Dunia Yumna tiba-tiba berubah ketika sebuah video syur seorang wanita yang wajahnya mirip dengan dirinya sedang bercinta dengan pria tampan, di putar di layar lebar pada hari pernikahan.
Azriel menuduh Yumna sudah menjual dirinya kepada pria lain, lalu menjatuhkan talak beberapa saat setelah mengucapkan ijab qobul.
Terusir dari kampung halamannya, Yumna pun pergi merantau ke ibukota dan bekerja sebagai office girl di sebuah perusahaan penyiaran televisi swasta.
Suatu hari di tempat Yumna bekerja, kedatangan pegawai baru—Arundaru—yang wajahnya mirip dengan pria yang ada pada video syur bersama Yumna.
Kehidupan Yumna di tempat kerja terusik ketika Azriel juga bekerja di sana sebagai HRD baru dan ingin kembali menjalin hubungan asmara dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Sepulang kerja, Yumna berdiri di lobi gedung ADTV sambil sesekali melihat jam di pergelangan tangannya. Udara dingin dari AC gedung bertabrakan dengan gerah tubuhnya yang lelah setelah bekerja seharian.
Sudah tiga puluh menit ia menunggu. Setiap kali pintu lift berbunyi ting, Yumna tetap menoleh dengan harapan.
Dan akhirnya—
“Mas Arun!”
Wajahnya langsung cerah. Ia melambaikan tangan tinggi-tinggi sambil tersenyum lebar begitu melihat sosok pria jangkung itu keluar dari lift.
Arundaru melangkah cepat, masih mengenakan ID card yang tergantung di dada. Rambutnya sedikit berantakan, tanda bahwa ia benar-benar terburu-buru.
“Maaf aku terlambat.” Nafasnya masih terdengar belum stabil. “Ada sedikit kesalahan di ruang penyiaran. Aku baru bisa keluar.”
Yumna menggeleng sambil tersenyum. “Nggak apa-apa, Mas. Aku juga baru sebentar, kok.”
Padahal jelas-jelas Yumna sudah menunggu lama. Tapi entah kenapa, melihat raut wajah Arundaru yang benar-benar merasa bersalah membuat Yumna tak tega mengakuinya.
Arundaru sempat melihat gerakan Yumna menepuk-nepuk bahu dan lengannya, seperti mencoba merilekskan otot yang pegal. Ia menyadari perempuan itu pasti sangat lelah. Dia ingin mengusap bahu itu dan bilang istirahatlah, tetapi ia menahan diri.
“Jadi,” kata Yumna hati-hati. “Kita mau bahas soal video itu di mana, ya? Ada tempat yang enak?”
Arundaru menepuk perutnya. “Sambil makan, yuk. Biar otak kita bisa mikir lebih jernih.”
“Mas mau makan di mana?” Yumna mulai tegang.
Wajahnya langsung berubah pucat ketika Arundaru menunjuk restoran di seberang gedung—restoran mahal yang bahkan karyawan level supervisor jarang datangi kecuali sedang ada bonus.
“Kita makan di sana.”
“A-apa?!” suara Yumna hampir melengking.
Pikirannya langsung berkecamuk. ”Satu porsi steak di sana gaji aku sebulan! Nabung tiga bulan pun belum tentu cukup!” Dan ia tidak mau makan makanan yang jika sudah lewat kerongkongan semuanya akan jadi ... yah, tahu sendiri.
Yumna mendekat sambil berbisik keras, nyaris seperti ibu-ibu sedang membicarakan gosip terbaru.
“Mas, jangan di sana! Itu tempat mahal! Kita ini rakyat biasa, di sana untuk kelas sultan. Beneran, jangan!”
Arundaru tertegun. Di matanya Yumna terlihat begitu polos, begitu jujur, dan begitu, lucu. Entah kenapa dadanya terasa hangat melihat kepanikan itu.
“Lalu, kamu punya rekomendasi tempat yang lebih enak untuk bahas masalah penting kayak gini?” tanya Arundaru ikut-ikutan berbisik.
Yumna mengangguk cepat. “Ada! Warung nasi dekat taman kota. Yang jualan nenek-nenek. Tempatnya kecil tapi makanannya enak banget. Murah juga!”
Arundaru mengangguk. “Baik. Kita ke sana. Jalan kaki atau mobil?”
“Kita naik busway aja, Mas.” Yumna tersenyum manis. “Lebih murah.”
Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun, jantung Arundaru deg-degan.
“Kenapa?”
Arundaru bahkan refleks menempelkan telapak tangan ke dadanya, lalu mengernyit bingung karena detaknya benar-benar tak normal.
“Mas?” Yumna menatap bingung. “Kenapa pegang dada? Sakit?”
“Tidak. Cuma kaget dikit,” jawabnya cepat, menutupi hal yang bahkan dirinya sendiri belum pahami.
Yumna tak menunggu jawaban lebih jauh. Ia langsung menarik tangan Arundaru. “Yuk!”
Sentuhan itu membuat dunia Arundaru berhenti sekejap. Tangan Yumna terasa hangat dan lembut. Bertolak belakang dari bayangannya tentang seseorang yang bekerja dengan cairan pembersih dan alat pel.
“Kenapa tangannya bisa selembut ini?” pikirnya panik.
Di dalam busway, penumpang membludak. Suara mesin, desakan tubuh, bau parfum bercampur keringat, semua membuat suasana sesak.
Arundaru yang jarang naik kendaraan umum tampak canggung. Akan tetapi ia cepat menyesuaikan diri, terlebih karena Yumna berada di sampingnya. Sangat dekat.
Begitu dekat sampai ia bisa merasakan helaan napas Yumna yang terdorong oleh kepadatan penumpang.
Seorang pria berjaket hitam berdiri tak jauh dari mereka. Dari tadi menatap tubuh Yumna dengan cara yang membuat darah Arundaru langsung naik ke kepala.
Tatapannya berubah tajam.
“Brengsek.”
Arundaru bergerak maju setengah langkah dan menempatkan tubuhnya seperti pelindung, membuat Yumna sepenuhnya berada di dalam “lingkar” perlindungan tubuhnya.
Yumna mengangkat wajah, terkejut. “Mas Arun?”
“Diam saja,” jawab Arundaru lirih. “Ada yang lihatin kamu nggak bener.”
Yumna mengikuti arah tatapannya dan langsung merasa mual melihat pria berjaket hitam itu masih menatapnya seperti barang.
Ia berbisik sangat pelan. “Makasih, Mas.”
Arundaru menahan diri agar tidak menatap mata itu terlalu lama. Jika ia lakukan, ia takut hatinya akan goyah lagi.
Beberapa menit kemudian, bus berhenti di terminal berikutnya. Pria berjaket hitam itu turun sambil terus menatap mereka. Arundaru membalas tatapannya dengan dingin, membuat pria itu buru-buru memalingkan muka.
Setelah suasana agak longgar, Yumna menunduk. “Mas Arun, terima kasih ya, sudah jagain aku.”
Yumna mengangkat wajah, menengadah karena tubuh pria itu terlalu tinggi.
“Kapan pun ....” Suaranya berat.
Dan tepat saat itu—
BRUK!
Tas besar seseorang menyenggol kepala Yumna cukup keras. Perempuan itu tersentak, kehilangan keseimbangan.
“Aw—!”
Refleks, Arundaru menangkapnya. Tapi momentum dorongan tas terlalu kuat. Sehingga yang terjadi adalah—
Yumna terjatuh tepat ke pelukan Arundaru.
Bukan sekadar pelukan biasa. Tubuh mereka menempel. Dada Yumna tertekan langsung ke dada Arundaru.
Yumna membelalak.
Arundaru membisu.
Dan dunia seolah berhenti selama tiga detik yang memalukan.
“Gawat!” Yumna menjerit dalam hati. “Kenapa aku malah MEMELUKNYA?!”
Sementara Arundaru—
”Wow… lumayan juga?”
Ia langsung menepis pikiran itu.
“Gila! Apa yang otak aku pikirin!?”
Mereka buru-buru melepas pelukan itu, muka merah padam seperti kepiting rebus.
“Ma—maaf!” Yumna berucap cepat, menunduk dalam-dalam.
“Tidak apa-apa,” jawab Arundaru, meski wajahnya juga merona. “Yang penting kamu nggak jatuh.”
Mereka saling menghindari pandangan selama beberapa menit, keduanya mencoba mengatur ulang detak jantung yang melompat-lompat tak karuan.
Diam-diam di dalam hati keduanya muncul sesuatu yang tidak mereka pahami. Namun sangat jelas, sore itu bukan hanya video yang akan mereka bahas. Ada perasaan baru yang mulai tumbuh pelan, hangat, dan bisa jadi berbahaya.
Modus mas Arun moduusss 😂😂😂
semoga keluarga Arun bisa menerima Yumna