Bungee Jumpheart

Bungee Jumpheart

Bungee~ bab 1

Suara pilu lirih namun pelan itu bak simfoni menyayat hati yang keluar dari mulut ibu. Hanya isakan mendalam sampai ia sesenggukan dan memukul-mukul dada, dimana kekuatan tulang rusuknya sudah masuk fase rawan longsor, mungkin jika ia memukulnya dengan tenaga Ade Rai bisa saja dadanya itu langsung bolong.

"Bu, sudah. Jangan menyakiti diri ibu sendiri..." Tama merangkul bahu yang sudah loyo dan merosot, mungkin hanya menyisakan bayangan gadis montok dan berisi pada jamannya.

"Ibu ndak habis fikir....dimana letak kesalahan ibu dan bapak, dalam cara mendidik Gio." ia terus saja menyalahkan diri sendiri dan sang suami dalam caranya membesarkan serta mendidik Giovani Mahardika, anak bungsunya yang lahir tanpa cacat sedikitpun.

Alih-alih dibilang anak kekurangan, Gio justru yang paling bagus segala-galanya dibanding kedua kakak lelakinya. Bisa dibilang lebih ganteng, lebih mujur, kasih sayang tumplek semua, pokoknya segala kebaikan fisik bapak dan ibu pun tumpah ruah pada Gio kaya madu perhutani. Andai kata ikan lele cuma satu, bagian dekat kepala dikasih buat Rangga, ekor buat Tama dan Gio mendapatkan semua dagingnya.

Rangga menjiwir plastik hitam yang isiannya menurut Rangga mencurigakan dari dalam kamar Gio, jiwa aparat dan penyidik memang telah menda rah daging di diri Rangga rupanya. Sikap seorang brigade mobile tegas nan lugas.

Sebenarnya kamar itu terkunci pada awalnya, namun dengan tenaga hanoman-nya Rangga dapat dengan mudah mendobrak pintu kayu selebar badannya itu. Seolah kaki-kaki besarnya diciptakan memang untuk pekerjaan berat, merusak dan membongkar paksa sesuatu.

Ia menghentak dengan kasar, seolah ia tak pernah bisa berbuat dengan lembut. Dihempaskannya kresek hitam berisi sesuatu yang membuat ibu semakin histeris dan kencang berkomat-kamit, "cah guoblok!" umpat Rangga seraya menghempas dirinya di atas sofa lalu menjepit pangkal hidung sekeras tang. Memikirkan masalah ini bikin kepalanya tambah mumet saja.

"Astagfirullah, opo iki mas? Cawatt sopo?" tanya Tama tak bisa menyembunyikan wajah geli sekaligus jijiknya, ia mengeluarkan dalam ann dengan dijiwir yang diindikasi bukanlah milik Gio, melihat reaksi ibu yang semakin terpuruk pun memaksa kewarasan Tama untuk mengatakan jika benar itu bukan milik adik bungsunya.

"Tanya ibu, ndak mungkin ko lorrr ijo begitu punyanya cah wedok toh?! Atau milik istriku dan istrimu.." jawab Rangga geram, ketimbang Tama, ia lebih tau ukuran dalam aann milik Gio, karena sering membelikannya dan itu jelas lebih besar dari ukuran Gio.

Tama menggelengkan kepala prihatin namun pula kepingin ketawa. Dan kembali, ia mengulurkan tangannya penasaran ingin mengeluarkan seluruh isian kresek, siapa tau nemu barang berharga yang bisa digadein.

Selembar foto Gio yang tengah berdua dengan pemuda lain adalah barang selanjutnya, nampak tidak mencurigakan karena posenya normal-normal saja, namun memang setaunya Gio tak pernah memajang foto siapapun di kamarnya, termasuk foto dirinya sendiri bersama keluarganya, so...se spesial apa pemuda ini sampai-sampai potret dirinya berada terpajang di kamar Gio? Tak mungkin kan adiknya itu menganut sekte tertentu yang membuatnya mau menyantet orang dalam foto itu? Naudzubillah.

Tama menarik pendapat jika cawaatt itu cocok dengan badan tambun si pemuda yang ada di dalam foto itu, apakah sekarang ia juga seorang desainer tukang jahit? Bisa mengira ngira ukuran cawetttt orang?! Meski begitu, ia tak serta merta menelan mentah-mentah pemikirannya sendiri tanpa ia putar dan cerna kembali di otaknya.

Tama memang orang paling bijak dan tenang diantara semuanya, ia masih berpikir positif tanpa menuduh Gio dengan tuduhan pelik nan kejam seperti yang lain, "entar dulu mas, semua ini belum bisa menyimpulkan kalo Gio seorang yang menyimpang."

"Apa bukti konkrit lainnya yang lebih spesifik, kenapa ibu, bapak, mas Rangga bisa menuduh yang tidak-tidak?" tanya Tama lagi.

Rangga meloloskan nafas beratnya, lalu tangannya merogoh ponsel miliknya, pantulan lampu di ponsel ke arah matanya semakin menjelaskan jika saat ini alis Rangga sedang menukik tajam.

Hingga tak lama, Rangga mengalih tangankan ponselnya ke tangan Tama, "liat ae dewean."

Demi apa, Tama kini berwajah sama dengan Rangga, syok, tak percaya, dan yang pasti kecewa berat, adik yang ia gadang-gadang bisa mengangkat derajat orangtua setinggi langit di angkasa, adik bungsu yang kadar kepintaran dan keberuntungannya melebihi para masnya itu justru mampu menghempaskan harapan besar keluarga ke dasar jurang.

"Ngga tau malu!" desis Tama.

Suara batuk berat nan dalam itu membuat mereka tak bisa untuk tak teralihkan, bapak yang raut wajahnya lebih menyiratkan kekecewaan mendalam dibanding siapapun disini hanya bisa diam.

"Astagfirullah," berulang kali ia melafalkan kalimat itu, memohon ampun pada Yang Maha Kuasa atas kegagalannya mendidik Gio.

"Pak,"

Namun bapak seolah sudah pasrah, ia diam dengan tatapan kosong dan pikiran yang berputar jauh, "bapak sudah gagal mengajarkan Gio." ia duduk saat Tama menggeser duduknya, sementara ibu, air matanya kembali mengalir, "bagaimana sekarang pak?"

"Kurang aj ar anak itu. Ta tunggu sampai dia balekk..." ujar Rangga.

Mereka benar-benar menunggu Gio pulang dari kampusnya, mengesampingkan keluhan para istri, apalagi Tama...seharusnya ia tak meninggalkan sang istri yang tengah mengandung buah hati pertamanya, bisa-bisa ia digantung mertua galaknya itu jika meninggalkan terlalu lama.

Terdengar suara mesin motor matic yang mereka kenali dan sedang mereka tunggui sejak tadi, "nah, itu dia anak kurang ajar!" segera ia beranjak dari tempatnya demi langsung menyerbu Gio.

"Mas, mas Rangga sabar mas..." ibu dan Tama menahan Rangga yang sudah menjelma menjadi banaspati dan siap melahap Gio.

"Tama, tahan masmu..." pinta ibu, bagaimanapun kecewanya ia pada Gio, tetap saja kasih seorang ibu adalah naluri alam yang terpatri dan tak bisa luntur sampai akhir hayat.

Mimpi apa Gio semalam, persis kesamber gledek bahkan ia belum sempat meraup nafas dari lelahnya aktivitas kampus, bogeman mentah telah menghantam wajah gantengnya itu, helm yang baru saja ia lepas sampai terjatuh di jalanan bersemen, halaman rumahnya.

Bugghhh!

"Dasar anak tak tau diri! Ngga punya akhlak kamu Yo!" teriak Rangga memberikan julukan baru untuk adiknya itu, si paling ngga punya akhlak. Gio seketika tersungkur. Jerit ibu memang tak bersuara, namun ia menangis lirih seraya menekan dadhanya kuat-kuat melihat pemandangan itu dan Tama tak bisa untuk menolong Gio dari amukan reog ponorogo-nya keluarga itu, terlebih tangannya sedang merangkul dan menahan berat beban ibu yang hampir saja ambruk disana.

"Anak si alan! Bagusnya tuh kamu ndak usah balik lagi, hapus dia dari KK, ndak pantes kamu dapet tangisan ibu..." cecar Rangga.

"Mas, udah!" Tama segera membawa ibu ke dalam duduk di kursi, sementara ia kembali keluar demi melerai si kelingking dan si jempol yang sudah pasti pertengkaran itu akan dimenangkan Rangga yang seorang aparat.

"Bisa bangun sendiri, kamu Yo?" tanya Tama membiarkannya bangkit sendiri, ia pun sebenarnya jengkel pada adiknya itu.

Dengan kekuatan penuh Gio bangkit, tatapannya mengernyit tak mengerti, "apa maksudnya?" terang saja Gio mengusap sudut bibir yang mengeluarkan da rah, berikut pipi yang nyut-nyutan mulai mengeluarkan warna lebam. Karena rambut yang tak sependek Tama dan Rangga, membuat Gio harus menyugar rambutnya ke belakang.

"Kamu bikin malu keluarga sama kelakuanmu, Yo. Malu aku ngaku jadi masmu!" tunjuk Rangga. Rangga kembali menunjukan fakta dari ponselnya pada si tersangka, kernyitan dahi tanda ia mencerna ucapan sang kakak mengiringi tangan yang terulur merebut sumber masalah siang ini.

Mata Gio mengikuti pergerakan video yang terputar di ponsel Rangga lalu menghela nafasnya dalam-dalam, rahasia terbesarnya akhirnya harus diketahui oleh keluarganya sekarang...maka ia tanggung resikonya, sekalipun di bunuuuhh oleh kakak-kakaknya itu.

"Hah? Mau ngelak, atau beralibi?!" tanya Rangga.

Kini wajah Tama pun datar tanpa senyuman ramah seperti biasanya, "jelaskan Yo."

Gio kembali menghela nafas, mengusir rasa tak nyaman meskipun nafasnya justru terasa semakin sesak saja di dada, ia tak bisa mengelak apalagi mencari-cari alasan demi pembelaan diri, karena sudah pasti kedua kakaknya itu tak akan percaya, bukti sudah ada dan jelas, maka apalagi?

"Iya."

"Anak se tan!!!" Rangga langsung menarik kerah kemeja Gio, menyeretnya ke dalam rumah dan menghempaskan adiknya itu hingga ia benar-benar terkapar di lantai ruang tamu, seiring jeritan ibu dari dalam dan serbuan lari Tama, pintu rumah itu tertutup kencang memancing rasa penasaran seorang gadis.

Blughhh!

"Ayam...ayam!" latahnya terkejut, ia langsung terjengkat ketika sedang menggunting kuku kakinya, untung saja tidak sampai membuat tangannya terpeleset, auto buntung dong jarinya satu jika itu terjadi.

"Opo sih?! Granat?! Apa bom?!" serunya masih mengontrol debaran yang membuat sekujur badannya bergetar hebat. Alleta celingukan ke arah luar, bahkan jidatnya saja sudah menempel di kaca meninggalkan bekas minyak dan komedo di kaca jendela rumah.

"Bu!" teriaknya.

"Opo, teriak-teriak nduk?" yang dijawab teriakan pula oleh ibu.

"Ibu denger ora, kayanya tinggal disini udah ngga aman, barusan denger suara gardu listrik meledug?!" ujar Alleta.

"Iyo nduk, beledug gitu suarane. Tapi moso gardu listrik, lah iki..." bu Yuni menengadah melihat lampu bohlam putih yang menerangi rumahnya masih terang benderang kaya cahaya surga.

"Masih nyala," lanjutnya membuat Alleta ikut menengadah, "iyo yo. Lah tadi itu apa? Jangan-jangan terrorrr bom, bu?" matanya seketika membeliak.

"Ngawur!" ibu yang sejatinya tengah menggoreng omelet itu kembali ke dapur tanpa menghiraukan kegelisahan putri semata wayangnya itu.

Masih penasaran, Alleta memutuskan untuk keluar dari rumahnya mencari sumber dari rasa penasarannya tadi. Jiwa kekepoannya berkobar membiru, ia menajamkan pendengaran demi mendengar keributan yang berasal dari rumah samping, dan tak salah lagi....asal muasal keributan itu dari rumah budhe Gendis.

Alleta lebih mendekatkan dirinya dan tertegun mendengarkan cerita drama rumah tangga orang layaknya dengerin dongeng. Lama ia asik disana sampai emosinya ikut turun naik, meski beberapa jeda waktu ia kehilangan paham sebab suara yang tak jelas terdengar selain dari teriakan mas Rangga dan kalimat cercaan mas-mas galak itu untuk Gio. Telinganya tiba-tiba terasa panas dan perih.

"Ngapain kamu disini, pamali dengerin orang ribut..." jewer ibu, cengiran meringis dengan tawa garing menjadi reaksi Alleta setelahnya, "hehe ibu, kebiasaan bu...naluri," hihi-nya.

"Haha hehe, ndak boleh. Sudah masuk! Itu masalah rumah orang, kamu bukan pihak yang berkepentingan, emangnya kamu bisa bantuin?"

Leta menggeleng nyengir, "masuk rumah." gusur ibu.

.

.

.

.

.

Terpopuler

Comments

Lyta 𒈒⃟ʟʙᴄ 🍒⃞⃟🦅_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐

Lyta 𒈒⃟ʟʙᴄ 🍒⃞⃟🦅_𝓓𝓯𝓮ྀ࿐

kalau boleh tau
dan aku lagi manja malas mencari tau wkwkwk
sambil nunggu up novel yg ini .. novel bapak ibunya gio judulnya apa ya..

2024-11-18

12

Marliyanipratama

Marliyanipratama

ya Allah kenapa musti ikan lele sih Mak gak sekalian aja ikan gabus gitu yang agak bgusan dikit,...?? mana tdi aku beli ikan lele lagi jdi ke inget si gio kan auto kagak jdi di goreng tuh ikan,Ampe pak su bilang knapa GK jdi goreng lele ..?? aku bilang kasian,,,dan alhasil pak su pun menghuleng dan bilang cah gendeng ktanya setelah aku ceritain kronologi nya knapa GK jdi goreng lele🤭🤭

2024-11-23

0

Neneng Winarsih

Neneng Winarsih

karya baru🥳🥳tp teu acan sempet baca teh shin masih kerja🙏semangat teteh🤗🤗

2024-11-18

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!