Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15. BISIKAN DIBALIK DINDING
..."Di balik aroma kue yang manis, tersimpan getir masa lalu dan di antara lapisan luka, dua jiwa perlahan belajar mencintai kembali kehidupan."...
...---•---...
Sudah tiga minggu sejak pagi itu ketika Naira belajar memotong bawang. Tiga minggu yang mengubah suasana rumah besar di Dago Pakar dari tempat yang terasa seperti museum menjadi sesuatu yang lebih hangat, lebih hidup.
Setiap pagi pukul lima, tanpa pernah gagal, Naira turun ke dapur. Kadang mereka memasak bersama, kadang Doni yang mengajari, kadang mereka cuma duduk sambil minum kopi dan mengobrol tentang hal-hal kecil yang membuat hidup terasa normal.
Doni tidak tahu kapan tepatnya Naira menjadi lebih dari sekadar klien. Mungkin saat perempuan itu tertawa sampai matanya berkaca-kaca karena telur dadarnya gosong dan lengket di wajan. Mungkin waktu Naira dengan bangga menunjukkan tumisan bawang putih pertamanya yang sempurna. Atau mungkin saat ia duduk di meja dapur, rambut diikat asal, tanpa riasan, memakai sweter lusuh, dan terlihat paling cantik yang pernah Doni lihat, hanya karena ia benar-benar bahagia.
Pagi ini, Doni sedang menyiapkan bahan untuk membuat kue lapis legit. Ini adalah proyek ambisius yang ia rencanakan untuk hidangan penutup makan malam nanti. Kue lapis legit membutuhkan kesabaran luar biasa: setiap lapis harus dipanggang satu per satu, menunggu yang satu matang sebelum menuang yang berikutnya. Total bisa dua jam hanya untuk satu kue. Tapi hasilnya sepadan, lembut, manis, dengan aroma rempah yang khas.
Ia sedang memisahkan kuning telur dari putihnya saat mendengar suara dari ruang cuci di sebelah dapur. Bukan suara mesin cuci atau pengering. Ini suara orang berbicara, pelan tapi cukup keras untuk terdengar lewat dinding tipis.
Suara Tuti, dan suara perempuan lain yang belum pernah Doni dengar.
"Astaga, Bu Tuti, ini serius?" Suara asing itu terdengar terkejut. "Nona Naira beneran kena KDRT?"
Tangan Doni berhenti di udara, masih memegang cangkang telur.
"Ssst, pelankan suaramu, Mbak Siti," bisik Tuti keras-keras. "Ini rahasia. Jangan sampai ada yang dengar."
"Tapi kok bisa? Maksudku, Pak Rendra kan kelihatannya sempurna. Ganteng, kaya, sopan di depan orang."
"Itulah masalahnya. Di depan orang memang begitu. Tapi di balik pintu tertutup berbeda lagi," ucap Tuti pelan, suaranya berat. "Aku pernah lihat sendiri. Waktu itu aku lupa ambil kain pel di ruang keluarga, sudah malam. Aku dengar Pak Rendra membentak-bentak Nona Naira, suaranya menyeramkan sekali. Terus ada suara barang jatuh. Aku mengintip sedikit, lihat Nona Naira menangis di lantai, lengannya merah, seperti habis dipegang kasar."
Darah Doni mendidih. Ia tahu Naira pernah cerita soal itu, tapi mendengar kesaksian langsung membuat semuanya terasa lebih nyata, lebih menyakitkan.
"Terus kenapa tidak lapor polisi? Atau keluarganya?"
"Nona Naira takut. Pak Rendra mengancam akan menghancurkan karier dia, menyebarkan gosip yang aneh-aneh. Dia punya koneksi di mana-mana. Media, produser, bahkan polisi. Siapa yang mau percaya kalau aktris terkenal bisa jadi korban? Semua orang pikir hidupnya sempurna."
"Kasihan sekali Nona Naira..."
"Makanya sekarang dia jadi begitu. Depresi berat, trauma, takut sama laki-laki. Untung ada Pak Doni sekarang. Sejak dia datang, Nona Naira mulai makan lagi, mulai senyum lagi."
Doni tahu dia harus berhenti mendengarkan. Ini privasi Naira. Tapi kakinya seolah menempel di lantai, dan telinganya tidak mau berhenti menyerap setiap kata.
"Pak Doni baik ya, Bu?"
"Baik sekali. Sabar, perhatian, tidak pernah marah. Cara dia memasak itu penuh hati, terlihat dia peduli sama Nona Naira. Bukan cuma pekerjaan, tapi benar-benar peduli."
"Wah, jangan-jangan Nona Naira bisa jatuh cinta sama dia."
"Jangan berbicara keras-keras! Kontraknya ketat, tidak boleh terlibat emosional. Tapi kalau menurut saya pribadi..." Tuti menurunkan suara sampai nyaris tidak terdengar, "kayaknya mereka sudah mulai dekat. Cara mereka mengobrol di dapur itu beda. Cara mereka saling melihat juga beda."
"Terus bagaimana dong? Kasihan kalau mereka saling suka tapi tidak bisa karena kontrak."
"Aku tidak tahu, Mbak. Yang jelas, aku senang Nona Naira akhirnya bertemu orang yang benar-benar peduli. Setelah tiga tahun hidup di neraka bersama Pak Rendra, dia pantas bahagia."
Suara mereka menjauh, mungkin keluar dari ruang cuci. Doni masih berdiri diam di dapur, telur setengah dipisah terlupakan di depannya.
Ia tahu Naira korban KDRT. Naira sudah cerita sendiri malam itu. Tapi mendengar detail dari saksi mata membuat amarah yang selama ini ia tahan muncul lagi.
Rendra Wiratama. Nama yang kini Doni benci sepenuh hati. Lelaki yang menyiksa perempuan sebaik Naira, yang membuat seseorang yang seharusnya bersinar malah nyaris padam.
Doni menarik napas dalam. Ia harus tenang. Ia harus fokus. Ia harus membuat kue lapis legit yang sempurna, membuat Naira tersenyum malam nanti. Melanjutkan penyembuhan yang pelan-pelan mereka bangun tiga minggu ini.
Tapi di pojok pikirannya, ada keresahan yang tidak bisa ia abaikan: bagaimana kalau Rendra kembali? Bagaimana kalau dia berani datang lagi?
Dan yang lebih menakutkan: apakah Doni punya hak untuk melindungi Naira, atau itu sudah melanggar batas profesional yang jelas tertulis di kontrak?
...---•---...
Siang itu, saat Doni baru selesai dengan lapis kelima kue lapis legit, Ratna datang ke dapur dengan ekspresi yang jarang ia lihat. Wajahnya tegang, rahang terkunci, dan ada cemas di matanya yang biasanya selalu tenang.
"Pak Doni, ada yang perlu saya bicarakan." Ratna duduk di meja dapur, tangannya terlipat rapi di atas meja. "Ini penting."
Doni mematikan pengatur waktu oven dan menoleh penuh perhatian. "Ada masalah?"
"Tadi pagi saya dapat telepon dari Pak Rendra, mantan suami Nona Naira." Ratna menyebut nama itu dengan nada dingin yang nyaris mengandung benci. "Dia bilang mau datang ke sini besok sore, mau 'menjenguk' Nona Naira."
Doni merasa dadanya diremas. "Nona Naira sudah tahu?"
"Belum. Saya belum berani bilang. Setiap kali nama itu disebut, dia langsung mengalami serangan panik." Ratna melepas kacamatanya, mengusap wajah lelahnya. "Tapi saya tidak bisa langsung menolak. Secara hukum mereka sudah cerai, tapi Pak Rendra punya pengacara licik. Dia bisa membuat masalah kalau kita tolak, bilang kita menghalangi dia untuk 'menyelesaikan urusan baik-baik'."
"Jadi dia bakal datang besok?"
"Pukul empat sore. Saya sudah coba atur ulang, tapi dia ngotot besok atau tidak sama sekali." Ratna kembali mengenakan kacamatanya. "Pak Doni, saya butuh bantuan."
"Bantuan apa?"
"Besok sore, waktu dia datang, saya mau Bapak ada di sini. Di ruang tamu, atau di dapur yang pintunya terbuka. Jangan jauh dari Nona Naira." Ratna menatapnya serius. "Saya tidak percaya Pak Rendra. Dia manipulatif, licik. Dan Nona Naira masih sangat rapuh. Kalau dia bilang sesuatu yang memicu trauma, saya takut Naira kambuh."
"Tentu saya akan ada di sini. Tapi apa saya boleh ikut campur kalau situasi memburuk? Maksud saya, saya kan cuma koki pribadi, bukan pengawal atau..."
"Lupakan kontraknya untuk satu hari," potong Ratna tegas. "Besok, prioritas kita cuma satu: keselamatan mental Nona Naira. Kalau Bapak merasa perlu turun tangan, lakukan. Saya yang akan bertanggung jawab."
Doni mengangguk. "Baik. Saya pastikan Nona Naira aman."
"Terima kasih, Pak Doni." Ratna berdiri, nada suaranya melunak. "Sejujurnya, sejak Bapak datang, ini pertama kalinya saya merasa ada orang yang benar-benar peduli sama Nona Naira. Bukan karena dia terkenal, bukan karena uangnya, tapi karena dia manusia yang butuh pertolongan."
"Saya cuma melakukan apa yang seharusnya dilakukan," jawab Doni pelan.
"Dan itu yang membuat Bapak berbeda dari orang lain di hidupnya."
Setelah Ratna pergi, Doni kembali ke kue lapisnya, tapi pikirannya berantakan. Tangannya bergerak otomatis menuang adonan lapis berikutnya, meratakannya dengan spatula, lalu memasukkannya ke oven. Tapi pikirannya melayang jauh.
Besok, Rendra akan datang. Lelaki yang menyiksa Naira, yang hampir menghancurkan jiwanya, akan datang ke rumah ini. Tempat yang selama sebulan jadi ruang aman Naira.
Doni tidak tahu bagaimana nanti ia bereaksi. Ia tidak tahu apakah bisa tetap tenang, atau amarahnya akan meledak.
Yang ia tahu, ia tidak akan membiarkan Rendra menyakiti Naira lagi. Apa pun yang terjadi.
...---•---...
Malam itu, makan malam berlangsung seperti biasa. Doni menyajikan salmon panggang dengan asparagus dan kentang tumbuk truffle. Makanan sederhana tapi elegan. Naira makan di ruang makan kali ini, bukan di kamar, dan menghabiskan hampir seluruh porsinya.
Setelah makan, seperti kebiasaan tiga minggu terakhir, Naira turun ke dapur sambil membawa piring kotor.
"Biar aku yang cuci," katanya sambil berjalan ke wastafel.
"Kamu tidak perlu, ada mesin cuci piring."
"Aku tahu, tapi aku suka cuci piring. Terapi murah." Naira menyalakan air hangat dan menuang sabun. "Lagi pula, kita kan teman. Teman bantu-bantu cuci piring."
Teman. Kata itu menggantung di udara. Mereka memang sudah lebih dari sekadar koki dan klien, tapi apa mereka benar-benar hanya teman? Atau ada sesuatu yang lebih dalam, yang belum berani mereka akui?
Doni berdiri di sebelah Naira, mengambil handuk untuk mengeringkan piring yang sudah dicuci. Gerak mereka selaras: Naira mencuci, Doni mengeringkan, lalu menyimpan.
"Naira," ucap Doni hati-hati, "ada yang perlu aku kasih tahu."
Naira menoleh, tangannya berhenti mengusap piring. "Apa?"
Doni menarik napas panjang. Kata-kata yang akan keluar mungkin menghancurkan ketenangan yang mereka bangun tiga minggu ini. Tapi Naira berhak tahu.
"Besok sore... Rendra akan datang ke sini."
...---•---...
...Bersambung...