Pertemuan tanpa sengaja, membawa keduanya dalam sebuah misi rahasia.
Penyelidikan panjang, menyingkap tabir rahasia komplotan pengedar obat terlarang, bukan itu saja, karena mereka pun dijebak menggunakan barang haram tersebut.
Apa yang akan terjadi selanjutnya?
Akankah, Kapten Danesh benar-benar menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#19. Kamu Mengenal Mr. B?•
#19
Untuk sebuah diskusi awal, sekaligus perkenalan, pokok pembicaraan mereka dirasa terlalu berat, namun jika tidak segera, maka sampai kapanpun mereka tak akan sanggup mengungkap jaringan Mr. X.
Dhera memang bukan tipe orang yang bisa bekerja dengan sebuah TIM, tapi ia mulai menyadari bahwa Mr. B dan orang-orang yang ada diatasnya tak akan bisa dibasmi dengan mudah jika ia bekerja seorang diri.
Jaringan mereka sudah mengakar terlalu lama, jadi jika hanya Mr. B saja yang dibasmi tak akan menimbulkan dampak apa-apa. Karena mereka terus bisa menemukan Mr. B-Mr. B yang lainnya sebagai pengganti.
Mereka keluar sejenak untuk mendinginkan kepala, meski belum tahu bagaimana nanti hasil akhir dari kesepakatan mereka. Restoran pizza kekinian menjadi pilihan mereka untuk mengobrol santai, benar-benar tak membahas pekerjaan, karena masih berkaitan dengan rahasia besar yang tak boleh diketahui khalayak.
Dari kejauhan kilat blitz kamera mengabadikan momen mereka, entah apa maksud dan tujuan orang itu, yang jelas kelima orang tersebut tak menyadari bahwa mereka pun tengah diintai.
•••
Minggu sore, setelah Danesh mengadakan rapat dadakan bersama anak buah, serta anggota baru TIM nya. Danesh memutuskan pergi menjumpai para keponakan kecilnya, karena seperti biasa di hari minggu keluarga besarnya sedang berkumpul.
Bocah-bocah lucu tersebut segera berlarian menyambutnya, “Uncle!!” serunya riang, seketika meminta naik ke pundak Danesh. Membuat Gavin dan Gian merengek karena menginginkan hal yang sama.
Disinilah tidak enaknya menjadi paman dari banyak keponakan, karena kadang ia tak bisa berbuat adil pada keponakan yang lainnya, terutama keponakannya yang tinggal jauh di benua Eropa. Sementara sang tuan putri sudah pasti aman di pelukan Opa Kevin, tak mau yang lain.
“Ayo, sama Papa,” bujuk Evan, yang tak tega dengan rengekan kedua putranya, sementara Ryu masih merasa jadi raja. Namun Gavin dan Gian tentu menolak, karena yang diinginkan bukan Papanya, melainkan Uncle Danesh yang jarang-jarang bisa berkumpul, karena sibuk mengejar penjahat.
“Sama Uncle aja yuk.” Akhirnya Dareen yang mengambil alih Gavin dan Gian dengan kedua lengannya. Tak peduli mereka menangis dan menolak, Darren selalu punya cara menenangkan mereka.
Sementara Kian dan Kai punya uncle Nick, maka Ezio tampak selalu anteng di pelukan papi Daniel.
Hari minggu memang hari para ayah dan uncle bersenang-senang bersama pria-pria kecil Geraldy, tak peduli bahwa diantara mereka ada yang masih betah jadi jomblo senior. Namun bukan salah mereka, toh itu pilihan Danesh yang masih menginginkan kesendirian di usianya saat ini.
Setelah Ryu puas bermain di pundaknya, Danesh pun menghampiri Darren yang sedang mengajak Gavin dan Gian menunggang kuda. Tanpa pikir panjang, Danesh pun ikut mengeluarkan kuda kesayangannya dari istal, sudah lama juga ia tak menunggang kuda.
“Hey, Baby,” sapanya pada pada Kuda berwarna abu belang putih tersebut, kuda bernama Baby itu, nampaknya mengenali suara pemiliknya, ia sedikit meringkik senang ketika Danesh mengusap helai rambut di kepalanya. “Waah, rupanya kau merindukanku.”
Danesh menuntun si Baby ke arena, setelah sebelumnya bertanya pada para penjaga untuk memastikan kudanya dalam kondisi baik.
Melihat kedatangan Danesh ke arena berkuda, membuat Gavin dan Gian semakin senang. Danesh pun mengambil alih Gian, karena sepertinya Darren sedikit kerepotan jika membawa kedua bocah tersebut.
Hati Gavin sudah kembali senang, karena itulah ia tak marah ketika Danesh mengambil alih adik kembarnya. Hingga tanpa disadari tiga puluh menit sudah mereka berkuda, tak peduli panas terik asalkan kedua kedua keponakan mereka bahagia tak masalah bagi Darren dan Danesh.
Kedatangan Aya dan Luna membuat kedua pria tersebut menepikan kuda yang mereka tunggangi, “Saatnya mereka bersih-bersih kemudian tidur siang.” Aya mengambil alih Gavin, sementara Luna mengambil alih Gian.
Kepalang tanggung, karena sudah mengeluarkan kuda kesayangannya, Danesh kembali memacu kencang kudanya mengelilingi arena. Ia perlu sejenak melepaskan adrenalinnya, sembari memikirkan kelanjutan penyelidikannya.
Tanpa Danesh sadari, rupanya Darren pun melakukan hal yang sama, hingga kedua pria itu benar-benar beradu kecepatan dengan kuda mereka masing-masing.
Total hampir satu jam mereka menguasai arena, hingga akhirnya mereka pun harus mengistirahatkan kuda-kuda tersebut. Biar bagaimanapun kuda-kuda tersebut tak pernah menempuh perjalanan jauh, hanya dipelihara untuk sesekali di tunggangi sebagai hobi.
Cuaca yang panas membuat Danesh menyiram wajah dan kepalanya dengan air dingin, ia bahkan tak peduli dengan kaosnya yang basah, toh setelah ini ia tahu pasti akan masuk ke kolam renang.
Danesh menyambar kemeja yang tadi ia tinggalkan di bangku selagi menunggangi kuda, sementara Darren melakukan hal yang sama dengan Danesh, membasahi wajah dan rambutnya.
“Mahasiswa baru, kucel amat wajahmu?” goda Darren.
“Jadi mahasiswa tak seindah bayanganmu.”
“Kenapa tidak, saatnya melepas penat pekerjaan bukan. Sambil menatap para gadis muda.”
“Itu terjadi jika aku mahasiswa normal, masalahnya aku mahasiswa tidak normal. Bukan nya lepas penatku, segar pula mataku, yang ada justru makin berat saja beban pikiranku.” Danesh menggerutu sendiri.
Darren terkekeh, namun tawanya terhenti karena melihat sebuah benda melayang bebas ke tanah. Darren memungut benda tersebut, “Hey … sepertinya aku kenal pemilik tangan ini.”
Danesh menghentikan langkahnya, ia menoleh karena belum memahami maksud pernyataan Darren. “Ini foto rahasia, bagaimana bisa kamu mengambilnya?"
Dengan wajah bersungut-sungut, Danesh menyambar kembali foto tersebut, untung saja ini hanya salah satu duplikat, karena yang asli sudah ia simpan di markas rahasianya bersama seluruh anggota TIM.
“Tentu saja bisa, karena baru saja benda ini terjatuh dari saku kemejamu.”
Danesh yang belum sepenuhnya menyadari kalimat Darren kembali menyimpan foto tersebut di saku kemejanya. Baru setelah beberapa langkah Danesh kembali menoleh, “apa kamu bilang?!” tanya Danesh dengan suara keras.
Denesh kembali mengeluarkan foto tersebut dari saku kemejanya, “Benarkah kamu mengenal pria ini?”