“Jangan sok suci, Kayuna! Kalau bukan aku yang menikahimu, kau hanya akan menjadi gadis murahan yang berkeliling menjual diri!”
Demi melunasi hutang ayahnya, Kayuna terpaksa menikah dengan Niko — CEO kejam nan tempramental. Ia kerap menerima hinaan dan siksaan fisik dari suaminya.
Setelah kehilangan bayinya dan mengetahui Niko bermain belakang dengan wanita lain. Tak hanya depresi, hidup Kayuna pun hancur sepenuhnya.
Namun, di titik terendahnya, muncul Shadow Cure — geng misterius yang membantunya bangkit. Dari gadis lemah, Kayuna berubah menjadi sosok yang siap membalas dendam terhadap orang-orang yang menghancurkannya.
Akankah Kayuna mampu menuntaskan dendamnya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SooYuu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
Tiga hari sebelum kepulangan Adrian ke Indonesia. Dia bertemu dengan Yudha di salah satu rumah sakit di London, tempatnya bekerja.
Jelas terjadi pertengkaran di antara keduanya, lalu Yudha memperingatkan bahwa dirinya akan kembali ke tanah air secepatnya. Mengingat tragedi kelam sepuluh tahun lalu yang nyaris menghancurkan hidup wanita yang dicintainya, tanpa pikir panjang — Adrian pun segera mengatur jadwal penerbangan ke Indonesia.
Demi memastikan Kayuna baik-baik saja. Meski sebenarnya, rencana kepulangannya masih setahun mendatang.
***
Ruang VIP itu terasa tenang, dengan dinding pembatas berlapis kayu panel gelap, lampu kristal sedikit terang menggantung di langit-langit ruangan. Adrian masih duduk dengan raut wajah kaku di sofa berwarna gelap, sementara Kayuna juga duduk sedikit berjarak dengan Adrian.
Mereka sama-sama diam. Saling melirik tapi buru-buru mengalihkan pandangan kala tatapan keduanya nyaris bertemu, canggung — setiap gerakan terasa salah, setiap napas terdengar gelisah.
Adrian mendongak saat mendengar gemuruh suara perut yang keroncongan.
Kayuna menyentuh perutnya, wajahnya kikuk menahan malu. ‘Sial, perutku keroncongan. Bikin malu aja!’ pekiknya dalam hati.
“Kamu belum makan?” tanya Adrian.
Kayuna berdeham pelan. “Itu … maaf,” ucapnya lirih.
Adrian mengalihkan wajahnya, menyembunyikan senyum tipisnya. “Tunggu sebentar, aku pesan makan dulu.” Lalu beranjak dari duduknya.
Kayuna berdiri cepat. “Nggak usah!” cegahnya seraya meraih lengan Adrian. “Kayaknya keadaan di luar udah tenang, aku mau pulang aja.”
Adrian mendadak membeku. Jantungnya terus berpacu, sentuhan Kayuna seolah memberinya debaran kuat. Laki-laki itu pun berulang kali menelan ludah.
“Makasih, Adrian,” ucap Kayuna lalu melepas genggamannya, hendak keluar ruangan.
Adrian kembali meraih tangan Kayuna dengan cepat. “Sekali ini saja, makanlah bersamaku.”
Pria itu seolah kehilangan akal, tiba-tiba ingin mentraktir mantan kekasihnya. Padahal, sebelumnya ia sangat bertekad ingin menghindari Kayuna dan move on dengan tenang.
Perempuan itu tersentak, “Hah?”
Kini keduanya saling berhadapan. Tatapan mereka dalam, seolah berbicara tanpa suara. Adrian dan Kayuna terhanyut dalam keheningan, sebelum suara dering ponsel membuyarkan lamunan mereka.
Kayuna mengerjap, begitupun dengan Adrian yang langsung melepas cengkeramannya.
Kayuna buru-buru mengangkat telepon. “Halo, Mas?”
“Kau di mana?” tanya Niko dalam sambungan telepon.
“Aku —”
“Aku sudah mencarimu di ruangan, tapi nggak ketemu. Kalau pergi bilang dong, jangan keluyuran seenaknya!” bentak Niko pada Kayuna.
“Aku masih di resto, Mas,” balas Kayuna.
“Benarkah?” Suara Niko terdengar seperti tak percaya. “Aku sudah menuju kantor, kau pulang naik taksi saja.”
“Tapi —”
Kayuna belum selesai bicara, tapi Niko menutup panggilan begitu saja.
“Aish! Dasar laki-laki brengsek!” hardiknya memaki suaminya. “Kau tau apa yang terjadi pada istrimu?! Bukannya cemas tapi malah pergi ninggalin aku? Bajingan!”
“Aaaaaa!” Kayuna berteriak melampiaskan amarahnya. Ia mengumpat tanpa sadar. Rahangnya mengetat, tangannya mengepal menggenggam erat ponselnya.
Adrian membulatkan mata, kedua tangannya terangkat — menutupi mulutnya yang masih ternganga.
Kayuna menghela napas panjang, emosinya memuncak pada suaminya. Lalu menoleh dan tergagap saat melihat Adrian menatapnya dengan wajah yang tampak terkejut. Dia lupa bahwa di ruangan itu bukan hanya ada dirinya.
“Adrian, i-itu … Sial!” desisnya sambil berbalik menutupi wajahnya.
Adrian tersenyum puas seolah bangga melihat Kayuna berani memaki suaminya. “Kupikir sisi garangmu ini sudah hilang.”
Kayuna masih berdiri menyembunyikan wajahnya. “Sial, malu banget aku,” gumamnya pelan. “Pura-pura gak denger aja deh kamu.”
Adrian masih terlihat sumringah, tak mampu menahan senyumnya. “Oke … aku nggak denger apapun.”
“Jangan ketawa!” seru Kayuna yang masih mendengar tawa kecil Adrian.
Adrian menutup paksa mulutnya. “Diam, diam,” ucapnya sambil menepuk kasar bibirnya sendiri.
Kayuna menoleh pelan. “Adrian ….”
Kruk … kruk …
Suara perut keroncongan kembali terdengar. Kayuna pun langsung berbalik badan.
Adrian mengangkat dagunya, sudut bibirnya terangkat tipis. “Tunggu di sini ya, aku segera kembali,” ujarnya sambil melangkah keluar ruangan.
Pria itu masih melongo, tapi langkahnya tak berhenti. “Dia … masih belum berubah,” gumamnya, pipinya mengembang — tersenyum lebar.
Setelah mendengar suara pintu tertutup, Kayuna menoleh, lalu segera menjatuhkan diri ke sofa. “Sial, sial, sial!” serunya seraya meremas erat kepalanya. “Setelah bertahun-tahun, seharusnya dia nggak ngeliat sisi burukku ini.”
Kayuna merebahkan bahunya. Pikirannya kembali teralih pada Yudha yang mengusik batinnya. “Apa dia akan kembali mencariku?” gumamnya.
“Aku harus segera menyelesaikan misiku, menghukum Niko lalu menghilang.” Kayuna kembali bergumam sendirian.
Tak lama, Adrian muncul kembali membawa sepiring buah segar. Disusul oleh pelayan yang mendorong troli berisi macam-macam menu makanan.
“Di sini aja, Mbak. Terima kasih,” ucap Adrian pada pelayan. Lalu berbalik mendorong troli masuk ke ruangan.
Kayuna melebarkan matanya. “Apa ini?”
“Makan siangmu,” sahut Adrian.
“Sebanyak ini?” tanya Kayuna dengan wajah seakan tak percaya.
Ada sop iga, gurame bakar, cumi saus tiram, udang crispy, cake, puding. Semua adalah makanan favorit Kayuna.
Adrian menyusun satu per satu piring yang berisi menu di atas meja. “Kamu butuh banyak nutrisi agar semakin kuat saat mengumpat,” celetuknya dengan senyum meledek.
Kayuna melirik kesal, tapi tangannya segera meraih sendok dan menyantap makanan yang sudah Adrian siapkan. Persetan dengan gengsi, saat lapar, hanya makanan yang ada di pikirannya.
“Kamu benar, untuk melawan Niko aku butuh kekuatan yang besar.”
“Kamu butuh bantuan?”
Kayuna menghentikan tangannya, lalu mendongak menatap Adrian. “Maksudku ….”
“Makanlah dulu,” perintah Adrian.
Kayuna mengangguk — patuh.
Setelah menghabiskan semangkuk sop iganya, lalu menikmati cumi favoritnya. Kayuna tampak senang, seolah melupakan kejadian kelam beberapa saat yang lalu.
“Bahkan selera makanmu, sama sekali nggak berubah,” ucap Adrian yang masih menatap Kayuna dengan penuh perhatian.
Kayuna mendongak. “Adrian, aku —”
“Kayuna,” potong Adrian. “Aku sudah pernah bilang, ‘kan? Kalau kamu butuh bantuan, hubungi aku,” katanya dengan lembut dan terdengar tulus.
Kayuna menelan ludah. Dia bisa merasakan ketulusan mantan kekasihnya itu, tapi ia tak ingin lagi terjebak dengan masa lalu dan mempersulit Adrian.
Setelah insiden perkelahiannya dengan Yudha saat kuliah. Adrian menerima hukuman dari keluarganya yang terkenal disiplin, hingga membuat Kayuna merasa bersalah selama bertahun-tahun.
“Kamu nggak keliatan bahagia, Yuna,” ucap Adrian pelan, matanya menatap dalam. “Sejak di rumah sakit, aku nggak bisa tenang. Terus kepikiran tentang cara suamimu memperlakukanmu.” Adrian kembali melontarkan kalimat yang membuat Kayuna nyaris luluh.
“Niko … sama sekali bukan pria yang baik, ‘kan?” sambung Adrian.
“Adrian … aku baik-baik saja sekarang. Aku tau, Niko memang bukan sosok suami yang baik,” ujar Kayuna pelan. “Tapi aku ingin menyelesaikan semuanya sendiri. Aku nggak mau melibatkan orang terdekatku untuk melawan Niko, termasuk kamu atau keluargaku.”
‘Orang terdekat?’ Mata Adrian mendadak berbinar saat mendengar pernyataan Kayuna yang mengatakan bahwa dirinya adalah salah satu orang terdekat.
“Tapi, Yun —”
Kayuna menunduk menatap piring-piring yang berjejer di meja. “Berpura-puralah nggak tau apapun. Aku akan membereskannya sendiri, kamu tenang aja,” balasnya sambil mengunyah makanannya meski sorot matanya bergetar.
Adrian menatap getir wanita di hadapannya. “Kamu yakin?” tanyanya.
Kayuna mengangguk yakin.
“Baiklah, selesaikan masalahmu dengan baik. Aku … akan tetap berdiri di belakangmu, berlarilah padaku jika kamu butuh bantuanku.”
Kayuna menegakkan wajahnya, menatap Adrian dengan sorot mata penuh harapan. ‘Apa aku masih punya hak untuk menerima bantuanmu? Mengingat apa yang sudah kulakukan di masa lalu. Aku sangat tak tahu malu.’
Kayuna kembali menunduk, mengunyah makanan yang sebenarnya ia pun kesulitan menelannya.
Hari itu berlalu dengan suasana tenang, namun gejolak tak kasat mata terus menyerang batin keduanya. Bayangan masa lalu, keraguan untuk melangkah maju, juga rasa yang masih menjerat di hati membuat Adrian dan Kayuna terjebak di tengah kenangan.
***
“Huek, huek!”
*
*
Bersambung ….