🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Semalaman El benar-benar tidak keluar lagi dari kamar Ruka, gadis itu memilih tidur di sofa daripada harus berbagi ranjang dengan suaminya. Lihatlah, suami yang tak pengertian itu, tak peduli jika istrinya tengah tidur dalam keadaan tak nyaman. Dia sibuk bermain game di ponselnya seolah tak terganggu dengan situasi ini.
Ruka mendengus kesal, menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Sofa sempit dan keras membuat tubuhnya pegal-pegal, namun harga dirinya terlalu tinggi untuk meminta sedikit ruang di ranjang besar yang kini dikuasai oleh El.
El, seperti biasa, tidak peduli. Ia duduk bersandar di kepala ranjang dengan kaki lurus santai, ponselnya terang menyala memamerkan game yang ia mainkan dengan serius. Sesekali ia tertawa kecil, seolah dunianya hanya sebatas layar itu.
"Kecilin volume nya, berisik tahu!" keluh Ruka akhirnya.
"Hmm?" El menjawab tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel. Jarinya terus menari di layar, menembakkan peluru virtual ke arah musuh-musuhnya dalam game. Tanpa menurunkan volume ponselnya.
"Lo tahu, kan, gue lagi tidur, El?"
"Tahu," jawab El santai. Masih tanpa melihat ke arah Ruka.
"Jadi bisa, tolong kecilkan volumenya?" Nada Ruka mulai naik, kesabarannya perlahan menipis.
El tak menghiraukan, ia asik sendiri dengan dunianya. "Bangsat! Lo mundur, lindungi gue!" ocehnya pada teman game nya.
Tangan Ruka mengepal kuat, sumpah lelaki itu benar-benar menyebalkan. Kesalahan apa yang sebenarnya Ruka lakukan hingga harus menanggung karma sebesar ini.
"El, lo benar-benar keterlaluan ya, udah kasur gue lo kuasai, lo berisikin lagi. Besok gue ada ulangan di jam pertama, gue gak mau ya gara-gara elo, gue telat!"
Akhirnya El menghentikan permainannya, meletakkan ponsel di atas meja kecil di samping tempat tidur. Ia menatap Ruka dengan senyuman tipis yang lebih menyerupai seringai. "Lo sendiri yang pilih tidur di sofa. Gue gak maksa, ya?"
"Ya karena lo gak mau keluar dari kamar gue!" Ruka menurunkan selimutnya dengan kasar, memperlihatkan wajahnya yang merah karena marah. "Lo pikir enak tidur di tempat sekecil ini?"
"Kalau lo gak suka tidur disana, sini tidur bareng gue di ranjang," ucap El sambil menepuk space kosong di sebelahnya. "Bilang aja lo mau tidur sama gue, pake marah-marah segala."
Ruka melotot tajam ke arah El, kedua tangannya mengepal di bawah selimut. "Tidur bareng lo, hah? Gue lebih baik tidur di sofa daripada di ranjang yang sama dengan lo."
"Oke!"
Ruka mendengus, "ini KAMAR GUE! Harusnya lo yang tidur di lantai, bukan gue."
"Yakin lo mau gue turun ke lantai? Lo bisa ngeliat gue tidur topless di situ. Siapa tahu lo malah makin nggak bisa tidur karena kepikiran."
"DASAR MESUM!" Ruka langsung melempar bantal sofa ke wajah El, namun pria itu dengan cekatan menangkapnya dan melemparkannya sembarangan. "Lo berisik, gue mau tidur." ujarnya santai lalu merebahkan tubuhnya di ranjang. Tak memperdulikan Ruka yang terus saja mengomel.
Lelah sendiri, Ruka akhirnya berhenti dan menarik selimutnya sambil membelakangi El. Dalam hati, ia merasa jengkel setengah mati hingga terbawa dalam tidurnya.
***
Keesokan paginya, Ruka membuka mata dengan wajah masam. Seluruh badannya terasa remuk seperti habis dihajar badai. "Aduh, leher gue..." keluhnya sambil memijat tengkuknya yang kaku. Tidur semalaman di sofa kecil benar-benar menyiksa.
Di seberang ruangan, El tampak tidur nyenyak di atas ranjang empuk yang jelas lebih pantas disebut surga dunia. Dada bidangnya naik turun dengan tenang, wajahnya terlihat damai—benar-benar kontras dengan kondisi Ruka yang seperti zombie bangun dari kubur.
Ruka memelototi suaminya yang tertidur pulas. "Gila, enak banget dia tidur di kasur gue. Gue yang pemilik kamar malah jadi korban di sini," gerutunya.
Ia duduk tegak di sofa, mencoba meluruskan punggungnya yang kaku. Di dalam kepalanya, berbagai ide untuk melepaskan diri dari pernikahan ini mulai berseliweran.
"Gue gak bisa terus-terusan begini," gumamnya. Matanya berkilat penuh tekad. Jika dia tidak melakukan sesuatu, El akan terus seenaknya di rumah ini, di hidupnya, bahkan mungkin di hatinya—dan itu adalah hal terakhir yang Ruka takut kan.
Langkah pertamanya? Membuat El menderita, sama seperti dia.
Dengan hati-hati, Ruka bangkit dari sofa, melangkah mendekati tempat tidur. Dia menyipitkan mata, menatap El yang masih terlelap. "Bangunin gak ya? Tapi... kalau dia marah, gue yang ribet." Dia mundur satu langkah, lalu melirik ke arah meja di samping tempat tidur.
Tiba-tiba sebuah ide usil muncul. Ruka mengambil segelas air dingin dari meja itu, mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu menuangkannya langsung ke wajah El.
"BANGUN, EL! LO KEBANJIRAN!" teriaknya.
El tersentak bangun dengan wajah panik, tangannya mengusap-usap wajahnya yang basah. "RUKA! LO NGAPAIN?!" teriaknya dengan nada serak.
Ruka menahan tawa sambil menyembunyikan gelas di belakang tubuhnya. "Oh, lo udah bangun? Sorry, gue pikir lo butuh penyegaran biar gak kebablasan tidur."
"Lo mulai main api? Lo bener-bener cari masalah sama gue."
Ruka mengangkat bahu dengan santai, bibirnya melengkung dalam senyuman penuh ejekan. "Masalah? Gue cuma memastikan lo gak telat bangun, suamiku." ujarnya santai, sambil berjalan masuk kedalam kamar mandi.
Sebuah peperangan kecil baru saja dimulai. Dan untuk Ruka, ini hanyalah langkah awal dari rencana besarnya untuk membalikkan keadaan.
Namun sayangnya hal itu justru membuat Ruka kelimpungan sendiri, pasalnya saat dia masuk ke kamar mandi dengan cepat El mengikutinya masuk dan menguncinya.
"Sepertinya mandi sama istri akan membuat mood kita bagus."
"El lo mau ngapain?" Ruka memekik, saat El melepaskan kaosnya, dan lagi-lagi memamerkan tubuh atletisnya.
Grep!
El memeluk tubuh Ruka, membuat gadis itu kehabisan napas seketika. Tubuh Ruka membeku dalam pelukan El, sementara pikirannya berteriak panik.
"El! Lepasin gue! Lo gila?!" teriaknya sambil mencoba melepaskan diri.
Namun, bukannya melepaskan, pelukan El justru semakin erat. "Tenang, istri gue ini kenapa sih? Gue cuma mau kita saling akrab. Suami istri harus saling berbagi segalanya, termasuk momen seperti ini."
"Gue gak butuh keakraban model begini, El! Lepasin atau gue—"
"Gue apa, teriak? Siapa yang bakal nolongin lo? Nyokap sama bokap lo bakal ngira kita lagi... yah, ngelakuin sesuatu yang wajar buat pengantin baru."
Wajah Ruka memerah hingga ke telinga. "Lo keterlaluan! Gue gak bercanda, El!"
"Dan lo pikir gue bercanda? Lo lupa kalau gue suami lo?" pria itu mendekatkan wajahnya, membuat Ruka reflek menutup mulutnya dengan tangan.
El tersenyum nakal, matanya menatap langsung ke arah Ruka yang panik. "mikir apa lo? berharap gue bakalan kokop lagi, nagih ya?
Dengan sisa tenaga dan keberanian, Ruka mendorong El sekuat mungkin, berhasil menciptakan jarak di antara mereka. "Denger, El! Gue bukan mainan lo, oke? Gue gak peduli apa arti pernikahan ini buat lo, tapi buat gue, lo gak lebih dari sebuah masalah!" ketusnya, lalu meninggalkan kamar mandi begitu saja.
***
Ruka melangkah menuruni tangga, dengan seragam sekolah dan rambut yang diikat rapi ke belakang. Namun, langkahnya terhenti sejenak di anak tangga terakhir saat mendapati pemandangan yang membuat emosinya mendidih.
Di meja makan, kedua orang tuanya tengah duduk dengan nyaman, menikmati sarapan bersama 'suami kesayangan' mereka—El. Tidak hanya sekadar makan, tetapi mereka juga tertawa-tawa seolah tengah berbagi lelucon terbaik di dunia.
El, dengan gaya santainya, terlihat benar-benar menikmati percakapan itu. Tawa rendahnya yang khas menggema, bersatu dengan tawa Papa yang jarang terdengar di rumah mereka.
"Kamu emang hebat, El. Lain kali Papa mau ikut naik gunung." ujar Papa sambil tertawa kecil, menepuk bahu El dengan akrab.
"Iya, Pa gampang. Nanti kalau ada waktu El temenin papa naik, ke gunung Salak aja yang deket."
"Boleh itu, kita ajak Ruka juga."
"Tapi Ruka kan gak suka naik gunung, Pa."
"Kan ada suaminya, Ma. Mama gak usah khawatir, ada Papa juga nanti yang jagain."
"Iya Ma, El janji bakalan jagain Ruka. El udah khatam sama gunung Salak. Kalau gak, mungkin sekarang El udah jadi hantu penunggu gunung, waktu hilang selama dua hari disana. hehehe," jawab El santai, sambil menyendok nasi ke piringnya.
Tawa Papa pecah, diikuti oleh Mama yang tersenyum simpul. "Anak muda memang sering gitu, suka cari tantangan. Tapi untung kamu sekarang udah dewasa, El."
Ruka memutar matanya tajam. "Dewasa? Dia? Hah! Jauh dari itu," gumamnya dengan suara pelan, meski hatinya sudah bergejolak hebat.
Dengan napas panjang, dia akhirnya melangkah ke meja makan. Suara langkahnya cukup keras untuk membuat ketiganya menoleh ke arahnya.
"Pagi, sayang!" sapa El dengan nada ceria, wajahnya penuh senyum menyebalkan itu.
Ruka menatapnya tajam, lalu mengalihkan pandangan ke kedua orang tuanya. "Pagi, Ma, Pa. Sarapan sudah selesai, kan? Aku mau buru-buru ke sekolah."
"Kamu gak sarapan dulu?"
"Gak usah, Ma. Aku masih kenyang," jawab Ruka sambil berlalu.
Namun, El dengan cepat menyambar tangan Ruka dan menariknya duduk. "Eh, gak bisa gitu, dong. Istri gue gak boleh sekolah dalam keadaan perut kosong. Bener gak, Ma, Pa?"
Papa mengangguk setuju. "Betul itu, Ruka. Apalagi sekarang kamu udah menikah. Kamu harus lebih jaga kesehatan."
"Gue gak lapar, El. Lepasin!" desisnya pelan agar kedua orang tuanya tidak mendengar nada ketusnya.
El malah mendekatkan wajahnya dengan senyum jahil. "Lo makan atau gue suapin? Pilih."
Mata Ruka membelalak lebar, wajahnya langsung memerah karena malu sekaligus marah. "Lo tuh nyebelin banget, El!"
"Gue tahu."
Ruka menahan diri untuk tidak melempar sesuatu ke wajah El di depan orang tuanya. Dengan menahan amarah, dia akhirnya mengambil satu potong roti di piring dan menggigitnya kasar.
"Lihat, kan? Gampang banget bikin lo nurut," goda El lagi, sambil menyeringai.
Ruka memutuskan untuk mengabaikannya, meski amarahnya sudah mendidih. Hari ini baru dimulai, dan El sudah berhasil membuat darahnya naik hingga ke ubun-ubun. "Tunggu aja pembalasan gue," gumamnya dalam hati, sambil menyusun rencana di kepalanya.
Bersambung...