Suatu kesalahan besar telah membuat Kara terusir dari keluarga. Bersama bayi yang ia kandung, Kara dan kekasih menjalani hidup sulit menjadi sepasang suami istri baru di umur muda. Hidup sederhana, bahkan sulit dengan jiwa muda mereka membuat rumah tangga Kara goyah. Tidak ada yang bisa dilakukan, sebagai istri, Kara ingin kehidupan mereka naik derajat. Selama sepuluh tahun merantau di negeri tetangga, hidup yang diimpikan terwujud, tetapi pulangnya malah mendapat sebuah kejutan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miracle, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jatuh
Kota Jakarta tidak banyak berubah sejak Kara tinggalkan. Polusi udara masih menyesakkan napas. Kemacetan masih terjadi. Penjaja kaki lima masih berjualan seenaknya dan mereka akan lari jika terjaring razia.
Kara menghentikan taksi. Ia masuk, lalu memberitahu alamat rumah yang akan dituju. Rumah ia lahir dan besar di sana. Tempat yang sudah sangat lama tidak ia lihat. Sepasang suami istri yang sangat Kara rindukan. Ayah dan ibunya.
Taksi berhenti tepat di alamat yang dituju. Kara keluar setelah membayar ongkosnya. Potongan rumah tidak ada yang berubah. Hanya warna cat saja yang mengalami perubahan.
Kara membuka pagar rumahnya, lalu masuk. Tidak peduli kali ini ia akan diusir kembali. Kara hanya ingin melihat ayah dan ibunya. Kara menekan bel dua kali. Ia merapikan rambut serta mengusap wajahnya agar terlihat lebih baik.
Pintu terbuka, Kara menampilkan senyum manis, tetapi senyum itu hilang ketika melihat wanita berbeda yang membuka pintu rumahnya.
"Bukannya ini kediaman Handoko?" kata Kara.
"Iya, benar. Saya istrinya," jawab seorang wanita cantik dan Kara perkirakan umurnya sekitar empat puluh tahun.
"Istrinya?" tanya Kara tidak percaya.
"Kamu siapa?"
Kara langsung mendorong wanita itu, lalu masuk ke dalam. Ia berteriak memanggil nama ibu serta ayahnya.
"Siapa kamu?" ucap Handoko.
Kara menoleh, ia melihat sosok yang masih bugar meski rambut di kepalanya sudah memutih. Handoko terkesiap ketika melihat putri kandungnya yang datang.
"Kara!"
"Ayah, mana ibu? Kenapa wanita ini menjadi istri Ayah?" ucap Kara.
Handoko mengalihkan pandangan ke arah lain. "Kenapa masih balik kemari? Pergi dari sini. Kamu tidak diterima di rumahku."
"Mas, siapa dia?" tanya wanita itu.
"Dia anak durhaka," jawab Handoko.
"Aku tanya di mana ibuku!" ucap Kara keras.
"Ibumu sudah tiada. Dia meninggal dua bulan lalu," jawab Handoko.
"Dia tiada, lalu kamu menikah lagi dengan wanita muda ini?" teriak Kara.
"Diam! Anak tak tau diuntung!" sarkas Handoko.
"Nak, kami menikah sudah dua tahun yang lalu," ucap istri baru Handoko.
Kara terkesiap mendengarnya. Jika dua tahun lalu artinya sang ibu tengah mengalami pernikahan poligami. Hal sama yang Kara jalani saat ini.
"Ibu meninggal gara-gara Ayah! Pasti karena pernikahan kalian ibuku tiada," kata Kara.
"Ibumu sudah sakit-sakitan sejak kamu pergi. Aku menikahi wanita lain untuk melayaniku."
"Tua bangka! Tidak ingat umur!" umpat Kara.
Cap lima jari melayang di pipi kanan Kara. Sang ayah meradang atas ucapan putrinya sendiri. Kara mengusap pipinya yang terasa panas.
"Pergi kamu!" usir Handoko.
"Tidak perlu kamu usir, aku juga ingin pergi. Mulai saat ini aku bukan putrimu. Seumur hidup, aku tidak akan pernah memanggilmu Ayah!" ucap Kara.
Kara berjalan menuju pintu depan. Ia berhenti sesaat, lalu menoleh pada kedua orang itu lagi. Kara meludah kemudian keluar dari rumah terkutuk itu.
Semua pria sama saja. Hasrat mereka tidak bisa dikendalikan. Mereka gampang memberi cinta. Namun, sesaat kemudian bisa memberi luka.
"Apa yang terjadi padaku? Cerita-cerita para pekerja malah dialami olehku," ucap Kara, lalu ia tertawa.
Saat mendapat hari libur, Kara selalu berkumpul bersama teman sesama pekerja wanita. Di sana ia mendengar cerita yang beragam. Sayangnya salah satu cerita itu malah menimpa dirinya. Ia bekerja keras di negeri tetangga dan suaminya malah menikah lagi.
Dari rumah orang tuanya, Kara berkunjung ke rumah sewa mereka dulu. Rupanya rumah itu sudah ditempati dan telah direnovasi menjadi lebih bagus.
"Kara!" tegur seorang wanita.
"Bu Warni!" Kara langsung memeluknya.
"Sudah lama enggak ketemu. Kapan kamu pulang dari Hongkong?"
"Kemarin," dusta Kara. "Aku kemari karena kangen sama rumah dulu."
Warni menyikut lengan Kara. "Sudah sukses sekarang. Sudah bisa beli rumah."
"Kok, ibu tau?" tanya Kara.
"Elno yang bilang. Dia juga undang kita buat syukuran di rumah baru kalian."
"Keponakan ibu pulang juga? Kami beda daerah kerjanya. Jarang ketemu," kata Kara.
"Dia pulang waktu itu buat nikah terus kerja lagi di Singapura. Eh, di sana malah dapat pacar baru terus suami di sini dicerai."
Kara tersenyum kecut. Kebalikan dari kisahnya sendiri. Kalau ini Elno yang nikah lagi, dan keponakan bu Warni malah selingkuh dengan orang luar.
"Oh, ya, Bu. Siapa yang nempati rumah itu?" tunjuk Kara.
"Pendatang juga."
Kara merogoh uang di dalam tas miliknya, lalu memberi lima lembar uang kepada Warni. "Buat, Ibu."
"Enggak perlu repot, Kara," ucapnya, tetapi tangan tetap mengambil uang itu.
"Saya permisi dulu, ya, Bu. Mau ke makam Finola," kata Kara.
Besok aku harus ke bank buat urus semua uang, batin Kara.
"Iya, kamu hati-hati di jalan."
Di lain sisi, Elno menunggu Kara di rumah. Hari sudah petang, tetapi istrinya tidak kunjung pulang. Elno sudah menyiapkan kamar di atas dan membereskan pakaian Kara yang berada di dalam koper.
"Apa kami harus pindah dari sini?" tanya Sari.
"Ini rumah Kara. Dia yang memutuskan," jawab Elno.
"Aku akan bersiap. Kami akan pindah ke rumah orang tuaku saja."
"Bisa tidak kamu diam dulu. Aku harus cari Kara," kata Elno, lalu mengambil kunci di laci.
"Apa kamu akan menceraikanku?" tanya Sari lagi.
Elno terdiam, ia memandang istrinya setelah itu melangkah keluar. Sari mendengar suara pintu mobil yang dibuka, lalu mesin yang menyala. Suaminya pergi mencari istri pertama yang terluka.
"Apa kamu akan mencampakkanku setelah Kara kembali?" gumam Sari. Ia mengerjap, tiba-tiba satu tetas buliran bening jatuh dari kelopak matanya. "Kenapa kamu kembali, Kara? Maaf, tapi aku sudah jatuh hati pada Elno."
Elno mengendarai mobil menuju tempat yang pasti akan Kara kunjungi. Makam putri mereka. Sudah pasti istrinya akan berada di sana.
Elno melihat wanita yang tengah berjalan kaki masuk ketika ia sampai di gerbang pemakaman umum. Elno menepikan mobil, lalu keluar.
"Kara," serunya.
Kara menoleh ke belakang. "Elno."
Elno sedikit berlari menghampiri istrinya. "Ayo, aku antar ke tempat putri kita."
"Aku bisa sendiri."
"Kita jalan kaki saja kalau begitu," kata Elno.
"Terserah kamu."
Keduanya berjalan bersama ke makam Finola. Hening, tidak ada yang bicara. Elno tidak ingin hubungannya bersama Kara seperti ini. Ia sendiri juga tidak ingin menikah lagi, tetapi Elno sudah membuat kesalahan dan harus bertanggung jawab akan perbuatannya.
"Sayang," tegur Elno.
"Apa itu panggilanmu ke Sari?" tanya Kara.
Elno terdiam. Kara memaksakan tawa. Ia menyembunyikan kesedihan yang lagi-lagi melanda.
"Tentu saja kamu menyebutnya saat di atas tempat tidur," ucap Kara.
"Apa pantas bicara seperti ini? Aku sudah menjelaskan siapa Sari dalam hidupku."
"Aku sangat tau, El. Dia istrimu."
Bersambung
penuh makna
banyak pelajaran hidup yang bisa diambil dari cerita ini.
sampai termehek-mehek bacanya
😭😭😭😭🥰🥰🥰
ya Tuhan.
sakitnya