Pada abad ke-19, seorang saudagar China yang kaya raya membawa serta istri dan anaknya menetap di Indonesia. Salah satu anak mereka, Jian An, tumbuh menjadi sosok yang cerdas dan berwibawa. Ketika ia dewasa, orang tuanya menjodohkannya dengan seorang bangsawan Jawa bernama Banyu Janitra.
Pada malam pertama mereka sebagai suami istri, Banyu Janitra ditemukan tewas secara misterius. Banyak yang menduga bahwa Jian Anlah yang membunuhnya, meskipun dia bersikeras tidak bersalah.
Namun, nasib buruk menghampirinya. Jian An tertangkap oleh orang tidak dikenal dan dimasukkan ke dalam sumur tua. berenang di permukaan air sumur yang kini tidak lagi berada di abad ke-19. Ia telah dipindahkan ke kota S, tahun 2024. Dalam kebingungannya, Jian An harus menghadapi dunia yang jauh berbeda dari yang ia kenal, berusaha menemukan jawaban atas misteri kematian suaminya dan mencari cara untuk kembali ke masa lalu yang penuh dengan penyesalan dan rahasia yang belum terungkap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Jian An terkejut mendengar suara Saka yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Ia menoleh, dan mendapati Saka berdiri di pintu dengan pakaian pengantin modern yang terlihat elegan, lengkap dengan jas hitam dan dasi yang terikat rapi. Senyum tipis terukir di wajahnya, meskipun ada sedikit rasa cemas di dalam hatinya. Jian An merasakan kegelisahan yang aneh saat matanya bertemu dengan mata Saka.
Saka melangkah mendekat dengan sikap tegas, membawa sebuah amplop di tangan kanannya. Di dalam amplop itu, Jian An bisa melihat jelas bahwa ada surat yang berisi perjanjian. Suasana di dalam kamar menjadi tegang, udara pagi yang semula tenang tiba-tiba terasa berat. Saka meletakkan amplop itu di meja samping ranjang, lalu menatap Jian An dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Aku pinta kamu untuk tanda tangan ini, surat perjanjian pernikahan,” ucap Saka dengan suara yang serius. Ia tidak mengalihkan pandangannya dari wajah Jian An, seolah menunggu jawaban. Kata-katanya membekas dalam hati Jian An, membangkitkan perasaan campur aduk dalam dirinya.
Jian An terdiam sejenak, matanya berkelana melihat surat yang tergeletak di meja. Ia merasa bingung, namun juga sedikit takut. Apakah ini keputusan yang tepat? Tapi entah kenapa, ia merasa ada dorongan untuk mengikuti apa yang Saka inginkan. Setelah sekian lama terombang-ambing dalam perasaan dan tak tahu harus bagaimana, entah kenapa surat perjanjian ini seperti memberi kejelasan yang ia cari.
“Kenapa harus surat perjanjian?” Tanya Jian An pelan, mencoba mencari penjelasan yang lebih jelas dari Saka. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik keputusan ini. Saka menatapnya lebih dalam, dan untuk sesaat, ekspresinya menunjukkan keraguan, seakan ingin mengatakan sesuatu yang lebih. Namun, ia hanya menghela napas dan akhirnya berkata, “Karena ini satu-satunya cara agar kita bisa melanjutkan ini semua dengan tenang, Jian An. Percayalah, ini demi kebaikan kita berdua.”
Jian An menatap Saka dengan tatapan tajam, mencoba memahami segala yang terjadi di sekitarnya. Nama "Jian An" yang keluar dari bibir Saka terasa begitu familiar, namun ada sesuatu yang aneh di dalam dirinya. Ia merasa ada ikatan yang lebih dalam, meski ia baru bertemu dengan Saka beberapa hari yang lalu. Perasaan aneh itu membanjiri pikirannya, dan ia tidak bisa mengabaikannya begitu saja.
"Apa kamu tidak merasakan apa-apa?" tanya Jian An, suaranya dipenuhi rasa penasaran dan kebingungan. Ia menggenggam tangan Saka dengan lembut, seolah mencari jawaban dari sentuhan itu. Wajahnya penuh tanda tanya, dan ia merasa seperti ada sesuatu yang hilang dari ingatannya. "Kamu begitu familiar memanggilku dengan nama Jian An, seperti kita sudah lama saling kenal."
Saka terdiam, matanya sejenak menghindari tatapan Jian An yang penuh harap. Hati Saka berdebar, dan seolah-olah ada perasaan yang tidak bisa ia jelaskan, sebuah hubungan yang terjalin tanpa ia mengerti asal-usulnya. Ia merasa sesuatu yang menghubungkannya dengan wanita di depannya ini, tetapi ia belum bisa mengungkapkan apa itu.
“Jian An...” Saka mengulang nama itu dengan perlahan, matanya kembali menatap Jian An. "Aku tidak tahu mengapa, tapi setiap kali aku menyebut namamu, ada perasaan yang aku tak bisa jelaskan. Seperti ada kenangan lama yang berputar-putar dalam pikiranku, tapi aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas."
Jian An merasa jantungnya berdebar semakin cepat. Jawaban Saka semakin membingungkannya, tetapi juga membangkitkan rasa ingin tahu yang mendalam. Ada sesuatu yang menghubungkan mereka, lebih dari sekadar pertemuan yang singkat. Sesuatu yang bahkan mungkin lebih dari yang bisa dijelaskan oleh logika atau takdir.
Jian An menatap Saka dengan bingung dan sedikit cemas, tidak tahu harus berkata apa lagi. Kalimat Saka yang mendesak itu membuatnya merasa semakin terperangkap dalam situasi yang semakin sulit dipahami. Ia tak tahu bagaimana ia bisa sampai di sini, berada di tempat yang asing dengan perasaan yang bergejolak. Keputusan yang dipaksakan itu terasa terlalu cepat, dan pikirannya seolah tak bisa mengikuti alur yang ada.
"Pokoknya tanda tangan, lalu 10 menit lagi MUA akan datang membawa baju pengantin untukmu," Saka berkata tegas, sambil menyodorkan surat perjanjian pernikahan yang tampak resmi di atas meja. Wajahnya tampak serius, seperti seorang yang tidak punya ruang untuk menunda atau menolak.
Jian An menatap surat itu dengan cemas, seakan-akan menunggu jawaban dari dirinya sendiri. Ia merasa ragu, namun di satu sisi, ia tahu bahwa dirinya tidak punya banyak pilihan. Ia ingin tahu lebih banyak tentang Saka, ingin mencari tahu alasan di balik semua yang terjadi, tetapi perasaan aneh yang terus menghantui pikirannya membuatnya semakin bingung.
"Kenapa harus begitu cepat?" Jian An bertanya, suaranya pelan, namun penuh ketegasan. "Aku butuh waktu untuk mencerna semua ini, Saka. Aku… aku merasa ada sesuatu yang belum aku pahami tentang dirimu, tentang kita."
Saka hanya menghela napas dan mendekatkan surat itu ke meja, memberi ruang bagi Jian An untuk menandatanganinya jika ia mau. "Terkadang kita tidak punya banyak waktu untuk berpikir, Jian An. Tetapi ingat, ini hanya sebuah formalitas, dan aku yakin kamu bisa menghadapinya. Kita bisa mencari tahu bersama setelah semuanya berjalan."
Jian An merasa seolah dihadapkan pada sebuah persimpangan jalan, dan meskipun hatinya penuh dengan keraguan, ia tahu ia harus mengambil keputusan.
***
Setelah beberapa waktu berlalu, Jian An akhirnya duduk tenang di kursi, menatap cermin besar di depannya. Pekerjaan MUA profesional benar-benar mengubah penampilannya. Wajahnya yang semula tampak penuh kebingungan kini terlihat cantik dan anggun, dengan riasan yang sederhana namun elegan. Kebaya putih yang dipakainya, yang terbuat dari bahan halus dan dipenuhi payet-payet kecil, bersinar indah di bawah cahaya lampu kamar hotel.
Riasan mata yang lembut membuat sorot matanya tampak lebih dalam, sementara bibirnya yang merah muda tampak sempurna dengan sentuhan gloss tipis. Rambut panjangnya ditata rapi dengan sentuhan gaya klasik yang menambah kesan anggun. Jian An tak bisa menahan diri untuk melirik dirinya sendiri di cermin, merasa seolah ia adalah orang yang berbeda—seorang wanita yang tak lagi mengenal dirinya sepenuhnya.
Ketika MUA selesai dan memberikan sentuhan terakhir pada rambutnya, Jian An merasa campuran perasaan yang tak terungkapkan. Ada kebingungan, ada kegelisahan, dan ada rasa kehilangan diri yang dalam. Namun, ia tahu bahwa penampilannya ini akan menjadi bagian dari keputusan besar yang akan diambilnya. Ia tidak tahu apakah ini jalan yang benar atau tidak, tetapi ia hanya bisa mengikuti arus yang telah dibawa oleh takdir.
Saka masuk ke ruangan dengan langkah mantap, matanya langsung tertuju pada Jian An yang kini tampak sangat berbeda. Wajahnya mengandung pujian yang tak bisa ia sembunyikan, meskipun ia berusaha menahan ekspresi itu. "Kamu... tampak sangat cantik," katanya pelan, hampir seperti bisikan.
Jian An hanya tersenyum tipis, perasaan campur aduk masih menguasai dirinya. "Terima kasih," jawabnya singkat, meskipun hatinya terasa berat. Ia tahu, meskipun ia tampak sempurna di luar, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab di dalam hatinya.