Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan anak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tiga
Ketika Mendung melangkah lemah menuju pintu kayu di depan sana yang sudah didobrak dari luar. Di dapur, Pelangi tengah cekatan memotong-motong cabai rawit merah di talenan.
Satu genggam penuh cabai rawit telah Pelangi iris, kemudian tuang ke dalam baskom besar. Kemudian, satu bungkus garam juga Pelangi tuang di sana, sebelum ia isi baskom tersebut dengan air dari ember penampung, menggunakan gayung. Pelangi melakukan semuanya dengan cepat.
“Sudah tua, miskin, tak tahu diri. Jelas-jelas suamimu lebih mencintaiku yang masih muda seger montok begini. Masih saja protes tak mengizinkannya menikahi aku!” lantang Yanti, si janda berambut lurus panjang warna pirang.
Bibir tebal menor merah menyala milik Yanti, masih sibuk menghina Mendung, ketika Pelangi keluar dari dapur. Barulah setelah air berisi racikan Pelangi mengguyur wajah Yanti, secara spontan, wanita bertubuh semok montok itu diam.
“Arrrrrggghhhh perih, tolong! Bajingaaaan kamu! Air apa ini, kenapa perih banget!” Yanti histeris kesakitan.
“Rasa perih yang kamu rasakan, enggak ada apa-apanya dari rasa perih yang harus kami rasakan, ya lonte gembrot! Makan sana ayahku yang tak berguna. Semoga kalian selalu bersama-sama sampai neraka!” teriak Pelangi tak segan menaruh baskomnya di kepala Yanti, sebelum kedua tangannya menjadi sibuk memukul baskom dan membuat Yanti berakhir jatuh ke teras rumah Mendung yang masih berupa tanah.
Kedua pengawal Yanti hendak melakukan perlawanan kepada Pelangi, tetapi dengan cepat, Mendung menahannya.
“Berani kalian menyentuh putriku, kalian mati! Jika tangan kalian yang melukai putriku, berarti tangan kalian harus dipotong kemudian dicincang menjadi bagian paling halus. Begitu juga jika kalian melukai putriku menggunakan bagian tubuh kalian yang lain!” Mendung menatap keji kedua pria cungkring berpakaian ala preman di hadapannya.
Jika Mendung melawan melalui kata-kata mengancam, Pelangi sengaja menggunakan baskomnya. Ia pungut baskom biru gelap dari kepala Yanti, kemudian menggunakannya untuk menghantam brutal kedua ajudan Yanti. Baskom berakhir remuk, dan kedua pria cungkring berkelakuan kemayu yang diamuk, ngacir kabur.
Tetangga yang sebelumnya terusik dan merasa tidak nyaman dengan kedatangan Yanti, hanya menjadi penonton. Malahan, ibu-ibu tetangga nyaris mengeroyok Yanti dan mereka sebut lonte gembrot. Andai para suami atau anak-anak mereka tidak menghalang-halangi, tentu Yanti sudah remuk.
“Wuuuuuuuuaaaaaasuuuuuuuuuuu! Dasar bocah enggak tahu tata krama!” teriak Yanti yang masih meringkuk di tanah.
“Di mana-mana yang tidak ngerti tata krama itu tukang perebut suami orang, Mbak Yanti! Walau kamu dan ayahku sama saja. Sama-sama ahli neraka!” balas Pelangi segera mengangkat pintunya yang jatuh di lantai, untuk menutup pintu.
Namun karena masih gemas kepada Yanti, ia sengaja menghantamkan pintu kayu yang sebagiannya sudah dijamah rayap itu, ke Yanti. Pintunya tepat mengenai punggung sekaligus kepala Yanti. Hingga wanita berusia tiga puluhan tahun, dan sangat berambisi menikahi ayahnya itu meneriakinya “kirik” yang artinya “anak anjing”
“Kalau aku kirik, berarti ayahku anjing. Lah tahu gitu, kok kamu gatel banget ke ayahku?” semprot Pelangi.
Dalam diamnya, Mendung paham, kejadian layaknya kini, memang akan terjadi. Akan ada masa di mana anak yang menangani masalah orang tua. Akan ada masanya anaklah yang mendidik orang tua, dan Pelangi sedang melakukannya.
Jika kalian bertanya di mana kini Andika berada, sebenarnya pria itu sudah dibawa oleh Yanti. Bisa jadi, keduanya sudah tinggal bersama bahkan melakukan hal-hal yang membuat Mendung dan Pelangi makin sakit hati.
***
Sekitar magrib menjelang petang, di hari itu juga, suara Andika yang lantang, menyertai gedoran kuat di pintu.
Pintu yang sebelumnya patah jadi dua setelah Pelangi hantamkan ke kepala Yanti, memang sudah diganti. Pelangi menggunakan uang tabungannya untuk membeli, kemudian meminta bantuan tetangga untuk memasangnya.
Acara makan bareng yang akan Mendung dan sang putri lakukan, jadi tertunda.
“Biar aku yang urus, Nda.” Pelangi buru-buru menaruh panci kecil berisi sup bening, juga satu cobek berisi sambal terasi dan ikan asin goreng.
“Ngie, ... biar Bunda saja.” Entah mengapa, firasat Mendung mendadak tidak enak. Dadanya bergemuruh, sementara jantungnya pun berdetak sangat cepat, seolah nyaris copot.
“Kenapa ... kenapa ... kenapa?” Dalam hatinya, Mendung sungguh ketakutan. Terlebih dari nada bicara Andika yang sampai berteriak, serta cara pria itu menggedor pintu.
“Bragggggg!” Baru saja, itu merupakan dobrokan layaknya menggunakan telapak kaki dan sangat kuat.
“Enggak apa-apa, Nda. Biar aku saja. Bunda duduk saja.” Pelangi tetap memimpin langkah, meski Mendung sang bunda terus menyusul.
Jujur, cara sang ayah bersikap kali ini, diam-diam membuat Pelangi ketakutan. Ketakutan yang teramat besar dan mampu mengalahkan rasa kecewa maupun jijiknya kepada sang ayah.
Beberapa saat kemudian, Pelangi sudah berhasil membuka pintu, sementara Mendung yang belum begitu lancar jalan tetap tertinggal.
“Plllaaaaakkk!” Tamparan panas tangan kanan Andika, mendarat di pipi kiri Pelangi.
Tubuh Pelangi sempoyongan dan wajahnya menunduk ke kanan mengikuti tamparan sang ayah.
Darah Mendung seolah dididihkan detik itu juga. Mendung histeris menyuruh Andika pergi. Lain dengan Yanti yang ada di sebelah Andika dan tersenyum puas kepada Mendung.
“Dasar anak setan! Dari kecil dididik, begini kelakuanmu? Mati, kamu mati! Berani-beraninya kamu melukai Yanti!” teriak Andika yang tak segan menjambak Pelangi, kemudian membenturkan kepala putrinya itu ke pintu baru di belakangnya.
Mendung sudah berulang kali menghentikan ulah Andika, tetapi selain Andika mendorongnya, Mendung yang langsung mental juga diamuk Yanti secara brutal. Mendung dijambak-jambak dan kepalanya dibentur-benturkan ke lantai.
“Bunda ... Bunda tolong ... cukup, Ayah ... cukup jangan sakiti Bunda lagi!” Tangis kesakitan Pelangi yang terus berlangsung kemudian digantikan dengan teriak minta tolong, membuat tetangga berdatangan.
“Jangan ikut campur! Ini urusan keluarga kami! Pergi!” Itulah yang terus Andika teriakkan kepada tetangga. Namun, tetangga tetap memisahkan.
Andika dan Yanti diamankan. Begitu juga kedua pengawal cungkring yanti yang kemayu.
“Bunda ... Bunda, Bunda tolong katakan sesuatu!” Pelangi yang keningnya benjol berwarna ungu, menangisi keadaan bundanya. Mendung yang masih lemah, nyaris kembali sekarat setelah sampai diamuk Yanti yang bertubuh gembrot.
Pak RT dan RW juga berdatangan. Niatnya, mereka akan menyidang ulah Andika dan Yanti. Mereka tetap menuntut keadilan untuk Mendung dan Pelangi. Namun, kehadiran mobil polisi, mengubah segalanya.
Mula-mula, semuanya berpikir bahwa rombongan polisi dan jumlahnya ada lima orang itu akan mengamakan Andika dan Yanti. Namun ternyata, rombongan polisi tersebut justru dipanggil oleh Yanti dan Andika, untuk menangkap Pelangi. Karena Yanti atas dukungan Andika, telah melaporkan Pelangi ke polisi.
“Bunda ... Bunda aku takut, Bunda. Bunda ....” Pelangi kacau. Ia amat sangat ketakutan karena kedua tangannya benar-benar diborgol dan ia dipaksa masuk mobil polisi.
“Jangan sentuh putriku! Yanti, kamu boleh ambil siamiku, tapi jangan pernah menyentuh apalagi melukai anakku!!!” Mendung histeris. Rasa sakit yang membuat kepalanya seolah pecah, tak ia hiraukan. Sungguh, ia tidak terma jika putri semata wayangnya sampai dipenjarakan oleh pelakor sekaligus suaminya!