"Setelah aku pulang dari dinas di luar kota, kita akan langsung bercerai."
Aryan mengucapkan kata-kata itu dengan nada datar cenderung tegas. Ia meraih kopernya. Berjalan dengan langkah mantap keluar dari rumah.
"Baik, Mas," angguk Anjani dengan suara serak.
Kali ini, dia tak akan menahan langkah Aryan lagi. Kali ini, Anjani memutuskan untuk berhenti bertahan.
Jika kebahagiaan suaminya terletak pada saudari tirinya, maka Anjani akan menyerah. Demi kebahagiaan dua orang itu, dan juga demi kebahagiaan dirinya sendiri, Anjani memutuskan untuk meninggalkan segalanya.
Ya, walaupun dia tahu bahwa konsekuensi yang akan dia hadapi sangatlah berat. Terutama, dari sang Ibu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Itha Sulfiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengusir Luna
Esok harinya, Anjani baru terbangun saat waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Sedikit terburu-buru, dia turun dari tempat tidur. Langkahnya sedikit cepat menuju ke arah kamar mandi.
"Tunggu dulu!" ucap Anjani seraya mengerem langkahnya.
Ia memaksakan otaknya untuk mengingat tentang kejadian semalam.
"Bukankah, tadi malam aku tertidur di ruang tengah? Tapi, kenapa aku tiba-tiba bisa ada di kamar?" gumamnya dengan mata yang sedikit menyipit.
"Apa Pak Enzo yang menggendongku?" lanjutnya berpikir. "Tapi, tidak mungkin," gelengnya menyangkal.
"Tapi... kalau iya, bagaimana?" imbuhnya lagi. "Kan, tidak mungkin kalau aku sendiri yang berteleportasi. Memangnya, ini novel superhero? Bukan, kan?"
Anjani pun reflek memukul kepalanya sendiri. "Astaga, Anjani! Jika Pak Enzo benar-benar menggendongmu, maka kamu sudah sangat keterlaluan!"
Perempuan itu tampak meringis. Dia semakin merasa tak enak pada Enzo. Dia sudah merepotkan lelaki itu terlalu banyak.
"Sudahlah! Nanti saja dipikirkan. Sekarang, aku harus cepat-cepat mandi dan berangkat ke kantor. Nggak boleh terlambat!" ucapnya penuh tekad.
Mulai saat ini, Anjani harus bekerja dengan sangat keras. Ada biaya pengobatan sang Ibu yang harus ia bayar. Tentu saja, hal itu membutuhkan jumlah yang tidak sedikit.
Selesai mandi, Anjani langsung keluar dari kamar. Dia sudah rapi dengan pakaian formal untuk berangkat bekerja.
"Sarapan dulu!"
Suara bariton itu membuat Anjani reflek menoleh ke ruang makan. Disana, sang atasan sedang menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.
"Pak Enzo masak sendiri?" tanya Anjani sedikit takjub.
Dia mendekat ke meja makan sambil mengagumi sarapan yang dibuat oleh Enzo. Tak ia sangka, jika ternyata Pangeran Mahkota Yama House Group bisa memasak juga.
"Ya, aku yang masak sendiri. Silakan duduk! Cicipi makanan buatanku," ujar Enzo dengan ramah.
"Tapi, jam masuk kantor hampir tiba. Kalau sarapan dulu, saya bisa terlambat," ucap Anjani sambil nyengir tak enak.
"Tidak apa-apa. Semua orang di perusahaan juga tahu kalau kamu baru saja keluar dari rumah sakit. Jadi, tidak ada yang mempermasalahkan jika kamu berangkat lebih siang."
"Benarkah?"
"Benar," angguk Enzo. "Kamu tidak percaya padaku?"
Anjani tersenyum kaku. "Tentu saja saya percaya. Anda kan Bos saya, Pak Enzo."
Mendengar jawaban Anjani, Enzo tampak nyengir. Dia pun duduk di salah satu kursi kemudian mulai menyantap sarapannya sendiri.
"Sampai kapan kamu mau berdiri di situ? Cepat duduk dan habiskan sarapanmu, Anjani!"
"I-iya, Pak," angguk Anjani kagok.
Dia segera duduk di kursi yang berhadapan dengan Enzo. Dimakannya sarapan buatan sang atasan sambil tersenyum kecil.
Rasanya sudah sangat lama, Anjani tak pernah merasakan sarapan enak buatan tangan orang lain.
"Masakan Pak Enzo benar-benar enak. Terima kasih," ucap Anjani sambil menahan haru.
"Kalau sudah selesai, kita bisa berangkat sama-sama."
"Tapi, Anda kan..."
Ucapan Anjani terhenti saat menyadari bahwa pakaian Enzo ternyata sudah ganti. Padahal, tadi dia ingin mengingatkan Enzo bahwa pria itu butuh ganti baju dulu jika hendak berangkat ke kantor.
"Kapan Pak Enzo berganti pakaian?" tanya Anjani kemudian.
"Tadi," jawab Enzo.
"Memangnya, Pak Enzo bawa pakaian ganti?"
"Tidak," geleng Enzo.
"Lalu... Pak Enzo dapat setelan jas itu darimana?"
"Dari unit sebelah," jawab Enzo.
"Bukannya, di sebelah masih sangat berdebu, ya?"
"Bersih, kok," sahut Enzo dengan santainya.
"Tapi, tadi malam, Anda bilang..."
"Aku berbohong," potong Enzo cepat. "Sebenarnya, unit sebelah selalu bersih. Aku sengaja berbohong supaya bisa menginap di sini untuk menjaga kamu."
Degh!
Jantung Anjani mulai berdetak cepat. Entah kenapa, Enzo berhasil membuatnya merasa sangat berharga. Padahal, lelaki itu bukan siapa-siapanya. Hanya sebatas atasan dan Paman dari sahabat baiknya.
"Tadi malam... Apa Pak Enzo yang memindahkan saya ke kamar tidur?"
Anjani kini merubah topik pembahasan mereka. Dia berusaha mengabaikan perasaan berdebar didalam hatinya. Tak mau berharap lebih kepada Enzo yang mustahil bisa dia gapai.
Dalam semesta ini, dia dan Enzo berada di level yang berbeda. Enzo berdiri diatas puncak tertinggi, dan Anjani hanya satu dari sekian banyak orang yang hanya bisa mengamati sang penguasa dari bawah gunung.
"Ya," angguk Enzo. "Aku yang menggendong kamu ke kamar tidur."
Anjani pun mengangguk. "Terimakasih. Maaf, jika saya selalu merepotkan."
"Tidak apa-apa," geleng Enzo. "Yang penting, kamu harus menepati janjimu! Jika tiba saatnya, kamu harus melakukan semua hal yang aku inginkan."
"Iya, Pak. Saya mengerti," angguk Anjani.
****
"Kak Aryan!" seru Luna yang sengaja mendatangi Aryan ke kantor.
Perempuan itu langsung mengalungkan lengannya di leher Aryan. Satu kecupan mesra turut ia hadiahkan untuk lelaki itu.
"Kak, aku sangat rindu," imbuhnya dengan nada manja.
Aryan menghela napas panjang. Dia sedang mengerjakan sesuatu hal yang sangat penting. Dan, kedatangan Luna cukup menganggu konsentrasinya.
"Luna, bukannya aku sudah bilang, kalau kamu jangan ke kantor dulu hari ini?" tanya Aryan kepada perempuan itu.
"Iya, aku tahu. Tapi, mau bagaimana lagi? Aku sangat rindu pada Kak Aryan."
"Kemarin, kita sudah bertemu. Apakah itu belum cukup?"
"Belum," geleng Luna. "Aku inginnya ketemu setiap hari."
"Tapi, aku sedang sibuk."
"Aku tidak peduli," geleng Luna. "Pokoknya, sekarang Kak Aryan harus menemaniku jalan-jalan. Kita ke mall, yuk! Ada tas keluaran terbaru yang sedang aku incar."
"Aku sibuk, Luna. Tidak sempat. Pergi saja bersama teman-teman mu!" balas Aryan yang tetap bersikukuh untuk menolak.
Dia kembali fokus ke layar laptopnya. Sibuk memeriksa beberapa laporan yang masuk ke email-nya.
Sementara, Luna yang diabaikan langsung memasang mode marah. Dia reflek mengambil gelas air minum Aryan lalu menyiramkan isinya ke laptop yang sedang dipakai Aryan.
Byur!
Laptop itu langsung basah seketika.
"Luna! Apa yang kau lakukan, hah?" pekik Aryan marah.
Luna memasang tampang cemberut. Gelas yang masih ia pegang, kini ia letakkan kembali diatas meja. Kemudian, dia mulai melipat kedua tangannya didepan dada sambil menatap Aryan tak kalah nyalang.
"Siapa suruh Kak Aryan mengabaikan aku!" serunya. "Sejak kapan, pekerjaan jauh lebih menarik dibanding aku, hah? Apa Kak Aryan sekarang sudah tidak mencintaiku lagi?"
Mata Luna perlahan mulai memerah. Sedikit lagi, dia pasti akan langsung menangis.
Untuk pertama kalinya, Aryan menggertakkan gigi menahan amarah akibat tingkah kekanakan Luna. Dimatanya, sisi yang dulu ia anggap sebagai sifat menggemaskan itu kini berubah jadi menyebalkan.
"Doni!! Kemari!" teriak Aryan memanggil asistennya.
"Ya, ada apa, Tuan?" tanya Doni yang datang dengan tergopoh-gopoh.
"Bawa Nona Luna keluar! Minta supir untuk mengantarnya pulang!" titah Aryan.
"Hah?" Doni tampak melongo. Sejak kapan, Aryan tega mengusir gadis lebay ini, pikirnya.
"Tunggu apa lagi, Doni? Cepat bawa dia keluar!" teriak Aryan marah.
Doni mengangguk patuh. Dia segera menyeret Luna untuk keluar dari ruangan itu.
"Jangan sentuh aku!" teriak Luna. "Kak Aryan..."
Sayangnya, Aryan tak peduli pada teriakannya sama sekali.
Beberapa saat kemudian, Doni kembali ke ruangan Aryan.
"Luna sudah diantar pulang?" tanya Aryan.
"Sudah, Tuan," angguk Doni.
"Bagaimana reaksinya?"
Doni mengendikkan bahunya. "Seperti biasa... dia mengamuk, mencakar-cakar, menghina, dan juga mengancam akan memecat saya," jawabnya dengan jujur.
Mendengar itu, Aryan sontak menghela napas sambil menggeleng pelan.
"Kenapa sikap Luna mendadak jadi seperti ini?" gumam Aryan.
"Sebenarnya, tidak mendadak kok, Tuan," sambar Doni dengan cepat. "Dari dulu, sifat Nona Luna memang sudah seperti itu."
"Oh, ya? Tapi, kenapa aku tidak pernah melihatnya?"
"Itu karena Anda terjebak cinta buta dengan perempuan bermulut pedas itu. Jadi, apapun yang dia lakukan... Mau sejahat apapun dia pada orang lain, Anda akan tetap menganggap dia menggemaskan," ujar Doni panjang lebar.
"Saya jadi heran," lanjut Doni. "Apa sih, yang Tuan lihat dari Nona Luna? Kenapa Tuan bisa sebodoh itu dihadapannya? Kenapa Tuan mau saja jadi kacung dan ATM berjalannya? Apakah Anda tidak sadar, jika Nona Luna hanya datang kalau butuh uang saja? Saat Anda sedang mengalami kesulitan dan kesakitan, dia kemana? Kenapa dia sering sekali menghilang?"
lanjut lagi Thor 🙏🙏🙏