuk melihat keadaan Abyan, dan membawakan perlengkapan Abyan yang dibutuhkan, seperti baju dan popok untk Abyan.
“Mas Rafif? Ke sini sama siapa?” tanya Arina.
“Sendiri, aku mau lihat Abyan,” jawabnya singkat dan datar.
“Oh iya, masuk saja, Mas,” ucap Arina.
“Hmm ....”
Arina mengangguk, mempersilakan Rafif ke dalam melihat putranya. Arina masih duduk di depan ruangan. Rafif masih bersikap dingin dan acuh padanya, Arina membiarkan saja, toh memang seperti itu Rafif. Rafif masih butuh waktu untuk menyesuaikan keadaannya sekarang.
Rafif melihat keadaan Abyan yang masih di dalam inkubator. Tubuhnya memang masih terlihat kecil, tapi tidak sekecil saat waktu pertama lahir.
“Maafkan abah ya, Nak? Abah baru nengokin kamu ke sini. Cepat sehat ya, Sayang? Kamu harus kuat,” Rafif hanya bisa melihat Abyan dar luar inkubator saja. Dia belum berani menggendong Abyan, karena masih terlalu kecil.
^^^
Selesai melihat kondisi Abyan, Rafif langsung keluar dan pulang. Dia tidak menyapa Arina lagi yang masih di depan menunggunya. Padahal Arina sudah bangun dari tempat duduknya, dan menyambut Rafif yang keluar dengan senyuman, tapi Rafif mengacuhkannya, tidak melirik Arina sama sekali, lalu langsung pergi meninggalkannya.
Arina mengernyitkan keningnya. Melihat Rafif yang langsung ngeloyor pulang tanpa menyapanya.
“Yang terpenting Mas Rafif sudah mau melihat keadaan Abyan. Biar dia masih mendiamiku, asal Mas Rafif sudah mau peduli dengan Abyan lagi,” batin Arina.
Arina semakin yakin, dirinya tidak akan pernah dilihat oleh Rafif, meskipun dia sangat berperan penting untuk Abyan sejak Abyan lahir. Arina menghabiskan waktunya untuk Abyan, dia tidak mau anak dari sahabatnya itu sampai kenapa-napa. Berkat ketelatenan Arini dan tim medis lainnya, Abyan semakin pesat perkembangannya.
Arina masih duduk tercenung, seraya menatap kepergian Rafif yang tanpa pamit dengannya. Malu sekali rasanya, sudah bersiap menyapa sang suami, malah dicueki begitu saja. Tapi bairlah, Arina menerima itu, Arina tahu Rafif bukan Rafif yang dulu, yang sangat mencintainya. Rafif sekarang sudah untuk Felisa saja.
“Aku salah, aku yang bodoh, kenapa mau berada di posisi seperi ini? Iya aku masih mencintainya, tapi aku terlalu bodoh dipermainkan perasaanku sendiri. Ah tidak, aku tidak bodoh, aku lakukan ini demi sahabatku yang aku sayangi. Sekarang tugasku hampir usai, Fe. Nanti kalau Abyan sudah benar-benar sehat, tumbuh jadi balita yang sehat, aku pamit pulang saja ya, Fe? Aku tidak sanggup tinggal dengan suami yang tidak mencintaiku, Fe. Maafkan aku,” batin Arina.
**
Rafif masih terdiam di dalam mobilnya. Ia belum menyalakan mesin mobilnya. Ia tadi langsung pulang tanpa peduli pada Arina yang terlihat hendak menyapanya.
“Fe, aku tidak bisa menggantikan kamu dengan siapa pun. Meskipun Arina pernah aku cintai, rasanya aku tidak bisa, Fe. Tolong jangan paksakan aku untuk tetap menjadikan Arina istriku, aku lebih baik sendiri mengurus Abyan,” ucap Rafif.
Rafif menyalakan mesin mobilnya, ia langsung melajukan mobilnya untuk pulang ke rumah. Ia ingin sekali membicarakan pada orang tuanya kalau dirinya tidak bisa menggantikan Felisa dengan siapa pun, dan ingin berniat untuk melepaskan Arina jika nanti Abyan sudah berada di rumahnya.
Sesampainya di rumah, Rafif malah melupakan niatnya untuk bicara soal Arina, bahwa dia akan melepaskan Arini. Rafif malah langsung masuk kamar dan berbaring di ranjang yang biasa ia tiduri bersama Felisa.
“Kebahagiaan kita kenapa sesingkat ini, Fe?” ucap Rafif, dengan memejamkan matanya.
Rafif malah tertidur dengan membayangkan Felisa. Ia merasakan kehadiran Felisa di sisinya. Sunggung seperti nyata, Felisa mencium pipinya dengan lembut. “Jangan pernah tinggalkan Arina.”
Suara lembut mirip suara Felisa terdengar sangat jelas, hingga membuat Rafif membuka matanya dan bangun dari tidurnya.
“Apa aku mimpi? Tapi seperti nyata?” batin Rafif.