Namaku Melody Bimantara, umurku baru dua puluh dua tahun, tapi sudah menjadi Manager sebuah hotel bintang lima milik keluarga.
Yang membuat aku sedih dan hampa adalah tuntutan orang tua yang memaksa aku mencari lelaki yang bisa dinikahi.
Kemana aku harus mencari laki-laki yang baik, setia dan mencintaiku? sedangkan para lelaki akan mundur jika aku bilang mereka harus "nyentana"..
Tolonglah aku apa yang harus aku perbuat??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayumi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DIPAKSA NIKAH
"Salomo, lepaskan kakinya. Tutup pintu mobil." perintah laki-laki itu kepada sopirnya.
"Baik, tuan."
Dadaku berdesir lega ketika mendengar suara berat laki-laki yang jas dan pahanya basah menampung air mataku.
Aku yakin pria ini berwajah kotak, keras, dengan rahang menonjol dan mata tajam seperti elang, serta hidung yang pasti mancung.
Pintu mobil ditutup dan mobil melaju pelan. Aku bersyukur merasa terbebas dari kejaran kedua suruhan Agung.
Aku belum berani bergerak, ketika sudah merasa agak jauh, wajahku menyembul dari balik jas pria itu, kemudian berusaha duduk setenang mungkin sambil menghapus air mata.
"Apakah kau m*ncuri sehingga di kejar oleh kedua scurity itu?" tanyanya sinis sambil membuka jas melempar ke jok belakang. Aku merasa bersalah, dia jij*k karena jas itu basah oleh air mataku. Cepat-cepat aku minta maaf.
"Maaf tuan aku mengotori jas mu." ucapku tergugu.
Hemm....
"Aku tidak biasa disentuh sembarang orang. Semoga saja kamu tidak berbuat kriminal yang berdampak kepadaku."
Aku terdiam. Malas menjawab omongan orang sombong. Dia merasa sudah kaya raya, baru naik mobil Alphard. Bathin ku.
"Apakah kamu pelak0r yang di tangkap istri majikan?"
Aku tersentak mendengar pertanyaan itu. Seolah laki-laki yang duduk disampingku ini mencurigaiku. Perlahan aku bergeser duduk, sungkan menatap wajahnya.
"Maaf tuan, aku tadi berselisih dengan calon suamiku, dia bers*lingkuh dan aku sempat mem*kul dan men*ndangnya. Mereka berdua j4tuh dan m4rah. Pasti dia ingin memb*nuhku." jawabku detail.
"Alasan kamuflase. Kenapa kamu harus berb0hong, tidak mungkin mereka jatuh gara-gara tend*nganmu. Lihat badanmu setipis triplek."
"Aku bukan orang yang senang mencari perhatian atau menjual kesedihan untuk mencari keuntungan. Aku tidak bohong." sahutku mulai merasa kesel.
Sekali lagi aku menoleh dan menatapnya dari samping. Buru-buru aku menghapus sisa air mata dengan ujung lengan baju.
"Sekarang banyak wanita mur4han yang senang menggaet laki-laki dengan berbagai cara."
"Aku tidak tahu tuan, yang jelas aku tidak seperti yang tuan pikirkan. Sebenarnya aku tidak senang membela diri memberi penjelasan. Terserah tuan menilai aku." sahut ku kesel.
Aku selalu jujur, kalau ada yang ngeyel, aku cepat naik darah. Mungkin karena aku anak bungsu yang dilatih mandiri dari kecil. Dan aku selalu serius orangnya.
Pria yang belakangan aku tahu bernama Arunakha Saloka tetap tidak percaya. Apalagi dia baru saja dikhianati oleh calon istrinya. Dia sakit hati dan menganggap semua wanita hanya mengincar kekayaannya.
Katanya dia sangat malu dan terpukul, calon istrinya kabur dengan laki-laki lain. Harusnya ia pulang membawa mempelai wanita, sekarang ia gigit jari. Kasihan.
Hari naas tidak ada di kalender. Saat ini ia kena apesnya. Menurut adat istiadat di Bali, mempelai lelaki datang menjemput mempelai wanita, tapi Arunakha sangat kecewa, karena mempelai wanita hilang dari rumahnya.
Tentu saja Arunakha tidak bisa berkutik dan menyalahkan orang tua si wanita. Orang tua mempelai wanita tidak bisa berbuat apa-apa hanya bisa menangis. Sungguh ironis!
Aku bisa membayangkan bagaimana malunya keluarga Harunakha sangat malu sekali, istilahnya rugi bandar, rugi segalanya. Apalagi tamu undangan sudah pada datang ke rumahnya.
Aku sendiri juga lagi apes berusaha tegar mencoba menenangkan diri. Aku menarik nafas dalam dan membuangnya kasar. Ujung mataku melirik Arunakha, dari tadi dia terlihat gelisah.
Nasibnya tidak beda denganku. Dikhianati oleh pasangan. Orang lain hanya bisa menepuk punggung kita dan berucap, "sabar, mungkin belum jodoh."
Aku menarik nafas panjang, menghalau sesak dihati, mencoba menerima keadaan. Tidak ada yang bisa diharapkan lagi.
Tiba-tiba Arunakha menatapku, mata kami bersirobok. Sumpah, aku mengagumi wajah itu. Ganteng, dia tersenyum penuh arti.
"Ada apa?" tanyaku kaku dengan mata membulat penuh kegugupan.
Aku terpana dibuatnya. Lebih macho dari Agung. Penilaianku sepuluh aku sematkan untuk ke gantengan Arunakha.
"Siapa namamu?" tanya Arunakha dingin dan tetap memandang ke wajah ku.
"Melody."
"Kasta?"
"Maaf, aku tidak punya kasta, aku rakyat jelata yang lahir di Indonesia. Darah ku merah!" jawab ku kesel. Hari gini masih nanyain kasta. Peradaban sudah berubah, sudah modern, Gen Alpha.
"Heemm.."
Hening! Hanya suara nafas terdengar.
"Sekilas wajahmu cantik, manis dan percaya diri. Aku paling benci dengan wanita miskin sock suci dan somb0ng." sindirnya.
Laki-laki itu kembali berdehem, aku tidak tau apa maknanya. Terus terang aku tak peduli terhadap penilaiannya kepada ku. Bebas merdeka menilai orang. Masa bodoh!
Rasanya sudah kenyang menyamar jadi tunangan Agung yang dipaksakan. Penuh lika liku dan manipulatif.
Tinggal dirumahnya malah disuruh bekerja seperti b4bu. Mengurus ibunya yang stroke, kakaknya yang song0ng, adiknya yang pem4las, ponakannya yang hiperaktif. Aku seperti gangsing bekerja dari pagi sampai malam. Badanku yang montok berubah jadi kurus. Hanya satu yang bisa dibanggakan lepas dari rumah Agung yaitu Mahkotaku masih segel.
Sebenarnya Agung tidak salah memusuhi ku, karena dia merasa tidak level denganku. Coba aku memperlihatkan jati diri, mungkin dia mau menikahiku.
Gara-gara menyamar jadi orang miskin aku diperlakukan semena-mena oleh keluarga Agung.
Penyamaran itu kulakukan gara-gara orang tua ku, ingin cepat punya menantu. Aku pergi dari rumah menyamar jadi orang lusuh, miskin, untuk mencari calon suami yang siap nyentana.
Ketemu ibunya Agung, dia mengajak aku kerumahnya untuk disandingkan dengan Arunakha.
Kata ibunya dia ingin sekali punya menantu yang sederhana tapi bisa di suruh dirumah dan menemani dirinya yang sedang sakit.
Kenyataannya sungguh berbeda Agung tidak merespon dan malah dia benci padaku. Aku sering minta mundur, tapi ibunya sangat tergantung padaku.
Tapi syukurlah, aku tidak jadi menikah dengan Agung, padahal aku mulai ada hati padanya.
Lamunanku buyar kala mendengar suara dingin dari Arunakha.
"Kau sudah aku selamatkan, aku minta bayaran. Hutang nyawa dibayar nyawa."*
"Deggg!"
"Apa ini, terdengar horor."
Aku reflex menoleh menatap wajahnya dari samping. Mataku menelisik wajah tampan itu dengan seksama. Pasti orang ini Psychopath, bathin ku.
"Arunakha, kau betul-betul horor, Apa kau kanibal. Apa kau benar menginginkan nyawa ku?"
"Aku serius, kau tidak kenal aku?" Ucapnya dengan suara serak.
"Aku tidak peduli siapa kau, tadi aku minta tolong karena keadaan mendesak. Jadi berhentilah bercanda karena aku bukan wanita yang suka merengek dengan kaum lelaki."
"Aku telah menolongmu, sekarang kamu harus menolongku dengan pura-pura menjadi istriku. Aku mohon kamu bisa menutupi rasa malu yang kini menampar keluarga ku."
"Nah begitu dong, ngomong yang jelas, dari tadi muter-muter melulu. Tapi maaf aku tidak mau menikah dengan kamu, walaupun hanya pura-pura."
"Aku akan memberimu segalanya apapun yang kamu minta..."
"Aku mau menikah denganmu asal kamu mau nyentana. Aku anak bungsu tidak punya saudara laki-laki, makanya orang tua ku menyuruh menikahi laki-laki untuk disuruh "Nyentana". Jelasku.
Mendengar kata nyentana, Arunakha menautkan alisnya. Mana mungkin dia pergi dari rumahnya, meninggalkan orang tua, leluhur demi mengemban tanggung jawab di rumah orang lain. Apalagi gadis ini miskin. Pikirnya.
Tapi hari ini dia butuh seorang istri, untuk menutupi malu keluarganya.
⁹Aggrrhhh...
Arunakha sangat bingung. Akhirnya ia nekat menyetujui permintaan Melody untuk nyentana. Nanti tinggal mengusir dia dari rumah. Pikir Arunakha.
"Aku setuju nyentana, asal kamu sanggup mengikuti pernikahan dirumahku. Setelah tiga bulan aku akan pindah kerumahmu membuat pernikahan kedua." ucap Arunakha serius.
"Pernikahan itu sakral, kita tidak bisa sembarangan, keluargaku perlu datang dan dilibatkan."
"Tadi kamu bilang orang tuamu tidak ada, mereka di kampung, kita butuh tiga bulan saja untuk pernikahan kedua. Jangan banyak pertimbangan."
Aku terpaksa mengangguk, tidak tahu apa yang seharusọnya dilakukan. Lagipula aku rada takut dengan ancaman Arunakha.
"Tapi kamu harus membuat perjanjian, hitam di atas putih."
"Tidak usah banyak cincong, kita sudah sampai, kamu cepat-cepat berhias."
"Baik-baiklah..." sahutku nervous.
Tidak berapa lama aku disuruh turun dari mobil, oleh beberapa wanita yang memakai pakaian adat. Mereka memandangku sebelah mata, maklum aku terlihat lusuh.
*****
sukses selalu ceritamu
tunggu karma mu kalian berdua !!😤