Serafim Dan Zephyr menikah karena di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dari awal Serafim tahu Calon suaminya sudah mempunyai pacar, dan di balik senyum mereka, tersembunyi rahasia yang bisa mengubah segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Blueberry Solenne, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3 - Perjodohan
"Kau... pasti calon istriku, kan?
Mataku langsung terbelalak dan terpaku.
"Apa calon istri?"
Aku menggeleng cepat.
"Tidak mungkin. Jangan bercanda denganku!"
Tiba-tiba ponselku berdering. Dengan terburu-buru aku mengangkat telepon dari Ayah, tapi langkahku terhenti ketika sadar seseorang mengikutiku.
"Kenapa kau mengikutiku?" tanyaku tanpa menoleh.
"Jangan salah paham. Ibuku memanggilku."
Aku langsung berbalik.
"Ibu? Bu Inez maksudmu?"
"Menurutmu siapa?" katanya datar, lalu berjalan mendahuluiku.
Aku masih mematung sesaat sebelum akhirnya mengikutinya dari belakang.
Dalam hati, aku menggerutu.
Pria ini benar-benar menyebalkan.
Tapi saat memperhatikan tubuhnya, aku mendadak terpaku.
Wah, dia tinggi sekali. Kulitnya putih tanpa cela... kekar lagi, tapi sayang sikapnya menjengkelkan.
"Kau pasti sedang memujiku, ya?" celetuknya tiba-tiba.
Astaga. Baiklah, mulai sekarang aku tidak akan bicara di dalam hati lagi, dasar cenayang!
Tapi aku sempat menangkap senyum kecil di wajah Zephyr.
Kami pun masuk ke kamar, tapi Bu Inez memalingkan wajahnya.
"Sudah kubilang berapa kali agar kau berpakaian rapi! Ibu juga sudah memberitahumu kan kalau Pak Edwin akan ke sini? cepat mandi, aku tidak suka bau keringatmu itu!" ucapnya dengan nada ketus.
Aku sampai terperangah saat menyaksikannya ibunya memarahinya.
Zephyr berdiri di dekat tiang ranjang kayu jati berwarna putih.
"Aku memang sengaja tidak mengikuti kemauanmu. Mau rapi atau berantakan, dia harus menerimaku apa adanya."
Bu Inez meremas selimutnya.
"Jaga bicaramu, jangan mempermalukan keluarga di depan sahabat Ibu! Cepat mandi dan kembali ke sini!"
Zephyr menghela napas panjang dan berbalik.
"Hah, merepotkan saja..." katanya sambil melirikku.
"Hey, nona, tunggu di sini. Calon suamimu akan segera datang, dengan pakaian terbaikku, sesuai keinginan calon mertuamu."
Bu Inez memutar bola matanya lalu memejam sesaat.
Sedangkan aku hanya mengangguk pelan.
Setelah Zephyr pergi, aku berbisik kepada Ayahku.
"Yah, apa benar dia calon suamiku? Kenapa Ayah tidak pernah bilang kalau akan menjodohkan kami? Ayah pasti tidak tahu kalau dia itu pria hidung belang, kan?"
"Nanti Ayah jelasin. Ayah pikir Bu Inez tidak akan membahasnya hari ini," bisiknya pelan.
(Zephyr)
Aku meninggalkan kamar dengan amarah yang tak bisa ku kontrol dan langsung masuk ke kamar mandi. Sambil berdiri di bawah pancuran, aku teringat saat memergoki Serafim mengintipku latihan dan sampai terjungkal. Tak terasa aku tersenyum mengingat kejadian itu, tapi suasana hatiku mendadak kacau saat teringat kekasihku dan percakapan dengan ibuku.
"Bu, aku tidak bisa menerimanya. Ibu tahu aku sudah punya Zea. Aku mencintainya," tegasku.
"Kalau kau menolak, dan masih ingin menikahi Zea Eleanor, Ibu akan mencoret namamu dari keluarga," suaranya bergetar... lalu ia ambruk di lantai membuatku terus merasa bersalah.
Air shower mengguyur seluruh tubuhku.
"Maafkan aku, Zea..."
Setelah selesai, aku mengenakan pakaian terbaik, demi calon menantu kebanggaan ibuku.
(Serafim)
Di kamar Bu Inez, wanita itu memanggilku.
"Fim... seharusnya kau menikah dengan putra sulungku, tapi dia meninggal waktu SMA."
Aku menatap ayahku, hatiku langsung bergemuruh. Apa-apaan ini?
Bu Inez melanjutkan sambil menggenggam tanganku.
"Ini keputusan suamiku sebelum meninggal. Kami dulu sepakat akan menjadi besan kalau kalian sudah dewasa. Tapi takdir berkata lain. Kamu tahu, mendiang putraku sebenarnya menyukaimu, ia sempat melihat fotomu di media sosial."
Ia mengambil sesuatu dari laci dan menunjukkan sebuah foto.
"Lihat, Nak. Inilah Ethan Ellias, kakaknya Zephyr. Ibu pikir dia akan berumur panjang seperti arti namanya... tapi tuhan sudah menjemputnya lebih dulu."
Aku menatap bu Inez dengan iba, lalu meraih pigura itu.
Oh, jadi sebenarnya bukan Zephyr calon suamiku? wah... tampan sekali, kalau yang ini aku mungkin takkan menolaknya.
"Kenapa kalian tidak mempertemukan kami waktu itu?" tanyaku lirih.
"Dulu kami tinggal di Velmora, sementara kalian masih di Montvale" jawabnya.
"Saat kami pindah dia menetap di sana, lalu sehari sebelum dia akan ke Velston city, dia kecelakaan, Nak Fim..."
Aku memeluknya erat.
"Saya turut berduka cita, Bu."
Beberapa menit kemudian Zephyr datang, mengenakan kemeja cokelat dan celana senada. Poninya jatuh ke dahi, tak seperti biasanya. Aku sampai tak bisa berkedip.
Wah... dia terlihat berbeda. Sekilas, mirip kakaknya.
Ibunya menyuruhnya duduk di sebelah Ayah.
"Seperti yang Ibu katakan, kau akan menikahi Serafim."
"Iya, aku tahu. Ini keinginan Ayah, bukan keinginanku. Ibu juga terpaksa kan menjodohkan kami?"
"Jaga bicaramu dan jangan menjawab sebelum Ibu selesai bicara!"
Aku mulai merasa tidak nyaman. Mata Bu Inez tampak menyimpan luka, sementara Zephyr terlihat tertekan.
"Kedua keluarga sudah sepakat. Kalian bisa saling mengenal dulu. Empat bulan lagi, kalian akan menikah."
"Ayah..." aku menatapnya untuk memastikan.
Ia hanya mengedip pelan, tanda bahwa keputusan sudah bulat.
"Yah, ini terlalu cepat. Kita bahkan baru saling mengenal."
"Nak, calon suamimu akan segera diangkat menjadi pimpinan perusahaan dan mencalonkan diri sebagai pejabat pemerintah. Bu Inez juga ingin melihat kalian segera menikah."
"Tapi Yah..." air mataku jatuh begitu saja.
Aku merasa ini tidak adil. Kami juga tidak saling mencintai.
Bu Inez memegang tanganku lembut.
"Sayang. Kalau ibumu, Lusi masih hidup... pasti dia akan bahagia kalau kau menjadi menantuku."
Entah kenapa, mendengar suaranya aku langsung luluh. Aku memeluknya dan menangis, aku begitu merindukan sosok seorang ibu.
Sambil memelukku dia meyakinkanku
"Ibu yakin, kau akan bahagia bersamanya."
Aku melepaskan pelukannya pelan.
"Sebenarnya Fim terkejut karena baru tahu tentang perjodohan ini..."
"Edwin, kau belum memberitahunya?" tanya Bu Inez ke Ayahku.
Ayah mengusap lengannya sendiri.
"Belum sempat. Tapi saya yakin, Zephyr adalah suami yang tepat untuk putri saya."
Bu Inez tersenyum lembut, sambil mengelus kepalaku.
"Terus, bagaimana denganmu, kau bersedia menjadi istrinya Zephyr?"
Aku mengangguk pelan.
"Baiklah... akan Fim coba."
Zephyr menimpali.
"Benar kata Ayahmu, kau memang anak yang penurut, Fim."
Saat aku menoleh, aku bisa melihat wajahnya yang masam.
Setelah makan malam, Ayah pulang lebih dulu.
Aku duduk di taman, menatap bintang-bintang yang bersinar terang. Zephyr duduk di sebelahku.
"Aku ingin memberitahumu sesuatu," katanya.
"Kau tahu kan, aku sudah punya pacar?"
Ah, iya... aku melupakan hal itu.
"Jadi kau belum putus?"
"Jangan bodoh, Fim. Mana mungkin aku putus dengannya."
"Baiklah, aku akan menolak perjodohan ini," kataku, mencari kontak Bu Inez di ponsel.
Dia langsung merebut ponselku.
"Dengarkan aku dulu. Kalau kau memberitahunya sekarang, kau akan jadi pembunuh calon mertuamu."
"Apa maksudmu? Aku tidak mau menghabiskan waktu dengan orang yang bahkan tidak mau menikah denganku!"
"Fim, pelankan suaramu. Kalau sampai dia tahu, kau akan kehilangan dia. Bukankah kau menyukainya?"
"Aku akan menikah denganmu, tapi aku tidak akan serumah denganmu. Aku akan tinggal bersamanya, kau juga boleh pacaran dengan orang lain," ucap Zephyr datar.
Aku menamparnya spontan.
"Beraninya kau bicara begitu! Aku tidak peduli siapa pun kau, jangan meremehkanku apalagi merendahkanku. Aku juga punya harga diri!"
Aku berbalik hendak pergi, tapi dia menahan tanganku.
"Tunggu. Aku tidak ingin Ayahmu khawatir. Aku juga tidak mau calon mertuaku memarahiku. Biar kuantar kau pulang, kumohon."
Aku sempat menepis tangannya dan menatapnya lama, lalu mengangguk.
Sepanjang perjalanan kami diam. Saat tiba di depan rumah, dia berkata pelan,
"Maaf, Fim. Aku tidak bermaksud tidak menghormatimu. Aku hanya terpaksa. Aku akan memberimu waktu, tiga hari."
Aku menatapnya.
"Tidak. Aku minta waktu tiga minggu."
"Baiklah. Aku akan menunggu. Semoga kabar baik itu datang."
Aku masuk ke rumah. Ayah sedang duduk di ruang tamu.
"Sudah pulang, Fim? Sini, Ayah mau bicara!"
Aku duduk di sebelahnya.
"Kak Louis sudah pulang, Yah?"
"Belum, mungkin besok sore.
"Ayah minta maaf, awalnya... Ayah akan mempertemukan kalian saat ulang tahunmu, dan akan memberitahumu rencana kami setelahnya. Tapi Bu Inez minta pernikahan kalian dipercepat."
"Ya mau bagaimana lagi, semuanya sudah terjadi. Tapi Yah... apakah Fim boleh... menolaknya? Aku tidak menyukainya."
"Bukannya kau tadi sudah setuju, waktu di depan Bu Inez?"
"Tapi, Yah..."
Ayahku mengabaikanku dan pamit tidur.
Hari-hari berlalu, dan aku tetap belum bisa memutuskan.
Tiga minggu kemudian, akhirnya aku menelponnya.
"Bagaimana, Fim?" suaranya terdengar di ujung sana.
"Aku..." suaraku tertahan.
Suasana menjadi hening di seberang sana terasa lebih tajam dari pisau, menunggu jawaban.
Bersambung...