Bayangan indahnya hidup setelah sah menjadi seorang istri, tidak dirasakan oleh Mutia Rahma Ayunda, ternyata ia hanya dijadikan alat untuk mencapai ambisi suaminya , Rangga Dipa .
Setelah menikah, Rangga yang berasal dari keluarga kaya,berusaha mewujudkan semua mimpinya untuk memiliki fasilitas mewah dengan mengandalkan istrinya. Rangga hanya menafkahi Mutia dengan seenaknya, sebagian besar uangnya ia pegang sendiri dan hanya ia gunakan untuk kepentingannya saja, Rangga tidak peduli dengan kebutuhan istrinya. Sampai mereka dikaruniai anakpun, sikap Rangga tidak berubah, apalagi ia masih belum bisa move on dari mantan pacarnya, Rangga jadi lebih mengutamakan mantan pacarnya dari pada istrinya.
Kehidupan Mutia sering kali diwarnai derai air mata. Mampukah Mutia bertahan, dan akankah Rangga berubah?.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cicih Sutiasih, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Curahan Isi Hati
Rangga dan Mutia sudah sampai di tempat yang mereka tuju, ternyata mereka sudah di sewakan sebuah cottage yang indah di daerah wisata yang terkenal dingin di kotanya.
"Wah...bagus sekali pemandangannya, sudah lama aku ingin main ke tempat yang banyak kebun teh seperti ini, baru kali ini tercapai", senyum Mutia begitu ia keluar dari mobil.
Hamparan kebun teh yang menghijau terbentang luas sejauh mata memandang. Hembusan angin yang terasa sejuk pun langsung menerpa wajah dan tubuhnya.
"Terima kasih sudah membawaku ke sini, terima kasih sudah mewujudkan satu per satu impianku", ucap Mutia sambil berjalan mendekati Rangga yang masih berdiri di depan mobilnya.
"Impian apa", ucap Rangga datar.
"Pertama..., impian menikah, aku ini sering mendapat ejekan dan cibiran dari tetangga-tetangga, aku ini dibilang perawan tua, karena dianggap telat menikah, padahal itu semua karena aku menghabiskan masa remajaku di sekolah sampai kuliah",
"Teman-teman aku sudah menikah saat usia belia, karena mereka banyak yang putus sekolah, namun setelah menikah dengan Mas, predikat perawan tua itu sudah tidak aku sandang lagi", senyum Sinta.
"Kedua..., impian untuk bisa main ke sini, ke tempat wisata, sejak kecil aku hanya berkutat di rumah saja, dan ke sekolah, sekalinya ada kegiatan study tour, aku selalu tidak bisa ikut, selain terkendala masalah biaya, Bapak juga selalu melarang, Bapak sangat menyayangi aku, jadi selalu takut kalau aku kenapa-kenapa saat sedang berjauhan dengan Bapak", ucap Mutia sembari menerawang.
"Sekarang, setelah aku menikah, Bapak sudah merasa tenang, karena Bapak yakin, kalau sudah ada suami yang akan melindungi aku, kata Bapak, suami itu kepanjangan tangan seorang ayah, ayah memberikan tongkat estapetnya kepada suami anak perempuannya untuk meneruskan cinta dan kasih sayangnya", Mutia melirik ke arah Rangga yang ternyata sedang menatapnya juga.
"Glekk...", Rangga menelan ludahnya, ucapan Mutia barusan telak menusuk jantungnya. Belum apa-apa, Rangga sudah membuat kehidupan Mutia seperti di padang pasir, gersang dan sejak awal dirinya hanya menjadikan pernikahannya dengan Mutia sebagai tameng untuk bisa terus berhubungan dengan Sinta.
Bagaimana mungkin Rangga bisa meneruskan kasih sayang orang tuanya Mutia, sementara hatinya belum seratus persen bisa move on dari Sinta. Cinta yang bercabang dua itu akan selalu menyakitkan salah satunya.
"Kenapa?, ada apa?", tatap Mutia. Ia melihat Rangga terus menatap kosong kearahnya.
"Ah..., tidak..., aku hanya ..., bagaimana ya..., kok ada wanita seperti kamu, padahal kamu bisa memilih teman sendiri saat sekolah, apalagi saat kuliah, kenapa tidak mencari jodoh yang sama-sama satu kampus, gampang kan, kalian hampir lima tahun bersama, masa tidak ada satu pun yang kamu suka, atau mungkin ada teman pria yang naksir kamu kan?, kok malah menunggu jodoh pilihan ayahmu",
Mutia tersenyum mendengar ucapan Rangga barusan.
"Aku ini anak perempuan satu-satunya, aku ini penakut", senyum Mutia.
"Aku takut jika harus jauh dengan Ayah dan Ibu, jadi aku selalu menurut saja sama mereka, mereka tidak melarang aku untuk pacaran, mereka hanya ingin aku selalu mengenalkan teman pria aku kepada mereka",
"Dan anehnya..., setiap aku mau mengenalkan teman priaku kepada Ayah dan Ibu, eh..., mereka malah kabur, tidak jadi, bahkan tidak mau",
"Dari sana aku bisa menilai sendiri, kalau mereka hanya mau main-main saja, mereka hanya mau having fun saja, tidak serius, jadi ya..., sejak itu aku memutuskan untuk tidak pacaran dulu sebelum menikah", kembali Mutia tersenyum.
"Terus..., kenapa kamu langsung setuju saat ayahmu memilih aku untuk menjadi pendampingmu, padahal kita belum pernah bertemu", kini Rangga tampak serius, ia melihat ke arah Mutia.
"Hhmm...kenapa ya?, aku sendiri tidak tahu", kekeh Mutia.
Ini adalah pertama kalinya Mutia tertawa dihadapan Rangga.
'Manis sekali....', batin Rangga bicara, ia memuji Mutia.
"Tapi yang jelas..., aku percaya pada pilihan Bapak, Bapak tidak mungkin membuat hidup putrinya menderita dengan memilihkan jodoh yang salah, apalagi Bapak bilang, Mas itu anak dari sahabat Bapak sendiri, jadi aku tambah yakin saja",
"Kalau perkiraanmu salah bagaimana?", kembali Rangga menatap Mutia.
"Hhmm..., aku pasrah saja, aku hanya hanya bisa berdo'a agar yang salah itu bisa kembali ke jalan yang benar", kembali Mutia tersenyum.
"Aku sudah mengetahui soal Sinta Mas, dia itu wanita impianmu kan?, aku tahu..., Mas terpaksa menuruti keinginan orang tua kita untuk mengikat persahabatan dengan pernikahan", kini Mutia menatap Rangga.
"Tapi bukan berarti aku harus mundur Mas, pernikahan itu bukan main-main, pernikahan suatu perjanjian, janji suci dengan pemilik seluruh alam ini",
"Aku akan mencoba bertahan , semoga aku diberi kekuatan untuk tetap bertahan dalam ikatan sakral ini", kini Mutia menunduk.
"Mas..., setiap kali aku dihina, dicaci, dan dicibir oleh teman dan tetangga gara-gara belum menikah juga, aku selalu berdo'a agar secepatnya aku dipertemukan dengan jodoh",
"Jodoh yang pasti, dan setelah bertemu Mas..., aku yakin, kalau Mas itu orangnya, jodoh yang selama ini aku minta dalam setiap do'a, jadi..., apapun adanya dirimu, aku akan ikhlas menerima", Mutia makin menunduk.
Baru kali ini Mutia mengutarakan semua isi hatinya, kepada pria yang sudah sah menjadi suaminya, walaupun ia tahu, hati suaminya kini masih bercabang dua.
"Aku tidak mencintai kamu Mutia, dan soal kejadian semalam , itu terjadi diluar akal sehatku", ucap Rangga datar.
"Aku tahu itu Mas..., walau rasanya sakit, tapi aku tidak bisa apa-apa",
"Dan soal semalam, itu sudah hak mu Mas, aku sudah sah menjadi istrimu, itu bukan suatu dosa",
"Justru aku yang akan berdosa jika menolaknya", Mutia kembali menunduk.
"Aku kira kamu ...",
"Cukup Mas, jangan bahas itu lagi, aku akan selalu sabar dan akan terus bertahan sampai Mas sadar, kalau selalu ada wanita yang akan terus menunggu untuk dicintai", Mutia makin menunduk, suaranya terdengar bergetar.
Pandangan keduanya kini tertuju pada suara langkah kaki yang kian mendekat. Suara hentakan sepatu wanita yang kian mendekat.
"Aduh..., di sini rupanya kamu sayang, aku telpon kok tidak diangkat, kakiku sampai pegal nih", cerocos Sinta yang kini sudah berada dihadapan mereka.
"Ini tempatnya?, aku sudah boleh masuk kan?, cape nih...", Sinta nyelonong hendak masuk.
"Jangan Sin...!", cegah Rangga.
"Ini sudah dipesan Papi untuk kita berdua, aku dan Mutia, kalau kamu ikut masuk, Papi bisa ngamuk",
"Nanti..., aku pesankan kamar untuk kamu", Rangga mendekati Sinta.
Sementara Mutia sudah lebih dulu masuk, ia tidak ingin lebih lama menyaksikan adegan antara Sinta dan suaminya.
Rangga tadinya hendak menyusul Mutia, namun tangannya keburu disambar oleh Sinta.