Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 16 : Bayang-Bayang Masa Lalu
Pagi di Semarang terasa sedikit lebih dingin dari biasanya, dengan kabut tipis yang menyelimuti kota.
Aira dan Raka duduk di sebuah kafe kecil di daerah Banyumanik, tempat mereka sering menghabiskan waktu untuk mengobrol santai sambil menikmati kopi.
Aira mengenakan sweater abu-abu lembut dan celana jeans, rambutnya di kuncir rendah, sementara Raka mengenakan kemeja flanel biru tua dengan lengan digulung, matanya sesekali melirik ponsel untuk memeriksa pesan dari klien.
Mereka sedang merencanakan langkah berikutnya menuju pernikahan, membahas tanggal, konsep sederhana yang mereka inginkan, dan siapa saja yang akan mereka undang.
Tapi di balik suasana hangat itu, ada sesuatu yang mengganjal di hati Aira, sesuatu yang dia coba abaikan sejak beberapa hari terakhir.
“Aira, kamu pikir kita undang berapa orang? Aku pengen acara kita intimate, cuma keluarga sama temen terdekat,” kata Raka, menyesap kopi susunya sambil menatap Aira dengan penuh perhatian.
Aira tersenyum kecil, mencoba fokus pada percakapan.
“Aku setuju, Raka. Kita undang keluarga deket, temen-temen dari komunitas penulis, sama beberapa klienmu yang udah deket sama kita. Mungkin… 50 orang cukup, ya?” jawabnya, tapi suaranya terdengar sedikit tidak yakin.
Raka memandang Aira, alisnya terangkat.
“Aira, kamu baik-baik aja? Dari tadi aku ngerasa kamu kayak… enggak fokus. Ada apa?” tanyanya, tangannya meraih tangan Aira di atas meja.
Aira menghela napas, menunduk sejenak sebelum menatap Raka.
“Aku… aku sebenarnya mau ceritain sesuatu, Raka. Tapi aku takut kamu khawatir. Aku… aku dapet pesan aneh beberapa hari ini,” katanya, suaranya pelan.
Raka mengerutkan kening, ekspresinya berubah serius.
“Pesan aneh? Dari siapa, Aira? Ceritain ke aku,” desaknya, nadanya penuh perhatian.
Aira mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi pesan dan menunjukkan beberapa pesan anonim yang dia terima.
Pesan-pesan itu singkat tapi penuh sindiran.
“Ceritamu cuma numpang tenar, ya? Aku tahu siapa kamu sebenarnya,” bunyi salah satu pesan.
“Nikmati aja popularitas mu, Aira. Tapi hati-hati, masa lalu bisa balik kapan aja,” bunyi pesan lainnya.
Aira menatap Raka, matanya penuh kecemasan. “Aku enggak tahu siapa yang kirim ini, Raka. Aku… aku takut.” Raka membaca pesan-pesan itu dengan ekspresi serius, tangannya meremas tangan Aira dengan lembut.
“Aira, kamu enggak perlu takut. Aku di sini, ya. Kita cari tahu bareng siapa yang kirim ini. Tapi… apa kamu punya firasat siapa yang mungkin lakuin ini? Mungkin… seseorang dari masa lalu kamu?” tanyanya, suaranya hati-hati.
Aira menunduk, pikirannya melayang pada masa lalu yang dia coba lupakan.
“Aku… aku enggak yakin, Raka. Tapi… aku tiba-tiba teringat sama seseorang. Nama dia Rian. Dia… dia temenku waktu kuliah. Kami deket banget, tapi… hubungan kami berakhir buruk,” katanya, suaranya gemetar.
Raka mendengarkan dengan penuh perhatian, tangannya masih memegang tangan Aira.
“Ceritain lebih lanjut, Aira. Apa yang terjadi sama kamu dan Rian?” tanyanya, nadanya lembut tapi tegas.
Aira menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk bercerita.
“Waktu kuliah, aku dan Rian sama-sama suka nulis. Kami sering bikin cerita bareng, ikut lomba bareng, dan… aku pikir kami punya hubungan yang spesial. Tapi ternyata, Rian… dia nyalin cerita yang aku buat dan bilang itu karyanya sendiri. Aku marah banget, Raka. Aku konfrontasi dia, dan kami bertengkar hebat. Aku bilang aku enggak mau ketemu dia lagi. Terakhir aku denger, dia pindah ke luar kota setelah lulus. Tapi… aku takut dia balik, dan… dia yang kirim pesan-pesan ini,” jelas Aira, air mata mulai menggenang di matanya.
Raka menarik Aira ke dalam pelukannya, membiarkan wanita itu menangis di dadanya.
“Aira… aku minta maaf kamu harus ngalamin itu. Tapi kamu enggak salah, Rian yang salah. Aku janji, aku bakal bantu kamu cari tahu siapa yang kirim pesan ini. Kita hadapin bareng, ya,” katanya, suaranya penuh kelembutan.
Aira membalas pelukan Raka, merasa sedikit lega karena bisa berbagi beban ini.
“Makasih, Raka. Aku… aku takut dia mau sabotase karierku. Aku takut dia bikin orang-orang benci aku,” katanya, suaranya gemetar.
Raka mengusap punggung Aira dengan lembut, mencoba menenangkannya.
“Enggak ada yang bisa sabotase kamu, Aira. Pembaca mu tahu kamu penulis yang tulus, dan aku tahu siapa kamu sebenarnya, orang yang penuh cinta dan kerja keras. Kita cari tahu bareng, ya. Aku bakal kontak temenku yang paham teknologi, mungkin dia bisa bantu lacak nomor yang kirim pesan ini,” katanya, nadanya penuh tekad.
Setelah dari kafe, mereka kembali ke apartemen Aira. Raka langsung menghubungi temannya, seorang teknisi bernama Dani, yang berjanji akan mencoba melacak nomor anonim itu.
Sementara menunggu kabar, Aira duduk di sofa, memeluk bantal dengan ekspresi cemas. Raka duduk di sampingnya, tangannya memegang tangan Aira untuk memberikan rasa aman.
“Raka… aku takut kalau ini beneran Rian. Dia… dia orang yang pendiam, tapi aku tahu dia bisa nyimpan dendam. Aku… aku enggak mau masa laluku ngerusak apa yang kita punya sekarang,” kata Aira, suaranya hampir seperti bisikan.
Raka menatap Aira, matanya penuh keyakinan.
“Aira, masa lalu kamu enggak bakal ngerusak apa yang kita punya. Kita udah lewatin banyak hal bareng, dan ini cuma satu rintangan kecil. Aku janji, aku bakal lindungin kamu. Aku… aku enggak bakal biarin siapa pun nyakitin kamu,” katanya, nadanya tegas.
Aira tersenyum kecil, merasa ada kekuatan yang muncul dari kata-kata Raka.
“Makasih, Raka. Aku… aku enggak tahu apa yang bakal aku lakuin tanpa kamu,” katanya, lalu bersandar di dada Raka, mendengarkan detak jantung pria itu yang terasa menenangkan.
Sore itu, Dani akhirnya menghubungi Raka dengan kabar.
“Aku berhasil lacak nomornya, Raka. Nomor itu terdaftar atas nama Rian Pratama, alamatnya di Semarang. Aku kirim detailnya ke kamu,” kata Dani melalui telepon.
Aira, yang mendengar percakapan itu, merasa jantungnya berdegup kencang.
“Rian… beneran dia,” gumamnya, wajahnya pucat.
Raka memegang tangan Aira erat, mencoba menenangkannya.
“Aira, tenang. Kita tahu siapa dia, dan kita tahu dia di Semarang. Aku… aku pikir kita harus ketemu dia, Aira. Kita harus selesain ini, aku enggak mau kamu hidup dalam ketakutan,” katanya, nadanya penuh tekad.
Aira menatap Raka, matanya penuh keraguan.
“Raka… aku takut ketemu dia. Aku… aku enggak tahu apa yang harus aku bilang,” katanya, suaranya gemetar.
Raka menggeleng, tangannya menyentuh pipi Aira.
“Kamu enggak perlu bilang apa-apa kalau kamu enggak siap, Aira. Aku yang bakal bicara sama dia. Aku cuma mau dia tahu kalau dia enggak bisa ganggu kamu lagi. Aku… aku bakal lindungin kamu,” katanya, nadanya penuh keyakinan.
Setelah beberapa saat berpikir, Aira akhirnya mengangguk.
“Baik, Raka. Aku… aku percaya sama kamu. Kita ketemu dia bareng, ya,” katanya, mencoba mengumpulkan keberanian.
Mereka memutuskan untuk pergi ke alamat yang Dani berikan, sebuah rumah kecil di daerah Tlogosari.
Perjalanan ke sana terasa penuh ketegangan bagi Aira, tapi kehadiran Raka di sisinya membuatnya merasa lebih kuat.
Sampai di rumah itu, mereka mengetuk pintu dengan hati-hati. Seorang pria membuka pintu, pria berusia sekitar 30 tahun, dengan wajah yang Aira kenali meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Itu Rian.
“Aira?” tanya Rian, matanya membelalak saat melihat Aira dan Raka berdiri di depannya.
“Kalian… kalian ngapain ke sini?” Raka melangkah maju, nadanya tegas tapi tenang.
“Kami tahu kamu yang kirim pesan-pesan itu ke Aira, Rian. Aku minta kamu berhenti. Aira enggak pantas diperlakuin kayak gitu. Apa pun yang terjadi di masa lalu, itu udah selesai. Biarin dia hidup tenang,” katanya, matanya menatap Rian dengan tajam.
Rian terdiam, wajahnya memucat. Dia menunduk, tangannya gemetar.
“Aku… aku minta maaf, Aira. Aku… aku cuma iri. Aku liat kamu sukses, novelmu terbit, dan… aku ngerasa gagal. Aku tahu aku salah waktu itu, dan aku… aku cuma mau bikin kamu takut. Aku minta maaf,” katanya, suaranya penuh penyesalan.
Aira menatap Rian, merasa ada campuran emosi di hatinya, marah, sedih, tapi juga lega.
“Rian… aku udah maafin kamu sejak lama. Tapi apa yang kamu lakuin sekarang salah. Aku cuma mau hidup tenang sama orang yang aku sayang. Tolong… berhenti,” katanya, suaranya gemetar tapi tegas.
Rian mengangguk, matanya penuh rasa bersalah.
“Aku janji, Aira. Aku… aku enggak bakal ganggu kamu lagi. Maaf,” katanya, lalu menutup pintu dengan perlahan.
Aira dan Raka berjalan menjauh dari rumah itu, tangan mereka bergandengan erat. Aira merasa ada beban besar yang terangkat dari pundaknya, dan dia menatap Raka dengan mata penuh rasa syukur.
“Raka… makasih udah nemenin aku. Aku… aku ngerasa lega banget,” katanya, air mata haru mengalir di pipinya.
Raka tersenyum, menarik Aira ke dalam pelukannya.
“Aku janji bakal selalu ada buat kamu, Aira. Kita lewatin ini bareng, dan kita bakal lewatin semua yang datang setelah ini bareng juga. Aku sayang kamu,” katanya, suaranya penuh kasih.
Mereka pulang dengan langkah yang lebih ringan, bayang-bayang masa lalu yang mengintai akhirnya lenyap, meninggalkan ruang untuk masa depan yang lebih cerah, masa depan yang akan mereka tulis bersama, dengan cinta sebagai pondasinya.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉