Halimah, Seorang ibu muda yang tengah mengandung yang harus menerima kenyataan di gugat cerai oleh suaminya karena suaminya lebih memilih perempuan lain yang lebih cantik, lebih mudah dan lebih memperhatikan penampilan dari pada dirinya. dia pun menyetujui permintaan suaminya tersebut dengan syarat dia meminta waktu 40 hari kepada suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yuri_Pen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hari ke-9
Hari ke -9
Jumat, 30 November 2020.
Pikiranku benar-benar kalut sekarang. Ingin sekali ku susul istriku ke kampungnya, namun sekarang aku sedang bermasalah dengan pekerjaanku. Aku Takut Pak Anshor malah benar memecat ku karena kerjaan ku kepentok drama panjang yang tak kunjung usai.
Sesekali ku lirik hp, tidak ada bunyi. Sunyi.
Ku tatap photo profil Limah, photo nya dengan Jingga sedang duduk di taman dekat rumah kami. Manis sekali.
Seingat ku dulu, photo profil nya adalah photo kami bersama ketika sedang berlibur merayakan ulang tahun ketiga putriku.
Halimah dan Jingga terlihat sangat bahagia saat itu. Istriku sangat bersemangat mengajakku berlibur, bahkan ia sudah menyiapkan berbagai bekal untuk perjalanan kami. Manis sekali bukan? Tak jarang rumah tangga kami membuat orang lain iri, jika saja mereka tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
Aku sempat berfikir untuk menghilang, namun nyatanya sekarang aku yang merasa kehilangan.
Ku tekan tombol panggil di whatsapp nya. Berdering ... Namun tak kunjung ada jawaban.
[Assalamu'alaikum, Dik, sedang apa?] Ku tulis pesan untuknya. Centang dua, namun tak jua berubah biru. Sedang berbalas pesan dengan siapa ia di sana? Biasanya ia sangat cepat merespon bila sedang online.
Aku kembali fokus bekerja hingga waktunya istirahat tiba. Kulihat kembali handphone ku, getaran di ponselku sedari tadi nyatanya hanya pesan-pesan grup yang sama sekali bukan sesuatu yang kutunggu. Halimah sudah off, tanpa ada jejak pesan untukku.
Dengan lesu aku berjalan menuju kantin, lalu memesan secangkir kopi untuk menghilangkan penat. Menyesapnya dalam, bahkan hingga tandas. Entah aku yang sedang kehausan atau mungkin jiwaku yang sedang layu lalu berharap ada air yang turun menyirami jiwaku yang mengering.
Lagi, kulihat profilnya. Terakhir dilihat 11.30, padahal ku kirimkan pesan pukul 10.00 WIB kurang lebih.
“Limah, Mas rindu! Jangan membuatku bertanya-tanya begini. Mana sikap manja mu dulu? Sudah lama tidak Mas lihat,” gumamku lirih.
Halimah kembali online, aku menunggunya. Barangkali ia sedang membuka grup, lalu sejenak melihat pesanku. Hampir lima menit aku terdiam di profilnya. Namun Limah kembali off, tanpa membaca pesanku. Sakit sekali rasanya.
Dulu aku sering begitu dengan alasan membuka whatsapp hanya untuk membuka grup perusahaan, padahal terkadang aku asyik berbalas pesan dengan May. Sekarang aku merasakan apa yang ia rasakan. Apakah Limah juga begitu? Ah, tidak mungkin rasanya. Ia perempuan yang baik dan sholehah. Aku saja yang tidak tahu cara menempatkan diri.
[Dik!] Kucoba kembali mengirim pesan. Barangkali chatku tertimbun, namun aku kembali kecewa ketika onlinenya bukan untukku lagi.
[Eum, lagi sibuk, ya?] tanyaku.
'Siapa yang sedang kau kirim pesan, Dik? Pesan siapa yang sedang kau baca? Asyik kah kalian berbincang di sana?' Lagi-lagi pikiranku menerka yang tidak-tidak. Namun segera ku tepis. Limah tidak mungkin seperti itu.
Sepertinya aku sendiri yang menorehkan luka, menunda keharmonisan yang sekarang kurindukan.
Begitu besarkah luka yang sudah ku torehkan? Padahal kemarin adalah sebuah kesalahpahaman yang tidak aku rencanakan.
***
[Aa, maafin May kemarin, ya!"] Baru saja kubuka pintu rumah, ponselku bergetar. Kukira Limah, entah kenapa aku tidak bersemangat ketika melihat pesan dari May.
Aku merebahkan diri di sofa, lalu melemparkan ponselku pelan ke sembarang arah. Aku sudah tidak peduli.
Ku tenggelamkan diri di sofa empuk ini, dari penatnya pekerjaan.
"Mas diminum dulu tehnya,"
"Bagaimana harimu? Apakah ada kendala? Kerjaannya lancar, kan" Bayangan Limah menari-nari di otakku. Biasanya secangkir teh ia suguhkan ketika aku lelah.
"Ayah, ayo main!" Di sofa ini, Jingga selalu merebut perhatianku untuk bermain dengannya, lalu rasa lelahku bekerja seharian lenyap begitu saja.
Kulihat ruang Tivi yang cukup berantakan dengan cemilan dan minuman bekasku nonton Tivi. Biasanya bersih, sekarang kacau karena ulahku seorang diri.
Kuingat kami menghabiskan malam-malam di sini. Menonton film sinetron dengan pemain, Amanda Manopo yang disukai Limah.
Setelah itu ia akan bercerita panjang lebar tentang adegan-adegan yang membuatnya terkesan. Atau ia menceritakan aktivitasnya seharian di rumah bersama Jingga. Dulu aku merasa bosan dengan semua ocehannya. Namun hari ini, suara itu begitu ingin kudengar kembali. Rasanya aku bersedia mendengarnya mengoceh berjam-jam.
"Kruk ... Kruk ...." Perutku berbunyi. Aku lupa, tadi siang hanya menandaskan segelas kopi lalu kembali kepada pekerjaan tanpa memesan makanan yang lain.
Segera aku bergegas ke warung untuk membeli seperempat telur, lalu membawanya ke rumah seperti pertama kali aku menikah dengan Halimah.
“Mas beliin aku cabe dua ribu, bawang merah sama bawang putihnya dua ribu juga, ya!” titahnya.
“Masa dua ribu, Dik? Kenapa gak beli banyak aja?” tanyaku.
“Beli secukupnya aja, Mas! Kita kan belum punya kulkas,” jawabnya sembari tersenyum polos. Maklumlah, dulu hidup kami masih pas-pasan. Belum mampu membeli kulkas dan barang sekunder lainnya.
Karena malu, aku menyuruhnya saja yang pergi, namun aku tetap mengikutinya.
Kemanapun ia pergi, aku selalu mengantarnya. Walau dulu hanya kulakukan karena tanggung jawab sebagai seorang suami, kini aktivitas itu sungguh kurindukan.
“Emang Bu Halimah nya kemana, Pak?” tanya penjaga warung setelah memberikan uang kembalian.
“Oh, pulang dulu, Bu. Mertua saya sakit,” jawabku ramah.
“Bapak enggak ikut nemenin gitu? Sekalian nengok mertua,” sindirnya sembari menaikkan kopi sachet ke gantungan.
“Saya nanti nyusul, Bu kalau sabtu minggu. Soalnya di kantor lagi banyak kerjaan,” timpal ku sembari pamit untuk pulang. Malas rasanya jika harus bergosip, terlebih aku sendiri yang digosipkan.
Segera kucari wajan di dapur, sebentar ... Wajan pun kotor, menumpuk diantara cucian piring lainnya. Menambah pekerjaanku saja.
"Sabunnya sedikit saja, Mas! Kamu mau makan dengan piring bau sabun?" Selalu kuingat nasihat darinya untuk sekadar mengerjakan pekerjaan yang mudah.
Setelah selesai, wajan segera kusimpan di atas kompor. Menyalakan kompor lalu segera memasukkan minyak.
Di luar dugaan, minyak memancar kemana-mana. Muka dan tanganku sudah pasti jadi korbannya. Aku berlari mengambil helm sebagai tameng agar tidak terciprat ke wajah.
Aku menjerit seorang diri, menghindari minyak yang meletup-letup. Padahal helm full face sudah terpasang di kepalaku, namun tetap saja aku takut. 'Apa mungkin ada metode yang salah dalam menyalakan kompor?' batinku bertanya-tanya.
“Pletok…” Cipratan minyak menghambur mengenai pergelangan tanganku. Panas dan perih kurasakan. Aku sampai harus jongkok dan merunduk untuk menghindari cipratannya.
Setelah minyak berhenti menyiprat karena entah apa, aku memasukkan telur ke wajan. Sial! Cangkangnya ikut masuk ke wajan. Aku berusaha mengambilnya dengan tangan.
"Aww, lagi-lagi tanganku kena cipratan," jeritku. Perih sekali rasanya.
Wajan ku kini mengepulkan asap yang banyak, duh kenapa lagi ini? Segera ku matikan kompor, dan telurku gosong. Tapi kuning telurnya masih berair. Aish, hanya ceplok telur saja aku tak mampu. Bagaimana kedepannya?
***
Kepalaku berat sekali, seperti berdenyut nyeri. Apa karena kemarin malam aku tidak tidur? Atau mungkin karena telat makan? Atau pusing karena rasa dari masakanku yang selalu mengocok isi perutku?
Kuraba meja di samping kasur, untuk menyasar obat. Siapa tahu ketemu. Namun nihil, malah jam Beker yang terjatuh.
Lekas kuambil handphone, dan menekan tombol hijau, mencari nama kontak seseorang yang serba tahu dengan letak perabotan di rumah.
"Limah, Mas sakit kepala. Dimana obatnya?" Panggilan tersambung. Akhirnya.
[Di laci, Mas,] jawabnya pelan.
"Laci mana?" Aku memaksa berdiri meski kepalaku berdenyut dan terasa berat. Kucari obat yang dimaksud di beberapa laci.
[Laci di ruang Tivi, Mas!] titahnya. Kenapa ia baru bilang? Padahal aku sudah mengeluarkan semua isi laci di kamar. Gegas aku menuju ruang Tivi
"Apa namanya?" tanyaku sambil sibuk mencari.
[Paracetamol,] sahutnya singkat.
"Ketemu." Setelah menunduk cukup lama, akhirnya nama paracetamol kutemui.
[Alhamdulillah,] timpalnya. Bahkan ia tidak bertanya kenapa aku sibuk mencari obat.
"Terima kasih, ya!" ucapku sungkan.
[Kau sedang sakit?] Akhirnya pertanyaan yang ditunggu-tunggu ia lontarkan juga. Aku senang dengan perhatiannya.
"Sedikit. Hanya pusing saja." Kucoba menetralkan suara. Menutupi riuhnya suara hati karena ia menanyakan kabar.
[Pusing kenapa? Bukankah kamu sedang bahagia sebentar lagi menikah dengan pujaan hati?] ledeknya. Tak kutemukan intonasi sedih dari ucapannya. Seketika perasaan berbunga-bunga itu kembali layu dengan ucapannya.
"Aku tidak lamaran, Limah! Aku hanya mengantarkan kado!" Tanpa sadar mulutku sulit direm.
[Kado? Perhatian sekali.]
"Maaf. Bahkan aku tidak ingat sama sekali ulang tahunnya. Dia yang menyuruhku memberi surprise. Jadi kupikir itu hanya hal sepele." Mau tak mau akhirnya kuakui juga perbuatanku. Serapat-rapatnya bangkai di simpan, akhirnya akan ketahuan juga.
[Hah? Hal sepele? Kau memang selalu menganggap sepele suatu permasalahan, Mas.] Ia tertawa. Padahal tak ada yang lucu dari ucapanku.
"Aku tidak bermaksud begitu. Sungguh!" tekan ku. Ayolah Limah! Jangan berdebat. Aku rindu denganmu.
[Tidak bermaksud tapi menikmati? Sudahlah,] timpalnya.
"Percayalah! Aku tidak ada hati di sana." Perempuan memang sulit dijelaskan ketika cemburu. Entah seperti apa waktu yang pas untuk berbicara dari hati ke hati dengan perempuan.
[Terus hatimu dimana?] ledeknya.
"Denganmu," jawabku jujur. Ya, hanya kamu Halimah, yang aku pikirkan ketika acara dadakan itu memojokan ku.
[Hahaha ... Konyol sekali kamu, Mas!] ujarnya. Suara tawanya terdengar tidak bersahabat di telingaku.
"Yang jelas, yang kupikirkan saat itu hanya kamu dan Jingga. Terserah kamu mau percaya atau tidak, Dik."
[Percaya tidak percaya bukan urusanku lagi, Mas. Kupikir kita sudah selesai, setelah kamu menelponnya dua hari yang lalu.] Deg darimana dia tahu aku menelpon, May?
Ku edarkan pandangan di sekitar rumah, barangkali ada cctv, namun nihil aku tak menemukannya.
[Mas, sudah malam. Aku tutup telpon nya, ya!] imbuhnya lagi.
"Sebentar!" tahan ku.
[Kenapa?]
"Aku rindu suaramu, Dik," ucapku tulus. Baru kali ini aku berani merayu. Biasanya aku terlalu cuek dengannya.
[Kamu terlalu sakit kepala, Mas. Sepertinya kamu mengira aku adalah perempuan itu. Lebih baik besok segera periksakan sakit mu itu ke rumah sakit. Sebelum parah,] jawabnya tenang.
"Aku sadar, dan aku tidak mabuk."
[Kapan aku bicara kamu mabuk?]
"Dik, pulang, ya!” pintaku memohon.
[Untuk apa? Melihat pernikahan kalian?]
"Astaghfirullah bukan," kilahku.
[Aku pasti datang ko, Mas,] ucapnya so’ tegar.
"Jangan bahas itu, bisa?" Kali ini aku bingung. Malas berbicara tapi rindu. Ingin terus berbicara, tapi ia selalu memancing sisi emosiku.
[Kenapa?]
"Aku tidak memikirkannya, percayalah!" jawabku penuh keyakinan.
[Mas, apa kau akan katakan malam ini?]
"Apa?" Aku menengadah kepala. Paracetamol masih ada digenggaman ku. Belum sempat ku minum karena perbincangan menegangkan dengan istriku.
[Kata talak untukku.] Aku terdiam, sesak nafasku mendengar ucapan terakhirnya.
"Tidak!" sergahku cepat.
[Tidak usah menunggu 31 hari lagi, Mas. Jika kamu sudah enggak sabar menikahinya, besok pun kita bisa bercerai. Lalu mimpimu terwujud.]
“Dik, dengarkan aku ... Aku ...” Ingin ku ungkap segala kerinduan yang akhir-akhir ini muncul lalu menyiksa diri. Namun entah mengapa lidahku kelu.
[Kamu kenapa, Mas? Kamu sudah tak sabar menikahinya? Aku bisa ko jadi teman curhatmu, Mas.] Dia terkekeh.
"Teman curhat? Kamu teman hidupku."
[Itu hanya dua hari kemarin dan lima tahun yang lalu. Jika kamu ingin curhat bicarakan saja. Mungkin rasaku mulai mati. Jadi sakit ku sudah tak terasa lagi,] ucapnya tenang.
Namun menikam jantungku tepat di ulu hati.
“Dik, istirahatlah! Kamu pasti lelah setelah seharian mengurusi bapak dan Jingga,” titahku mengalihkan pembicaraan.
[Baiklah jika kamu mau menelponnya lagi, Mas. Maaf jika aku mengganggu waktu kalian. Assalamu’alaikum!] Panggilan langsung terputus sebelum aku menyangkal semua tudingannya.
Ingin sekali aku katakan, kau adalah pendampingku seumur hidup, hingga nanti masuk Syurga. Namun aku ragu dengan perasaanku sendiri.
Gegas kuambil air putih, lalu segera meminum obat yang sedari tadi sudah ku genggam bahkan ku remas. Obat ini hanya bisa mengobati sakit kepala, tapi tidak dengan sakitnya isi kepala.