Btari harus menjalani pernikahan kontrak setelah ia menyetujui kerja sama dengan Albarra Raditya Nugraha, musuhnya semasa SMA. Albarra membutuhkan perempuan untuk menjadi istru sewaan sementara Btari membutuhkan seseorang untuk menjadi donatur tetap di panti asuhan tempatnya mengajar.
Sebenarnya Btari ragu menerima, karena hal ini sangat bertolak belakang dengan prinsip hidupnya. Apalagi Btari menikah hanya untuk menutupi skandal Barra dengan model papan atas, Nadea Vanessa yang juga adalah perempuan bersuami.
Perdebatan selalu menghiasi Btari dan Barra, dari mulai persiapan pernikahan hingga kehidupan mereka menjadi suami-istri. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan kedua manusia ini?
Bagaimana jika keduanya merasa nyaman dengan kehadiran masing-masing?
Hingga peran Nadea yang sangat penting dalam hubungan mereka.
Ini kisah tentang dua anak manusia yang berusaha menyangkal perasaan masing
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edelweis Namira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SAH
Hari yang ditunggu pun tiba. Ah tidak, sebenarnya ini bukan hari yang ditunggu-tunggu dalam arti yang sebenar-benarnya. Pernikahan ini memang tampak seperti pada umumnya. Acara pernikahan Btari dan Barra diadakan di sebuah vila mewah milik keluarga Barra dengan pemandangan taman yang asri. Konsep pernikahan adalah intimate wedding, sesuai kesepakatan mereka. Dekorasi didominasi warna putih dan hijau daun dengan sedikit sentuhan merah mudah memberikan kesan elegan namun sederhana. Suasana terasa hangat, hanya dihadiri keluarga besar dan beberapa teman dekat.
Tempat akad nikah yang berada di depan pelaminan dihiasi dengan dekorasi sederhana namun elegan, sesuai dengan keinginan Btari untuk suasana yang intim. Sementara itu kursi-kursi disusun rapi, diisi keluarga besar Barra yang terpandang dan beberapa kerabat dekat Maya, termasuk kakak ipar Btari dan keponakannya yang datang dari luar negeri.
Semua mata tertuju ke arah Barra yang duduk di depan penghulu, bersiap mengucapkan ijab qabul. Lelaki itu tampak gagah dengan baju putih khas penampilan lelaki melayu.
Bian-Kakak Btari yang hari ini bertindak sebagai wali, duduk di samping penghulu. Wajahnya tampak begitu tegang. Kakak Maya, Reza, yang baru tiba dari luar negeri, berdiri sebagai walinya. Meski jarang bertemu, Bian berusaha menunjukkan dukungannya dengan senyuman hangat. Ia sempat berbicara serius dengan Btari di hari sebelumnya. Memastikan sang adik benar-benar siap, meski ia merasa ada sesuatu yang aneh dengan pernikahan ini.
Saat penghulu membacakan doa dan memimpin proses akad, ruangan terasa hening. Tangan Bian berjabat dengan tangan Barra. Kedua lelaki itu sama tegangnya. Barra dengan suara tegas mengucapkan ijab kabul.
"SAH!" Dua saksi pernikahan berseru lantang.
Sebuah tanda halalnya hubungan antara Btari dan Barra. Apapun yang melatarbelakangi pernikahan mereka, tetap saja pernikahan mereka sah di mata negara dan agama.
Ketika penghulu mengumumkan bahwa akad telah sah, ruangan dipenuhi dengan ucapan syukur dari para tamu. MC pun meminta untuk Btari masuk ke area akad. Barra menoleh belakang. Disana, Btari mulai memasuki area akad di dampingi Lea dan Indy. Barra tersenyum tipis melihat penampilan Btari. Gadis yang biasanya tampak tegas kini terlihat berbeda.
Btari mengenakan gaun putih sederhana dengan hijab yang tertata rapi, memancarkan kesan anggun. Wajahnya yang sedikit gugup justru membuatnya terlihat semakin mempesona. Sepanjang perjalanan ia menuju ke area akad, gadis itu tidak berhenti memberikan senyumnya.
Senyuman yang berbeda ketika bersama Barra.
"Dia… cantik sekali. Aku tidak pernah memperhatikannya seperti ini sebelumnya." Batin Barra. Lelaki itu bahkan sempat terdiam ketika Btari kini berada di dekatnya.
Barra segera menepis pikirannya, menyadari bahwa ini hanya pernikahan kontrak.
Setelah Btari duduk di samping Barra, penghulu meminta Btari untuk mencium tangan suaminya sebagai tanda hormat, dan Raka diminta mencium kening istrinya sebagai tanda kasih sayang.
Barra bisa melihat jelas raut terkejut Btari. Gadis itu lalu menundukkan kepala sambil meremas kedua tangannya yang diletakkan di pangkuan. Suaranya hampir berbisik, “Saya... belum pernah...”
Lelaki itu menyadari kecanggungan Btari, menatap penghulu sejenak sebelum mendekat dengan tenang. Ia menjulurkan tangannya, menunggu Btari mengambil inisiatif.
“Tidak apa-apa, Bi. Lakukan saja sebisamu. Ini hanya formalitas. Tenang, ya." Kata Barra pelan dengan sangat lembut.
Maya menatap tangannya dengan ragu, lalu perlahan-lahan mengulurkan tangan kanannya yang gemetar. Saat tangannya menyentuh tangan Barra, ia merasakan dadanya berdebar kencang. Setelah mencium tangan Barra dengan gerakan cepat, ia segera menarik kembali tangannya, wajahnya sedikit memerah.
“Sekarang, silakan cium kening istri Anda.” Kata Penghulu tersebut.
Btari langsung menatap penghulu dengan kaget. Ia bahkan panik dan langsung memegang ujung jilbabnya dengan erat.
Raka mengerti betapa sulitnya situasi ini untuk Btari. Ia saja baru mengetahui dari Indy bagaimana Btari menjaga dirinya dari yang bukan mahram selama ini. Barra kemudian berdiri. Btari mengangkat wajah dan melihat sekilas Barra. Lelaki itu mengangguk seolah meyakinkan Btari bahwa ini akan baik-baik saja.
Btari kemudian berdiri namun masih menunduk. Barra antara ingin tertawa dan kasihan melihatnya. Namun Barra akhirnya melangkah mendekat dengan hati-hati, lalu menunduk sedikit untuk mencium keningnya tanpa menyentuh bagian lain. Gerakannya sangat lembut dan penuh penghormatan.
Sementara Btari masih menutup matanya erat-erat, merasa canggung dan kaku, namun berusaha menerima momen itu sebagai bagian dari komitmen yang telah ia sepakati.
"Santai, Bi. Tidak usah sepanik itu. Wajahmu sudah memerah seperti tomat." Bisik Barra membuat Btari menatapnya tajam.
Setelah prosesi akad selesai, pasangan pengantin itu diarahkan untuk sesi foto sambil memperlihatkan buku nikahnya. Keduanya diminta untuk berdiri mendekat. Btari mendelik tajam ketika Barra menarik bahunya untuk mendekat.
"Senyum, Bi. Wajah para tamu bahkan lebih cerah dari wajahmu." Bisik Barra sambil menatap ke arah para tamu yang menatap mereka dengan bahagia.
Dua kali jepretan berhasil. Dikira Btari dan Barra, mereka akan langsung bisa duduk di kursi pelaminan. Namun tidak. Entah ide siapa, pasangan pengantin diarahkan oleh fotografer untuk sesi foto bersama. Lokasinya adalah taman kecil yang telah dihiasi lampu-lampu gantung dan bunga segar. Suasana masih terasa formal, tetapi keluarga besar dan beberapa tamu mulai bersantai, menyaksikan dari kejauhan.
Barra membantu Btari yang agak kesulitan bergerak karena gaunnya yang sedikit panjang. Kini Btari berdiri di samping Barra dengan wajah tegang. Ia menggenggam buket bunga kecil dan sesekali menghela napasnya untuk mencoba menutupi rasa gugupnya.
Alina, fotografer yang tidak lain adalah sahabat Btari sendiri mulai memberikan arahan untuk mendapatkan pose yang tampak mesra. Maya berdiri di samping Raka dengan wajah tegang. Ia menggenggam buket bunga kecil, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. Fotografer mulai memberi arahan untuk mendapatkan pose yang tampak mesra.
“Baik, sekarang kita mulai dengan pose sederhana. Mas Barra tolong berdiri sedikit lebih dekat ke Mbak Btari, ya."
Btari mendelik ke Alina. Namun Alina tidak peduli. Berita pernikahan Btari membuatnya terkejut namun juga membuatnya ikut bahagia.
Barra berjalan mendekat pada Btari. Bahunya bahkan menempel dengan Btaru. Gadis itu lalu sedikit memundurkan tubuhnya.
"Terlalu dekat. Segini cukup kayaknya."
Barra tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana. “Bi, kalau terlalu jauh, mereka bisa mengira kita bukan pengantin baru. Kamu seperti terlihat perempuan yang sedang marah dengan pasangannya."
Alina ikut tertawa kecil juga, momen itu terlihat lucu. “Benar, Mbak. Tidak apa-apa, hanya sedikit lebih dekat, seperti ini.” Alina menunjukkan pose yang dimaksud.
Barra kemudian mendekatkan diri dengan hati-hati, menjaga agar tidak terlalu mengganggu Btari. Namun, ketika ia mencoba menyentuh bahu Maya dengan perlahan, Maya secara refleks mundur.
“Maaf... saya tidak terbiasa.” Cicitnya.
Lelaki itu mengangguk kemudian menurunkan tangannya, tersenyum memahami “Tidak apa-apa. Kita lakukan sesuai kenyamananmu.”
Sementara Barra mencoba memahami Btari, Alina mulai terkikik geli. Ia sama.sekali tidak terkejut akan hal itu.
“Baik, kalau begitu, kita buat pose lebih sederhana. Mas Barra tolong berdiri di samping dan lihat ke arah Mbak Tari. Mbak, tolong sedikit menoleh ke arah Mas Barra, ya." Kata Alina mencoba mengarahkan kembali.
Meski ragu akhirnya Btari mengangguk. Setidaknya ini lebih mudah untuknya daripada pose tadi. Btari dan Barra mencoba mengikuti arahan, tetapi keheningan canggung di antara mereka membuat pose terlihat kaku.
“Mungkin sedikit senyum, Mas? Begitu juga Mbak Tari. Bayangkan kalian sedang berbicara sesuatu yang menyenangkan.” Kata fotografer satunya, asisten Alina dengan lembut.
Barra mengangguk lalu menatap Btari yang masih kaku. “Jadi... setelah ini kau mau makan apa?” Tanya Barra dengan lembut. Senyumannya masih setia di wajah Barra.
Btari awalnya heran. Namun otaknya dengan cepat berpikir. Akhirnya ia tersenyum tipis. Mencoba bersikap santai.
“Apa saja yang tidak terlalu berat. Saya juga belum lapar.”
Fotografer itu tersenyum “Nah, itu senyumnya, Mbak Tari! Sangat bagus. Satu lagi ya, kali ini lebih santai.” Seru fotografer itu.
Alina kemudian mengambil alih kembali. Kali ini ia meminta pose yang lebih romantis.
"Mas Barra tolong pegang tangan Mbak Tari, ya. Nah Mbak, lebih santai ya. Coba tatap Mas Barra."
Btari terlihat ragu. Ia memandangi Barra dengan ekspresi bertanya, meminta kepastian.
"Kalau kau tidak nyaman, kita bisa katakan tidak pada mereka.” Ucap Barra pelan.
Mata Btari melihat ke para tamu yang masih setia melihat mereka dari jauh. Ia diam sejenak dan akhirnya mengangguk.
“Tidak apa-apa. Hanya sebentar.”
Barra mengulurkan tangannya dengan perlahan. Btari dengan ragu menyentuh tangannya, berusaha menenangkan debar jantungnya.
"Bagus sekali! Nah, tahan sebentar. Satu... dua... tiga!” Alina berseru puas.
Btari dan Barra akhirnya bisa bernapas lega. Baru saja Alina akan mengambil foto lain, namun tiba-tiba mamanya Barra datang.
"Fotonya tambah. Kali ini lebih mesra lagi!"
"APA?!" Barra dan Btari berseru bersamaan.
Kalau bukan bertahan dengan bahu Barra, kaki Btari mungkin tidak bisa berdiri tegak lagi.
ceritanya kayak beneran, jd senyum" sendiri