Lila pergi ke ibu kota, niat utamanya mencari laki-laki yang bernama Husien, dia bertekad akan menghancurkan kehidupan Husien, karena telah menyengsarakan dia dan bundanya.
Apakah Lila berhasil mewujudkan impiannya. Baca di novelku
DENDAM ANAK KANDUNG.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darmaiyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 5
Lila Demam
"Apa kamu nyaman berada diperlukan ku." bisik Vito di telinga Lila.
Reflek Lila menarik tubuhnya, lalu mendorong Vito agar segera menjauh.
"Luka sudah selesai dijahit. Kamu sudah boleh pulang, tapi ingat jangan sampai kena air." ujar dokter Alfad memberi penjelasan, seraya menyerahkan resep obat ke Lila.
Vito mengambil resep obat dari tangan dokter, sebelum sampai ke tangan Lila, menyerahkan ke Niko dan memintanya untuk menebus ke apotek.
"Terima kasih. Dok!" ucap Lila seraya turun dari tempat tidur.
"Apa butuh kursi roda?" tanya dokter saat melihat Lila kesulitan untuk menggerakkan kaki kanannya.
"Tidak perlu. Dok!" ujar Vito mengangkat tubuh Lila.
"Turunkan saya. Tuan!" Lila merasa tidak nyaman berada di dalam gendongan Vito dan dia juga risih dengan pandangan orang lain.
Vito tidak memperdulikan ucapan Lila, dia menggendong Lila hingga sampai ke parkir dan memasukkan dalam mobil.
"Terima kasih, Tuan sudah begitu baik dengan saya." ucap Lila begitu Vito mendudukkannya dengan hati-hati.
"Tidak usah berterima kasih, saya melakukan ini, karena kamu sudah menyelamatkan Yura."
Vito tidak mau kalau perhatiannya disalah artikan Lila. Dia sama sekali tidak tertarik dengan Lila dan tak ada niat untuk berselingkuh dari Yura.
"Antar dulu Lila." titah Vito kala Niko sudah datang dari menebus obat untuk Lila.
Mobil perlahan meluncur meninggalkan rumah sakit menuju jalan raya. Jalan sudah terlihat gelap, lampu-lampu di sepanjang jalan sudah menyala, menandakan hari sudah memasuki malam.
Lila yang baru dua hari di ibu kota, tentu belum tahu arah jalan menuju apartemen Ismara dan bahkan dia tidak mengantongi alamat apartemen tempatnya menumpang. Sementara Ismara yang sedang berada di Bandung, dihubungi ponselnya tidak aktif.
"Niko ke apartemen ku saja." ujar Vito setelah berkali-kali gagal menghubungi Ismara.
Niko memutar balik mobilnya menuju apartemen pribadi Vito. Beberapa menit kemudian Mobil yang di bawa Niko memasuki kawasan elit. Begitu sampai Niko menghentikan mobil yang dikendarainya, Niko keluar membuka pintu mobil untuk Vito.
"Jangan sampai Yura tahu kalau aku membawa Lila ke sini." bisik Vito. Niko hanya mengangguk.
Vito membuka pintu mobil dan dia kembali menggendong Lila naik ke lantai tiga. Setelah sampai di rumahnya, Vito membawa Lila ke kamar dan meletakkannya di atas tempat tidur.
"Kamu boleh istirahat senyamannya di kamar ini." ujar Vito.
"Bagaimana aku bisa istirahat dengan nyaman, kalau tubuhku saja kotor begini." sahut Lila seraya memperlihatkan noda kopi yang masih meninggalkan bercak di kemeja yang dia pakai.
"Kamu tunggu sebentar. Aku akan menyuruh Niko untuk membelikan perlengkapan mu."
"Nomor 38." ucap Lila spontan.
"38 maksudnya?" Vito bertanya bodoh
"Bra." jawab Lila malu nyaris tak terdengar.
Vito tertawa ngakak melihat wajah Lila yang memerah bagai kepiting rebus, dia sama sekali tak menyangka kalau Lila akan memberikan jawaban sepolos itu. Lila meraih bantal dan melemparnya ke arah Vito, karena merasa Vito menjadikannya lelucon. Vito berlari keluar sebelum bantal terbang menyentuh tubuhnya.
Sepeninggalan Vito ponsel Lila bergetar, Ismara menelepon balik padanya, meminta maaf karena baru sempat membuka ponsel dan Ismara mengabarkan kalau ibu meninggal dunia.
"Innalillahi wa Inna ilaihi Raji'un." ucap Lila, kemudian panggilan telepon pun terputus.
Lila yang berniat ingin menanyakan alamat apartemen Ismara akhirnya batal.
"Sebaiknya jangan ganggu Ismara dulu." batin Lila seraya merebahkan tubuh lelahnya yang terasa pegal dan sakit, Semua ini gara-gara kenekatan yang baru dia lakukan.
*****
Vito turun ke bawa menemui Niko yang menunggunya di dalam mobil.
"Antar aku pulang ke rumah, setelah itu kamu beli perlengkapan wanita."
"Perlengkapan wanita? untuk apa Tuan?"
"Yah.. Untuk Lila lah, masa untuk aku."
"Oh.. kirain untuk Tuan." seloroh Niko seraya tertawa.
"Jangan lupa size 38." bisik Vito.
"Size apa?"
"Bra." bisik Vito
"Hah! tuan sudah melihat."
"Sembarangan kamu." ucap Vito seraya menonjok Niko yang sedang tertawa lepas.
"Nona Lila cantik ya Tuan."
"Matanya di jaga, jangan jelalatan." ujar Vito seraya membuka pintu mobil.
"Ayok jalan. Yura sudah menelepon dia mau ke bandara, terlambat dikit bisa ngambek nanti." sungut Vito tak jelas.
Lima belas menit kemudian Mobil yang di setir Niko sampai ke rumah mertua Vito. Vito turun dan memberi pesan pada Niko agar kembali lagi pukul 09.00 wib bertemu di apartemennya.
Baru saja Vito masuk ke rumah, Yura sudah berdiri dari duduknya, sebelah tangan menggapai travel bag.
"Ke mana saja kamu!" terdengar ciri khas suara Yura yang nyinyir karena sedang kesal, dia sudah menunggu hampir sepuluh menit.
"Maaf sayang, tadi terhalang macet." ujar Vito berbohong seraya mencium kening Yura, lalu beranjak mengambil kunci mobil di atas nakas.
Yura melangkah keluar dan menunggu Vito di dalam mobil, Vito memasukkan travel bag ke bagasi, setelah itu mobil meluncur menuju bandara. Tiga puluh menit kemudian mobil berhenti, Vito keluar membukakan pintu untuk Yura dan mengambil travel bag di bagasi, Vito mengantar Yura untuk cek in, setelah itu dia pulang.
Pukul 09.15 menit baru Vito sampai ke apartemennya, saat dia turun dari mobil, Niko sudah menunggunya di parkiran.
"Ini pesanan Tuan." Niko menyerahkan bungkusan plastik berwarna putih itu ke Vito.
"Jangan sampai main hati dengan Lila. Tuan." bisik Vito.
"Aman. Aku pria setia." ujar Vito seraya menepuk dadanya bangga.
Niko akui selama tiga tahun menjadi supir Vito, Vito tidak pernah dilihatnya bermain dengan wanita lain, walaupun Yura selalu memperlakukannya semena-semena.
"Kamu pulang dan istirahat lah dengan tenang." ujar Vito.
"Siap Bos!" sahut Niko seraya mengangkat tangannya sebagai tanda laksanakan perintah.
Niko masuk ke mobil, membunyikan klakson tanda pamit dan dia pun meluncur ke jalan raya meninggalkan Vito.
Sepeninggalan Niko, Vito membalikkan tubuhnya masuk ke pintu utama apartemen dan langsung naik ke atas menuju kediamannya.
Perlahan Vito memutar gagang pintu, menguakkan daun pintu setengah lebar, matanya menatap tubuh yang terbaring di tempat tidur dengan posisi membelakanginya, Vito mendekat dan dia melihat jelas tubuh Lila yang berada di bawah selimut bergerak-gerak.
"Lila! kamu kenapa?" ujar Vito khawatir saat melihat ada getaran di balik selimut, Lila menggigil hingga bibinya ikut bergetar. Vito meraba dahi Lila, terasa panas, ternyata Lila demam.
"Kamu demam?" Lila mengangguk lemah.
"Ya Tuhan! bagaimana ini?" Vito meraup wajah dengan kedua tangan menandakan dia sedang tidak baik-baik baik saja.
Vito bingung dia tak tahu harus berbuat apa. Vito merogoh ponselnya menelepon Niko.
"Sial! Niko kenapa ponselmu kau matikan." maki Vito. Tentu saja Niko mematikan ponselnya, karena tadi Vito menyuruhnya pulang dan istirahat dengan tenang.
Dalam kebingungannya Vito teringat dengan teman lamanya yang berprofesi sebagai dokter, dia pun menelepon Rani.
"Ran! ke rumahku sekarang." titah Vito begitu panggilan telepon terhubung.
Sementara menunggu kedatangan Rani, Vito mondar-mandir di depan pintu rumahnya, begitu Rani datang Vito langsung membawanya ke kamar Lila.
Rani menyingkirkan selimut tebal yang menutupi tubuh Lila, dia meminta Vito menyiapkan air hangat kuku di dalam mangkok dan handuk kecil. Rani mengompres Lila dengan air tersebut, Rani juga meminta Vito membuatkan teh hangat untuk Lila.
Setelah dikompres dan minum teh hangat, suhu tubuh Lila mulai stabil, dia sudah tidak merasa dingin dan menggigil lagi.
"Bagaimana keadaan Lila. Ran?" tanya Vito kala Rani selesai memeriksa Lila.
"Dia baik saja, luka di kakinya yang membuatnya demam, tapi ini demam biasa, kalau sudah makan obat dan istirahat cukup akan segera membaik."
"Lila! kamu makan dulu ya, setelah itu baru minum obat." ujar Vito membantu Lila duduk dan bersandar, Vito menyodorkan sendok yang berisi bubur ayam yang tadi dibelikan Niko ke mulut Lila.
"Aku bisa makan sendiri. Tuan!" Lila meraih mangkok di tangan Vito, tapi karena kondisinya lemah dan tangannya gemetar hampir saja bubur itu tumpah kalau tidak di tahan Vito.
"Vito saja yang menyuapi, Kamu masih terlalu lemah." saran Rani seraya meletakkan empat butir obat di atas nakas.
Lila akhirnya menurut di suapi Vito, setelah makan beberapa sendok, Lila merasa mual dan Vito meminta menghentikan suapannya.
"Tidak apa-apa, setelah minum obat nanti mualnya akan hilang." Rani menjelaskan ketika melihat Vito mulai panik lagi.
Setelah makan dan minum obat, Lila merasa tubuh hangat, rasa dingin seketika menghilang. Lila meminta Vito keluar, karena dia ingin membersihkan tubuh dan mengganti pakaian. Vito menggendong Lila ke kamar mandi, kemudian meminta Rani untuk menemani Lila.
"Jangan sampai luka di kakinya basah." pesan Vito sebelum ke luar kamar.
"Vito sangat peduli dengan mu, apa kamu punya hubungan spesial dengannya?" Pertanyaan Rani membuat Lila mengalihkan pandangannya ke wajah dokter cantik itu.
"Mana mungkin saya punya hubungan dengan Tuan Vito. Tuan Vito orang kaya dan sangat disegani, sementara saya..." Lila tidak melanjutkan ucapannya, dia malah tertawa kecil, membuat dokter Rani semakin penasaran.
Rani tidak percaya dengan ucapan Lila, karena Rani tahu betul bagaimana karakter Vito. Vito tidak pernah peduli dengan siapapun yang bukan orang terdekatnya. Tapi Rani tak mau ikut campur dengan urusan Vito, dia tidak mau Vito marah dan memutuskan hubungan kerja dengan kliniknya
"Kamu itu cantik dan muda, saya tidak percaya kalau Vito tidak tertarik denganmu." ujar Rani lagi.
"Ah.. Dokter bisa saja." sahut Lila sambil mengeringkan rambutnya yang basah dengan handuk.
Rani memanggil Vito setelah memastikan Lila sudah bersih dan Rapi. Vito masuk ke kamar mandi menggendong Lila dan kembali meletakkan di tempat tidur, Vito pun kemudian keluar membiarkan Rani dan Lila berduaan.
"Vito itu orangnya sangat romantis dan baik hati, tapi sayang istrinya galak." bisik Rani sambil memasukkan stetoskop ke dalam tasnya.
"Kamu harus hati-hati." Rani memperingati Lila, Lila hanya tersenyum menanggapi ucapan Rani.
Rani melihat jam di pergelangannya sudah menunjukkan pukul 11 lewat lima belas menit, dia berpamitan dengan Lila dan berpesan ke pada Lila agar banyak istirahat dan minum obat yang telah diresepkan.
"Terima kasih. Dok!" Ucap Lila saat Rani beranjak keluar kamar.
Melihat Rani keluar dari kamar Lila, Vito menawarkan minuman. Namun ditolak Rani karena dia harus kembali ke rumah sakit.
"Simpananmu ternyata lebih cantik dan lembut dari Yura." bisik Rani membuat mata Vito melotot. Rani tertawa lepas kala melihat ekspresi temannya.
"Jangan sampai merasa nyaman dengan gadis itu." seru Rani seraya melambaikan tangan, dan melangkah masuk lift meninggalkan rumah Vito.
Prank... Vito terkejut saat mendengar suara berisik dari kamar Lila, tanpa pikir panjang dia menutup pintu rumah dan segera berlari membuka pintu kamar Lila.
"Lila!" teriak Vito kaget.
Apa yang terjadi dengan Lila
Baca kelanjutannya di part 6
thanks you