Dia meninggal tapi menghantui istri ku.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka mengangga di bagian ulu hati.
"Bertahanlah Dias." ucapku.
Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah. "Eva."
Tubuhnya yang menegang kini melemas seiring dengan hembusan nafas terakhir.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Mengapa Dias menyebut nama istriku diakhir nafasnya?
Apa hubungannya kematian Dias dengan istriku, Eva?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dayang Rindu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dias di bun-uh
"Lho, kok malah di suruh menjauhi Lusia? Kasihan dia Sen! Dia itu di rumahnya gak betah karena gak akur sama ibu mertuanya!"
"Bu! Ibu nggak tahu bagaimana aslinya Lusia? Kalau sama ibu mertuanya saja tidak akur, apa ibu pikir dia akan baik sekali dengan ibu? Lebih baik ibu jauhi dia, dia_"
"Bu!"
Aku menoleh pintu yang terbuka, Lusia berdiri dengan raut wajah hampir menangis, dia menatap aku dan ibu.
"Lusia." Ibu segera menghampiri istri Dias itu.
"Mas Seno kok tega ngomong gitu tentang aku." dia menangis betulan sekarang.
"Udah nggak usah mendengarkan kata Seno. Kamu jangan sedih, sini masuk." ibu mengajaknya masuk, duduk di sofa, tepatnya di hadapanku.
"Ya sudah, aku harus pulang." ucapku. Malas sekali berlama-lama di sini.
Ku tangkap dari situasi ini, Lusia sepertinya bukan orang yang baik. Andaikan Eva mau berteman dengannya pun, maka akulah yang akan melarangnya.
Tak butuh waktu lama, setengah jam kemudian aku sudah tiba di rumahku. Menyesal aku datang ke rumah ibu dan bertemu dengan perempuan itu, mood ku jadi tak enak.
"Assalamu_"
"Mas." Salam ku terpotong, Eva menghampiri ku dengan wajah kesal.
"Ada apa Sayang?" tanyaku.
"Mas, Lusia mengata-ngatai aku di sosial media. Dia menyindirku dengan banyak sekali ucapan yang menyakiti aku." adunya, sambil menggenggam ponsel di tangannya.
Ku tarik nafas dalam-dalam, dan ku peluk dia. "Sayang, jangan terpengaruh dengan kalimat yang kau anggap sebagai sindiran. Belum tentu dia mengataimu."
"Awalnya begitu Mas, tapi kemudian aku penasaran karena semua ucapannya menjurus kepada kehidupan kita. Lalu ku tanyakan baik-baik padanya, dan dia membalas ucapan ku dengan kata-kata yang lebih tajam."
Dia pun menyodorkan benda pipih itu padaku.
Ku lihat dengan teliti, ternyata benar Lusia mengumpat dan mengatai istriku dengan tak sopan, dan waktu yang tertera adalah setelah aku pulang dari rumah ibu. Setengah jam yang lalu.
Satu hal yang membuatku geram, dia bilang aku hanyalah pria miskin, tak punya apa-apa dan masih banyak lagi.
"Apa maksudnya?" ucapku, menatap wajah Eva yang sudah sangat marah. "Kamu ada nyinggung dia Dek?" tanyaku.
"Nggak ada Mas, kamu bisa lihat sendiri." katanya.
Geram juga akhirnya aku, setelah habis-habisan mengatai istriku, perempuan itu bahkan menghina diriku terang-terangan. Meskipun gajiku tak sebesar Dias, tapi hidup kami aman-aman saja, istriku tak pernah kelaparan.
Ku tatap layar ponsel istriku yang terus menyala, ada banyak pesan yang terus Lusia kirimkan. Bahkan sudah tengah malam.
Dan tidak pernah ku lihat Sebelumnya, ternyata istriku bisa marah juga.
Eva meraih ponselnya menghubungi seseorang. Setelah sekian lama dia menjaga jarak dengan Dias, malam ini dia menghubunginya dengan perasan penuh emosi.
"Halo Mas, tolong urus istrimu agar tidak selalu mengurusi hidupku. Dan jangan sekali-kali menghina suamiku, juga kehidupan kami. Kau tahu, aku bahkan tidak pernah mengusik dirimu, aku benar-benar kecewa!"
Aku sampai tercengang melihat keberanian istriku menghubungi dias. Dapat ku tebak Dias di seberang sana pasti akan marah besar.
*
*
*
Sudah hampir enam bulan setelah itu, istriku benar-benar menjauhi Dias, tak mau tahu sekecil apapun tentang sahabatku itu.
Meskipun begitu, aku tetap menjaga hubungan baik dengannya, aku tidak mungkin meninggalkan Dias yang tentunya butuh teman selain istrinya untuk berbagi. Meskipun tak sedekat dulu, aku hanya menyempatkan mengobrol dengannya jika sedang kebetulan bertemu. Aku tak pernah menghindar, bagaimana pun juga dia adalah sahabat ku.
Kehidupan kami berjalan dengan baik-baik saja, hanya saja terkadang sedikit terganggu dengan ucapan ibu yang masih saja terpengaruh dengan Lusia. Ku larang pun percuma karena perempuan itu masih saja datang ke rumah ibu dengan alasan membeli kue.
Namun demikian terus saja ku katakan pada ibu, jika Lusia tak sebaik itu, Lusia bahkan sudah mengatai anaknya terhina dan miskin.
Malam itu, aku melajukan sepeda motor ku dengan kecepatan yang lumayan kencang. Aku sedikit terburu-buru karena malam ini Seina rewel. Di setengah jalan menuju pulang, aku baru menyadari kalau ponselku berdering dan bergetar.
Ku hentikan sejenak lalu ku lihat siapa yang menghubungiku.
"Dias?" aku mengernyit heran, sudah lama sekali sejak Eva memarahinya, dia tak pernah menghubungiku. Tapi ini dia bahkan sudah menelepon ku berulang kali.
"Halo Dias!"
Terdengar gemerusuk di seberang sana, suara sahabatku itu pun hanya terbatuk tanpa bicara. Setelah beberapa kali aku memanggilnya tak juga di jawab, suara yang terdengar pun membingungkan.
Dengan ragu ku pacu sepeda motor ku ke arah lain. Entah mengapa, perasan ku sungguh khawatir.
Hingga sudah berada di depan pintu rumahnya, ku lihat ada Mbak Nia yang juga datang membawa rantang makanan.
"Lho, Sen! Kau dari mana?" tanya Mbak Nia, kakak perempuan Dias.
"Baru pulang kerja Mbak, ini tadi Dias menghubungiku. Tapi nggak ngomong. Aku jadi khawatir Mbak." jawabku.
"Halah, paling kepencet Sen ! Wong dia itu kalau lagi rehat proyek, kerjanya tiduran terus." jawab Mbak Nia.
Benar juga, mungkin Dias hanya kepencet.
Tapi, kepencet kok sampai beberapa kali? Aku berdiri ragu di depan rumah sahabatku itu.
Jika ingat bagaimana istrinya menghina ku, juga mengatai istriku. Malas rasanya masuk ke dalam sana. Mungkin sebaiknya aku lanjut pulang, Eva pasti sudah menunggu.
"Diaaaaaaassss !!! Aaaaarghh.. Tolong!!!"
Ku letakkan helm di atas sepeda Motor maticku, ada apa di dalam sana sehingga Mbak Nia sampai menjerit.
"Mbak!" panggilku.
"Seno, tolong...." Mbak menangis histeris di sudut ruang makan. Akupun segera menghampirinya.
Dan alangkah terkejutnya aku ketika melihat Dias sudah terkapar dengan baju yang bersimbah darah.
"Dias!" teriakku, ku dekati Dias yang sudah hampir tak sadarkan diri. Ku lihat ponselnya juga sudah jatuh, tangannya yang kurus tak lagi mampu menahan ponselnya.
Batuknya terdengar pelan, matanya sesekali melotot lalu terpejam, dia begitu lemah.
"Agghh." dia berusaha tetap terjaga.
"Bertahanlah Dias, kita akan kerumah sakit." ucapku, namun tangannya berusaha menggapai tanganku.
"Dias." gumam ku, aku sudah tak yakin dia dapat bertahan.
Ku genggam tangan Dias yang terasa dingin dan Bergetar. Wajahnya pucat pasi dengan keringat membasahi anak rambut di wajahnya. Mulutnya terbuka menahan sakit yang luar biasa, sekalinya menarik nafas darah mengucur dari luka menganga di bagian ulu hati.
"Siapa yang melakukan ini, Dias." tanyaku. Namun Dia menggeleng, menarik nafas yang tersengal-sengal, lalu berkata dengan susah payah.
"Eva." ucapnya, seiring dengan tangannya yang menggenggam tanganku terlepas.
Kemudian tubuhnya menegang, lalu melemas dengan mata tertutup rapat.
Aku tercekat memandangi wajah sahabat ku dengan rasa yang berkecamuk hebat.
Siapa yang melakukan ini pada Dias sahabatku?
"Diaaaaaaass!!!!" Pekikan Mbak Nia terdengar menyayat hati, mengundang beberapa orang tetangga Dias masuk dan mencari tahu apa yang terjadi.
Aku terduduk lemas tanpa kata, satu hal yang sekarang membuatku masih bertanya-tanya.
Mengapa Dias menyebut nama istriku di akhir nafasnya?
Lusia.. lusiapa siih, sampe seenaknya aja mau bunuh orang kek bunuh nyamuk 🦟/Slight/
Lusia.. lusialan emang 🤭🏃♀️🏃♀️🏃♀️
hais jd tegang nieh a1 bacanya