Dituduh pembunuh suaminya. Diusir dari rumah dalam keadaan hamil besar. Mengalami ketuban pecah di tengah jalan saat hujan deras. Seakan nasib buruk tidak ingin lepas dari kehidupan Shanum. Bayi yang di nanti selama ini meninggal dan mayatnya harus ditebus dari rumah sakit.
Sementara itu, Sagara kelimpungan karena kedua anak kembarnya alergi susu formula. Dia bertemu dengan Shanum yang memiliki limpahan ASI.
Terjadi kontrak kerja sama antara Shanum dan Sagara dengan tebusan biaya rumah sakit dan gaji bulanan sebesar 20 juta.
Namun, suatu malam terjadi sesuatu yang tidak mereka harapkan. Sagara mengira Shanum adalah Sonia, istrinya yang kabur setelah melahirkan. Sagara melampiaskan hasratnya yang ditahan selama setelah tahun.
"Aku akan menikahi mu walau secara siri," ucap Sagara.
Akankah Shanum bertahan dalam pernikahan yang disembunyikan itu? Apa yang akan terjadi ketika Sonia datang kembali dan membawa rahasia besar yang mengguncang semua orang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Pagi itu, udara terasa hangat dan bersih. Embun di ujung daun masih berkilau seperti serpihan kaca kecil yang tertinggal dari malam. Seperti biasa, Shanum menuntun langkah kecil si kembar keluar dari rumah. Abyasa menenteng bola biru, sedangkan Arsyla membawa piano mainan kecil yang sudah sedikit tergores, tapi tetap jadi kesayangannya.
Setiap kali matahari bersinar cerah, halaman rumah itu seolah menjadi taman kehidupan bagi Shanum. Di sinilah ia bisa melupakan sejenak luka yang disembunyikan di balik senyumnya.
“Aby, larinya di sekitar sini saja, ya, Sayang!” seru Shanum lembut.
Abyasa menoleh, tertawa riang sambil melambaikan tangan, lalu berlari kecil kembali ke arah Shanum. Rambutnya berantakan diterpa angin pagi, pipinya memerah.
Sementara Arsyla duduk di atas karpet rumput sintetis, menekan tuts piano mainannya satu per satu. Suara nyaring yang keluar terdengar sumbang, tapi justru menambah kehangatan suasana. Arsyla bernyanyi dengan bahasa bayi yang hanya dimengerti oleh dirinya sendiri.
Shanum terkekeh pelan, lalu duduk bersila di hadapan mereka. Ia menekan tuts-tuts kecil itu, menciptakan lagu sederhana.
“Do … re … mi … fa … so ... la.” Suara Shanum mengalun lembut, diiringi dua tawa mungil yang menjadi harmoni paling indah di dunia baginya.
Di balik kaca jendela lantai dua, Sonia berdiri diam. Tangannya menggenggam kusen jendela dengan kuat. Matanya menatap ketiganya—Shanum, Abyasa, dan Arsyla—yang tertawa seolah tak ada duka. Dari wajah Shanum terpancar kasih yang tulus, seperti seorang ibu sejati.
Sonia menelan ludah, dadanya terasa sesak.
“Jika melihat kalian seperti ini, rasanya seperti ibu dan anak kandung beneran. Dan aku seperti orang asing,” gumamnya dengan suara nyaris tak terdengar.
Pandangan matanya mulai kabur, bukan karena silau matahari, tetapi karena air mata yang menumpuk di sudutnya.
Sejak kecelakaan itu membuatnya belum bisa berjalan normal. Sonia lebih sering duduk di kursi roda. Kini menatap dunia dari balik jendela. Ia merasa semua perlahan menjauh darinya. Mau itu tawa anak-anak, sentuhan suaminya, bahkan kebahagiaan yang dulu sederhana. Kini semuanya terasa seperti milik orang lain.
Pintu kamar terbuka pelan. Sagara masuk, menatap istrinya dengan sorot mata lembut, namun lelah.
“Sayang, cuaca di luar sedang cerah. Kita keluar, ya, sambil menikmati sinar matahari pagi dan udara segar,” ajak Sagara
Sonia mengangguk tanpa kata. Dia terlalu lelah untuk berpura-pura bahagia, tetapi juga terlalu cinta untuk menolak.
Saat kursi rodanya melintasi teras, Sonia langsung melihat Shanum yang sedang tertawa bersama anak-anak. Suara tawa itu berhenti ketika Sagara muncul.
Shanum tersenyum, berusaha menutupi kegugupan yang mendadak datang. “Selamat pagi, Pak.”
Sagara membalas senyum itu tipis, lalu membuka kedua tangannya lebar.
“Siapa yang mau ikut papa berlari?” seru Sagara dengan nada riang yang dibuat-buat.
Abyasa dan Arsyla langsung bersorak, berlari kecil menuju pelukan ayah mereka. Sagara tertawa, mengangkat keduanya.
“Aku keliling halaman dulu, bawa anak-anak, ya!” kata Sagara menatap Shanum.
“Iya, Pak,” jawab Shanum sopan sambil menunduk sedikit.
Momen kecil itu tampak wajar bagi siapa pun yang melihatnya. Tetapi bagi Sonia, setiap kata, setiap tatapan, dan setiap senyum terasa seperti sayatan halus di hatinya.
Sagara dan Shanum memang berusaha menjaga jarak. Namun, bagi Sonia, cara keduanya saling menatap tak pernah bisa dibohongi. Ada sesuatu di sana, rasa yang terlalu dalam untuk sekadar disebut ‘kebaikan’.
Sonia menatap lama ke arah mereka bertiga—Sagara dan kedua anaknya yang berlarian di bawah sinar matahari, sementara Shanum berdiri di bawah pohon, tersenyum.
Sonia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. “Aneh,” katanya dalam hati. “Aku istri pertama, tapi aku yang merasa seperti tamu di rumah sendiri.”
“Bu Sonia, apa ingin berjemur di sini?” tanya Shanum memecah lamunannya.
Sonia menoleh, bibirnya bergerak lambat. “Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Mbak. Sebaiknya kita bicara di tempat yang teduh.”
Nada suaranya lembut, tapi matanya tajam, menyimpan sesuatu yang sulit diterka.
Shanum sempat menelan ludah. Ia tahu arah pembicaraan itu mungkin tidak akan mudah. Namun, ia juga sadar, inilah saatnya menghadapi kenyataan yang selama ini mereka hindari.
“Baik, Bu. Mari ke sana,” balas Shanum pelan, berusaha menjaga sopan santun.
Shanum lalu mendorong kursi roda Sonia menuju kursi kayu di bawah pohon mangga yang rindang. Daunnya bergoyang perlahan tertiup angin, menjatuhkan bayangan lembut di wajah mereka berdua. Aroma bunga melati dari taman kecil di belakang rumah menambah suasana yang tenang. Ironisnya, ketenangan itu justru terasa menyesakkan.
Shanum duduk di samping Sonia. Keduanya terdiam lama. Hanya suara burung pagi yang mengisi jeda.
Sonia menatap lurus ke depan, sementara tangan Shanum bermain-main dengan ujung selendangnya.
“Aku sudah tahu semuanya. Semalam Mas Gara sudah jujur akan hubungan kalian,” ucap Sonia dan itu membuat Shanum terkejut sampai wajahnya mendadak kaku.