Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Masa Muda Ibunda
Angin dari halaman depan membawa aroma dupa cendana masuk ke ruang santai keluarga Ji.
Di sudut ruangan, Ji Yanyu duduk sambil memainkan tutup cangkir tehnya.
Rambutnya digelung rapi, tapi wajahnya sedikit kesal.
“Pagi ini... aku dengar kabar lagi soal gadis itu,” ucapnya ringan.
“Katanya Selir Xuan membelanya. Terang-terangan.”
Ayahnya, Ji Liansheng, sedang menyusun dokumen. Ia tak langsung menanggapi.
“Lucu, ya?” lanjut Yanyu.
“Setelah bertahun-tahun aku menjadi ‘putri adopsi’-nya yang paling pantas,
satu gadis tanpa marga datang—dan beliau langsung luluh.”
Ia tertawa kecil, bukan karena lucu.
“Apa beliau sudah lupa siapa yang mengiriminya jamu ketika sakit,
siapa yang menyulam sapu tangan setiap tahun,
dan siapa... yang sejak umur dua belas sudah disiapkan untuk putranya?”
Akhirnya Ji Liansheng menatap putrinya sejenak.
Yanyu menegakkan punggungnya.
“Aku tidak marah, Ayah. Hanya heran.
Beliau ingin anaknya naik tahta... tapi melindungi seorang dayang?”
“Padahal semua orang tahu siapa Ayah.
Berapa banyak pejabat yang berutang budi atas bantuan pinjaman pribadi Ayah.
Berapa banyak yang Ayah topang diam-diam... hanya untuk nanti jadi penyokong kami.”
Nada suaranya merendah, lebih tajam daripada keras.
“Kalau itu bukan dasar kepercayaan... lalu apa?
Apa Selir Xuan sebodoh itu untuk mengabaikan kesempatan emas seperti ini?”
Ji Liansheng hanya berkata pendek:
“Mungkin... beliau hanya belum tersadar.”
Yanyu tertawa lagi—tapi kali ini ringan, seperti baru menemukan kejutan yang menyenangkan.
“Tapi kabar hari ini juga membawa kabar baik, " sela Ayahnya pelan, masih fokus pada lembaran di tangannya.
Ia bersandar, senyum tipis muncul di bibirnya.
“Pangeran Keempat... pergi ke Lembah Utara, ya?”
“Dapat proyek besar langsung dari Kaisar.
Urusan logistik. Ratusan pekerja. Penataan jalur perdagangan," jelas Menteri Ritus yang punya banyak mata dan telinga dimana saja itu.
Matanya menyipit. Senyum makin jelas.
“Tuh kan, aku tidak salah menyasar.”
“Pangeran Ketiga memang lebih... tampan dan mudah dibaca.
Pangeran Pertama menjanjikan, tapi darah kami terlalu dekat—tak bisa menikah.”
“Tapi Pangeran Keempat… sejak awal, hanya dia.”
Ji Liansheng akhirnya membuka suara, pelan, tapi mantap:
“Dan dia tak pernah jatuh hati.
Itu... yang membuatnya jadi peluang paling murni.
Begitu dia jatuh... tidak ada ruang bagi siapa pun setelahnya.”
“Dan sekarang... seseorang sudah membuatnya mulai jatuh.”
“Gadis itu.”
Yanyu diam. Tidak menyela.
Ayahnya melanjutkan, matanya menatap lurus ke depan.
"Gadis tanpa marga. Tanpa faksi.
Tapi memiliki satu hal... yang bahkan menteri seperti aku tak bisa belikan untukmu, putriku.
Perhatian seorang pria yang terlihat tak pernah tertarik pada siapapun.”
Ia mengangguk perlahan, entah pada putrinya atau pada pemikirannya sendiri.
“Dan jika kita membiarkannya tumbuh…
dia akan menjadi pohon liar yang tak bisa ditebang... karena sudah menjulang terlalu tinggi.”
Yanyu yang banyak bicara dengan semangat sejak tadi tiba-tiba sadar, dan tampak tak senang.
Setelah menyesap tehnya perlahan, Ji Liansheng akhirnya bicara.
Suaranya tak keras, tapi ada batu besar tersembunyi dalam nada datarnya:
“Untuk saat ini… kita tak bisa apa-apa.”
Yanyu menoleh, tidak puas. “Ayah?”
"Dia di bawah perlindungan langsung Selir Xuan.
Apapun yang kita lakukan sekarang... akan terlihat seperti serangan dari luar.”
Yanyu mengepalkan jari di atas pangkuan. Tapi ia tetap diam, menunggu.
Liansheng menatap pohon gingko di luar.
"Tapi… sebentar lagi Festival Kue Bulan akan tiba.”
Senyap sejenak.
"Dan setiap tahunnya, Kediaman Selir Agung mendapat giliran menyuguhkan persembahan kue bulan untuk altar leluhur dan langit.”
"Ada tradisi, ada aturan bahan.
Satu kesalahan... dan itu bisa dianggap penodaan.”
Yanyu menegakkan tubuhnya sedikit. “Apa maksud Ayah...?”
Liansheng akhirnya menatap putrinya lurus-lurus.
"Kita tidak perlu membuatnya bersalah.
Kita hanya perlu... membuatnya terlihat bersalah.”
"Pastikan dia yang pegang tugas itu sebagai pelayan kepercayaan. Campurkan satu bahan—yang menurut aturan ritual tidak boleh digunakan untuk persembahan.
Bukan racun, bukan kerusakan.
Cukup... satu jenis minyak dari hewan yang dianggap tidak suci untuk upacara langit.”
“Dan biarkan kue bulan itu... muncul di nampan altar.”
Yanyu menunduk. Lalu tertawa lirih, sangat perlahan.
“Selir Xuan akan tercoreng duluan.
Tapi yang paling dulu dibuang... pasti dayangnya. Dia pasti sangat marah."
“Dan dia tak bisa minta maaf. Karena persembahan suci… tak mengenal ampun.”
Liansheng mengangguk tipis.
"Dan yang lebih penting: Pangeran Keempat sedang di Lembah Utara.
Jauh dari istana. Terlambat untuk menyelamatkan.
Dan jika dia pulang... luka itu sudah jadi aib.”
Yanyu menyentuh bibir cangkirnya, lalu tersenyum kecil.
“Saat semua orang melihatku berdiri di belakang persembahan yang sempurna,
sementara dia disingkirkan karena kue bulannya ternoda...
semua akan tahu... siapa yang seharusnya berdiri di sisi takhta.”
Yan Yu bahkan tidak merasa kasihan pada Selir Xuan yang bisa terkena masalah, ia hanya ingin gadis itu tersingkirkan.
---
Dua hari sebelum Festival Kue Bulan, istana sibuk seperti lebah.
Setiap kediaman selir sibuk menyiapkan hadiah, persembahan, dan dekorasi.
Tapi di Kediaman Agung Selir Xuan, tidak ada kegaduhan.
Hanya keheningan, dan satu ingatan yang terus berputar.
Xuan duduk di ruang belakang, masih mengenakan jubah dalam warna tembakau.
Di atas pangkuannya terletak catatan bahan persembahan dari Mei Lin.
Tapi matanya tidak membaca. Ia diam.
Mei Lin menyusup masuk dengan langkah hati-hati.
"Nyonya... semuanya sudah disusun.
Daftar yang Anda koreksi kemarin juga sudah dibawa ke dapur.”
Xuan tidak menjawab.
Ia memutar cincin pernikahannya, giok langka nan tipis di jari manisnya perlahan. Lalu, akhirnya berkata:
“Hari ini... gadis itu memecahkan guci phoenix.”
Mei Lin tidak langsung menanggapi.
Xuan melanjutkan, pelan.
“Ternyata ia tahu... benda itu tidak boleh digunakan oleh siapa pun selain permaisuri.
Dan dia memecahkannya.
Di hadapan selir kehormatan.
Demi aku.”
"Sampai sekarang, dia belum mengatakan apa pun tentang itu.”
Mei Lin menatap Xuan.
“Ada orang yang menjual jasa, ada pula yang menyimpannya seperti lilin...
Menyala diam-diam sampai habis.”
Xuan tersenyum kecil.
Sunyi sebentar.
Kemudian Xuan berkata dengan nada pelan:
“Rui bahkan mengirim tabib kekaisaran untuknya. Putraku itu jarang meminta apapun.
Diam-diam.
Aku mulai mengerti... kenapa dia memilih gadis seperti itu. Di sekitar sini, sulit menemukan kemurnian.”
Mei Lin menunduk.
“Nyonya... kelihatannya Anda tidak hanya sedang memikirkan anak Anda.”
Xuan hanya menjawab dengan gumaman samar.
"Anehnya... aku jadi teringat satu orang lagi.
Seseorang yang dulu tak pernah menginginkan apa pun dariku.
Tapi saat datang... membuat seluruh ruangan menjadi lebih kecil.”
Ia menarik napas.
"Kalau saja beliau masih...”
Suara langkah berat terdengar di luar.
Bukan langkah pelayan.
Tidak juga kaki dayang.
Mei Lin langsung menegakkan tubuh.
Xuan membeku sejenak.
"Tidak mungkin.”
Kain tirai terbuka pelan.
Cahaya lentera di ambang pintu menyinari jubah hitam bersulam perak.
Rong Gao Ming.
Kaisar.
Ayah dari anaknya.
Dan satu-satunya pria yang tidak pernah perlu mengetuk.
Mei Lin segera menunduk dalam.
“Hormat pada Yang Mulia Kaisar.”
Xuan berdiri perlahan. Tidak bisa menahan degup.
Ia menunduk memberi salam...
...tapi jantungnya berdetak dengan cara yang tidak sepantas itu.
"Kenapa tubuh ini masih bisa merasa gugup?
Setelah semua tahun ini...
Setelah semua luka dan nama gelar.
Kenapa beliau... masih bisa membuatku...”