Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.
Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.
Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.
Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.
Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ratu yang Bangkit
Gedung pencakar langit itu berdiri megah, kacanya yang berwarna biru gelap memantulkan cahaya matahari pagi. Sebuah plat nama terpasang elegan di dinding marmer: ZAMORA COMPANY - Property & Investment.
Indira berdiri di depan pintu kaca otomatis, menatap pantulan dirinya sejenak. Wanita yang menatap balik adalah versi baru dari dirinya yang lebih kuat, lebih tajam, lebih siap. Ia mengenakan blazer hitam dengan cutting sempurna, celana panjang hitam, dan heels yang membuat langkahnya terdengar tegas di lantai marmer. Rambutnya diikat tinggi, makeup-nya minimal tapi profesional.
Ini bukan lagi Indira sang istri yang menunggu di rumah. Ini adalah Indira Zamora, pewaris tunggal kerajaan bisnis keluarga Zamora yang selama tiga tahun memilih mundur ke bayangan.
Tapi tidak lagi.
Pintu otomatis terbuka pelan. Indira melangkah masuk dengan kepala tegak. Resepsionis, seorang wanita muda berseragam rapi langsung berdiri saat melihatnya.
"Selamat pagi, Bu Indira!" sapanya dengan hormat, sedikit terkejut. "Kami tidak tahu Ibu akan datang hari ini."
"Pagi, Tania," Indira tersenyum tipis. "Tolong hubungi Pak Lingga. Katakan aku sudah di sini."
"Baik, Bu. Silakan langsung ke ruangannya di lantai atas. Saya akan informasikan sekarang."
Indira mengangguk dan melangkah menuju lift eksklusif yang langsung menuju lantai direktur. Dalam perjalanan ke atas, ia menatap pantulannya di dinding lift yang mengkilap. Tiga tahun. Tiga tahun ia membiarkan Lingga, sahabat almarhum ayahnya mengelola perusahaan ini. Bukan karena ia tidak mampu, tapi karena ia memilih fokus pada pernikahan yang ternyata tidak layak untuk diperjuangkan.
Rangga tidak pernah tahu. Ia tidak pernah tahu bahwa istrinya adalah pewaris tunggal Zamora Company, salah satu perusahaan properti dan investasi terbesar dengan aset triliunan rupiah. Rangga hanya tahu Indira sebagai wanita biasa yang berasal dari keluarga sederhana.
Dan Indira membiarkannya berpikir seperti itu. Karena ia ingin dicintai apa adanya, bukan karena uangnya.
Tapi sekarang, Indira menyadari betapa bodohnya ia. Cinta yang tulus ternyata tidak cukup. Yang ia butuhkan adalah kekuatan. Dan kekuatan itu selalu ada di tangannya, ia hanya perlu mengambilnya kembali.
Pintu lift terbuka. Indira melangkah keluar, disambut oleh koridor luas dengan karpet mewah dan lukisan-lukisan mahal di dinding. Di ujung koridor, pintu kayu besar dengan plat nama "LINGGA MAHENDRA - CEO" terbuka lebar.
Seorang pria berusia empat puluhan berdiri di sana, tinggi, berjas rapi, rambutnya mulai memutih di sisi-sisinya. Wajahnya yang tegas melunak saat melihat Indira. Lingga tersenyum, senyum seorang paman yang melihat keponakannya tumbuh dewasa.
"Indira," sapanya hangat sambil melangkah menyambut. "Akhirnya kamu datang juga."
"Pak Lingga," Indira membalas senyumnya. Mereka berpelukan sebentar, pelukan yang penuh kehangatan dan rasa hormat.
"Masuk, masuk," Lingga mempersilakan. "Aku sudah menunggumu datang sejak dua hari lalu."
"Bapak tahu?" Indira memasuki ruangan luas dengan jendela besar menghadap kota Jakarta, meja kayu mahoni, dan rak buku yang dipenuhi file dan dokumen.
"Tentu aku tahu," Lingga tersenyum sambil menuangkan kopi untuk mereka berdua. "Baliho sebesar itu di seluruh Jakarta? Skandal pernikahan kedua suamimu yang viral di media sosial? Aku akan buta dan tuli kalau tidak tahu."
Indira menerima cangkir kopi, duduk di sofa dengan postur yang anggun. "Maafkan aku tidak memberitahu lebih dulu."
"Tidak perlu minta maaf," Lingga duduk di seberangnya. "Yang perlu minta maaf adalah suamimu itu. Atau mantan suamimu, sebentar lagi." Ia menatap Indira dengan serius. "Aku sudah lama tidak suka dengan Rangga. Tapi aku diam karena aku pikir kamu bahagia."
"Aku juga pikir aku bahagia," jawab Indira pelan. "Ternyata aku hanya buta."
Keheningan sejenak. Lingga menyeruput kopinya, membiarkan Indira mengumpulkan pikirannya.
"Pak Lingga," Indira akhirnya berbicara, kali ini dengan nada yang tegas dan penuh otoritas, "mulai hari ini, aku akan kembali mengambil alih perusahaan."
Lingga tersenyum lebar yang penuh kebanggaan. "Aku sudah menunggu kata-kata itu sejak tiga tahun lalu."
"Bapak tidak keberatan?"
"Keberatan?" Lingga tertawa. "Indira, perusahaan ini milikmu. Aku hanya mengelolanya sementara atas amanat almarhum ayahmu. Aku selalu tahu suatu hari kamu akan kembali. Dan aku senang hari itu adalah hari ini."
Indira merasakan kehangatan di dadanya. "Terima kasih, Pak."
"Jadi," Lingga meletakkan cangkirnya, beralih ke mode profesional, "apa rencana pertamamu sebagai CEO Zamora Company?"
Indira menegakkan duduknya, matanya berkilat tajam. "Aku butuh data proyek kerjasama antara Zamora Company dan Pradipta Medika."
Lingga mengangguk pelan, sudah paham arah pembicaraan. Pradipta Medika adalah perusahaan keluarga Rangga, distributor alat kesehatan yang selama ini menjalin kerjasama dengan Zamora Company untuk proyek-proyek pembangunan rumah sakit dan klinik.
"Ada tiga proyek yang sedang berjalan," jelas Lingga sambil mengambil tablet-nya, menunjukkan data. "Dan satu proyek besar yang akan dimulai bulan depan, pembangunan jaringan klinik di lima kota besar. Nilai kontraknya mencapai 500 miliar rupiah. Ini proyek terbesar yang pernah didapat Pradipta Medika."
Indira menatap angka-angka di layar. 500 miliar. Uang yang akan membuat perusahaan Rangga naik level signifikan. Uang yang sudah ia bantu rencanakan tanpa Rangga tahu bahwa investor misterius yang setuju kerjasama itu adalah perusahaan milik istrinya sendiri.
"Batalkan," ucap Indira dengan suara yang tenang tapi final.
Lingga tidak terkejut. Ia justru tersenyum. "Proyek yang mana?"
"Proyek besar itu. Yang 500 miliar. Batalkan."
"Konsekuensinya akan besar, Indira," Lingga mengingatkan, bukan untuk menghalangi, tapi untuk memastikan Indira tahu apa yang ia lakukan. "Pradipta Medika sudah mengeluarkan dana awal yang cukup besar untuk persiapan. Mereka bahkan sudah rekrut tenaga ahli dan beli peralatan. Pembatalan mendadak akan membuat mereka merugi puluhan miliar."
"Aku tahu," jawab Indira dingin. "Dan itulah tujuannya."
Lingga menatap wanita di hadapannya dengan campuran kagum dan sedikit ngeri. Ini bukan lagi gadis muda yang dulu ia kenal, yang lembut dan selalu mengalah. Ini adalah Indira Zamora yang sesungguhnya, pewaris dengan darah bisnis yang tajam, yang tahu bagaimana menggunakan kekuatan di tangannya.
"Apa alasan resmi untuk pembatalan?" tanya Lingga, sudah siap menjalankan perintah.
"Evaluasi ulang partner bisnis," jawab Indira cepat. "Katakan bahwa setelah evaluasi mendalam, Zamora Company memutuskan untuk tidak melanjutkan kerjasama karena concern terhadap kredibilitas dan integritas manajemen Pradipta Medika."
Lingga tersenyum tipis. "Kredibilitas dan integritas. Sangat tepat."
"Dan Pak Lingga," Indira menambahkan, "aku ingin pengumuman ini sampai ke Rangga hari ini. Sekarang, kalau bisa."
"Akan aku urus," Lingga berdiri, sudah siap bekerja. "Ada yang lain?"
"Untuk saat ini, hanya itu," Indira juga berdiri. "Ini baru permulaan. Aku akan perlahan-lahan menunjukkan pada Rangga apa artinya kehilangan aku."
Lingga menatapnya dengan tatapan penuh makna. "Indira, aku bangga padamu. Ayahmu pasti juga bangga."
Indira tersenyum, senyum yang tulus untuk pertama kalinya sejak lama. "Terima kasih, Pak Lingga. Untuk semuanya."
---
Sementara itu, di sebuah villa mewah di tepi pantai Seminyak, Bali, suasana sangat berbeda dengan keindahan pemandangan.
Rangga berdiri di balkon, menatap ombak yang bergulung-gulung di pantai. Angin laut berhembus, tapi ia tidak merasakannya. Pikirannya melayang jauh, kembali ke momen kemarin di pelaminan. Kembali ke wajah Indira. Kembali ke kata-kata yang terus bergema di kepalanya.
"Terima kasih sudah menunjukkan bahwa aku pantas mendapatkan yang lebih baik dari pria yang tidak punya keberanian untuk jujur."
"Sayang, ayo masuk. Aku sudah pesan breakfast," suara Ayunda datang dari dalam villa. Ia muncul dengan kimono sutra tipis berwarna putih, rambutnya masih berantakan, terlihat sensual dan menggoda.
Tapi Rangga tidak tertarik. Sejak semalam, ia tidak bisa fokus pada Ayunda. Tidak bisa fokus pada honeymoon mereka. Pikirannya terus pada Indira dan itu membuat Ayunda frustasi.
"Rangga!" Ayunda memanggil lebih keras. "Kenapa kamu dari tadi di luar? Ini honeymoon kita!"
Rangga berbalik, wajahnya terlihat lelah. "Maaf, aku sedang memikirkan sesuatu."
"Memikirkan apa?" Ayunda menghampirinya, memeluknya dari belakang. "Sudahlah, lupakan kejadian kemarin. Itu sudah berlalu. Sekarang kita sudah menikah. Kita sudah sah. Tidak ada yang bisa menghalangi kita lagi."
Tapi kata-kata itu justru membuat Rangga semakin tidak nyaman. Tidak ada yang bisa menghalangi? Indira bukan hambatan. Indira adalah... adalah...
Apa sebenarnya Indira baginya? Rangga tidak yakin lagi.
"Ayunda," Rangga melepaskan pelukan istrinya, berbalik menatapnya. "Aku pikir kita harus pulang."
"Apa?" Ayunda tersentak. "Pulang? Sekarang? Kita baru dua hari di sini!"
"Aku tahu, tapi..."
"Tapi apa?" Ayunda mulai terdengar marah. "Rangga, ini honeymoon kita! Kita sudah rencanakan ini dari jauh-jauh hari!"
"Aku tahu, tapi aku tidak bisa fokus. Aku terus memikirkan..."
"Memikirkan dia?" potong Ayunda, matanya menyala marah. "Memikirkan Indira? Serius?"
"Bukan seperti itu..."
"Lalu seperti apa?" Ayunda mendekat, suaranya meninggi. "Sejak kemarin kamu terus murung! Kamu tidak bisa menikmati malam pertama kita! Dan sekarang kamu mau pulang? Karena dia?"
"Ayunda, pelan-pelan..."
Ponsel Rangga berdering keras. Ia melirik layar, Lina, adiknya. Rangga mengangkat cepat.
"Halo?"
"MAS! MAS RANGGA!" suara Lina terdengar panik. "Ada masalah besar!"
Jantung Rangga langsung berdegup kencang. "Ada apa?"
"Zamora Company! Mereka batalkan kerjasama! Proyek 500 miliar itu! Mereka kirim email resmi pembatalan tadi pagi! Papa sudah panic! Kantor sudah kacau! Mas harus pulang sekarang!"
Darah di wajah Rangga menghilang seketika. "Apa? Zamora Company? Kenapa? Tidak ada alasan? Tidak ada warning sebelumnya?"
"Tidak ada! Mereka bilang evaluasi ulang partner bisnis atau apalah. Yang jelas mereka batalkan! Mas, ini kerugian puluhan miliar! Perusahaan kita bisa bangkrut kalau proyek ini batal!"
Rangga menutup matanya, tangannya gemetar memegang ponsel. Zamora Company. Perusahaan yang bahkan sulit untuk dijadwalkan meeting. Perusahaan yang sangat tertutup, sangat selektif. Dan entah bagaimana, tiga tahun lalu mereka setuju kerjasama besar dengan Pradipta Medika,berkah yang tidak pernah Rangga sangka akan datang.
Tapi sekarang berkah itu direbut kembali.
"Aku pulang sekarang," ucap Rangga cepat. "Pesan tiket paling cepat. Aku akan langsung ke kantor begitu sampai Jakarta."
"Baik, Mas! Aku urus sekarang!"
Panggilan berakhir. Rangga langsung bergegas masuk villa, mulai mengepak barang-barangnya dengan tergesa-gesa.
"Rangga! Apa yang kamu lakukan?" Ayunda mengikuti dengan wajah tidak percaya.
"Aku harus pulang. Sekarang. Ada krisis di perusahaan."
"Tapi kita belum selesai honeymoon!"
"Ayunda, ini darurat!" Rangga berhenti, menatap istrinya dengan frustasi. "Perusahaan ku bisa bangkrut! Aku tidak punya waktu untuk berlibur!"
"Jadi kamu mau tinggalkan aku di sini?" Ayunda hampir menangis.
"Kamu bisa ikut kalau mau, atau tetap di sini sampai jadwal selesai. Terserah," jawab Rangga dingin sambil terus mengepak.
Ayunda terdiam, terluka dengan nada suara suaminya. Ini bukan honeymoon yang ia bayangkan. Ini bukan kehidupan pernikahan yang ia impikan.
Dan dalam hati kecilnya, kata-kata Indira kemarin mulai bergema.
"Tiga tahun lagi... dia akan persis seperti dulu. Dingin. Sibuk. Tidak punya waktu."
Tiga tahun? Bahkan belum seminggu, Ayunda sudah merasakan dinginnya sikap Rangga.
Dua puluh menit kemudian, Rangga sudah keluar villa dengan koper di tangan, meninggalkan Ayunda yang berdiri sendiri di pintu dengan mata berkaca-kaca.
Tidak ada pelukan perpisahan. Tidak ada kata-kata manis. Hanya kepergian yang terburu-buru dan istri yang ditinggalkan.
Dan di Jakarta, jauh dari sana, Indira duduk di kursi CEO-nya, menatap email konfirmasi pembatalan kerjasama yang baru saja dikirim.
Senyum tipis muncul di bibirnya.
Ini baru permulaan. Baru langkah pertama dari balas dendamnya yang panjang.
Dan Rangga bahkan belum tahu siapa yang benar-benar memegang kendali permainan ini.