Riin tak pernah menyangka kesalahan fatal di tempat kerjanya akan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar yang merugikan perusahaan. Ia pun dihadapkan pada pilihan yang sulit antara kehilangan pekerjaannya, atau menerima tawaran pernikahan kontrak dari CEO dingin dan perfeksionis, Cho Jae Hyun.
Jae Hyun, pewaris perusahaan penerbitan ternama, tengah dikejar-kejar keluarganya untuk segera menikah. Alih-alih menerima perjodohan yang telah diatur, ia memutuskan untuk membuat kesepakatan dengan Riin. Dengan menikah secara kontrak, Jae Hyun bisa menghindari tekanan keluarganya, dan Riin dapat melunasi kesalahannya.
Namun, hidup bersama sebagai suami istri palsu tidaklah mudah. Perbedaan sifat mereka—Riin yang ceria dan ceroboh, serta Jae Hyun yang tegas dan penuh perhitungan—memicu konflik sekaligus momen-momen tak terduga. Tapi, ketika masa kontrak berakhir, apakah hubungan mereka akan tetap sekedar kesepakatan bisnis, atau ada sesuatu yang lebih dalam diantara mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Warm and Cold
Hari pertama di Colors Publishing terasa seperti babak baru dalam kehidupan Riin. Kantor ini memiliki suasana modern dan dinamis. Ruangannya luas, didominasi warna-warna netral seperti putih, abu-abu, dan biru muda dengan sentuhan tanaman hijau di sudut-sudutnya. Langit-langit yang tinggi dan jendela kaca besar memberikan pencahayaan alami yang membuat ruangan terasa lebih lega dan nyaman. Ada meja-meja kerja yang tersusun rapi, dihiasi komputer modern dan beberapa pernak-pernik pribadi milik karyawan yang memberi kesan ramah.
Ketika Ah Ri memandu Riin melewati lorong, ia memperhatikan suasana sekitar. Beberapa karyawan tampak sibuk dengan tumpukan manuskrip, sementara lainnya mengetik dengan serius di komputer mereka. Beberapa terlihat bercanda ringan di dekat pantry, menunjukkan bahwa meskipun lingkungan ini profesional, tetap ada ruang untuk kehangatan.
"Ini adalah area editorial utama," jelas Ah Ri sambil menunjuk barisan meja kerja yang tertata rapi. "Kebanyakan pekerjaan tim kreatif dilakukan di sini. Dan, itu," tambahnya sambil melambai ke arah seorang pria yang tengah berbicara dengan rekannya, "adalah Kim Seonho, kepala editor kita."
Seonho, yang baru menyadari panggilan Ah Ri, menoleh dan melangkah mendekat. Ia adalah pria dengan wajah tegas namun ramah, dihiasi sepasang lesung pipit yang dalam ketika ia tersenyum. Penampilannya yang kasual namun rapi_dengan kemeja biru muda yang lengan panjangnya digulung sampai siku_memberikan kesan seseorang yang approach able namun profesional.
"Riin~a, perkenalkan ini adalah Kim Seonho. Ia adalah kepala editor di sini, kau bisa memanggilnya editor Kim." jelas Ah Ri.
"Salam kenal, saya Rindira atau biasa dipanggil Riin. Saya adalah penulis dan penerjemah baru di sini. Mohon bantuannya editor Kim." sapa Riin sambil membungkukkan badannya.
"Kau tidak perlu terlalu formal denganku. Anggap saja aku sebagai rekan kerja biasa. Tapi jangan lupa tetap hormat, ya," tambah Seonho dengan nada bercanda. Pria bernama Kim Seonho itu menyambut Riin dengan hangat, terlebih lagi senyum dengan lesung pipinya yang sesaat membuat Riin cukup terpesona.
Percakapan ringan ini berhasil membuat suasana lebih santai. Ah Ri melanjutkan perkenalannya dengan menjelaskan bahwa Riin akan bekerja dekat dengan Seonho karena proyek-proyek awalnya akan melibatkan banyak revisi naskah dan penyesuaian gaya terjemahan.
"Riin~a, itu meja kerjamu. Sengaja aku mengaturnya berdekatan dengan editor Kim karena kalian akan sering berkomunikasi untuk pekerjaan kedepannya." jelas Ah Ri lagi seraya menunjuk salah satu meja kerja yang bersebrangan dengan meja editor Kim.
Ketika mereka tiba di meja kerja Riin, ia menyadari bahwa lokasinya cukup strategis_tidak terlalu jauh dari jendela besar yang menawarkan pemandangan kota Seoul, namun tetap dekat dengan rekan-rekan kerjanya. Di atas meja sudah ada satu set komputer, beberapa buku referensi, dan sebuah papan kecil bertuliskan namanya: Rindira_Penulis & Penerjemah.
"Aku bisa membantumu jika ada yang perlu diatur," ujar Seonho sambil menunjuk meja kerja itu. "Tapi, jangan ragu untuk bertanya pada siapa pun di sini. Kami semua cukup ramah, setidaknya di awal," tambahnya dengan nada menggoda.
"Ah, baiklah. Mungkin aku juga akan banyak bertanya nantinya selagi dalam masa penyesuaian." ucapnya pelan, namun Seonho masih bisa mendengarnya.
"Aku bersedia menjawab semua pertanyaanmu asalkan kau mentraktirku makan siang atau segelas kopi." candanya yang langsung mendapat pukulan kecil dari Ah Ri.
Ah Ri yang berdiri di samping mereka, memutar bola matanya. "Hei, jangan menyulitkan temanku ya!" tegur Ah Ri. "Kau tahu dia baru datang dari negara lain. Beri dia waktu untuk beradaptasi."
"Aku hanya bercanda." balas Seonho seraya menyunggingkan senyum khasnya.
"Sudah cukup bercandanya. Riin, kau masih harus bertemu dengan beberapa orang lagi," kata Ah Ri dengan tegas namun tetap ramah.
***
Mereka berhenti di depan meja Kim Min Gyu. Pria itu duduk dengan postur sedikit membungkuk, fokus pada layar komputer yang dipenuhi kode-kode berwarna. Sebuah headphone besar menutupi telinganya, membuatnya tak menyadari kehadiran mereka hingga Ah Ri melambaikan tangan di depan wajahnya.
“Min Gyu-ssi,” panggil Ah Ri dengan nada sedikit menggoda, membuat pria itu cepat melepas headphone nya dan menoleh dengan senyum kaget. "Sepagi ini kau sudah sibuk?"
Min Gyu mengusap tengkuknya dengan canggung sambil tersenyum lebar. "Ada sedikit perbaikan sistem yang harus kutangani secepat mungkin. Kau tahu kan, CEO kita itu sangat teliti dan tak terima kesalahan apapun. Jadi aku harus memastikan segalanya terkendali."
Riin, yang berdiri sedikit di belakang Ah Ri, memperhatikan Min Gyu dengan rasa ingin tahu. Pria itu tinggi, dengan tubuh atletis yang jelas terlihat meski ia hanya mengenakan kemeja santai. Senyumnya yang dihiasi lesung pipi membuatnya tampak ramah.
Ah Ri menunjuk ke arah Riin dengan gestur halus. “Aku mengerti. Tapi aku butuh waktumu sebentar. Aku ingin memperkenalkan pegawai baru kita. Ini Riin,” katanya sambil menoleh pada Riin, yang langsung berdiri lebih tegap. “Dia penulis dan penerjemah baru di tim ini.”
“Oh, halo!” Min Gyu bangkit dari kursinya dan membungkukkan badan sopan. “Aku Kim Min Gyu, ahli IT di sini. Selamat bergabung, Riin-ssi.”
“Salam kenal, Min Gyu-ssi,” balas Riin sambil ikut membungkuk. "Salam kenal, aku Rindira tapi biasa disapa Riin. Mohon bantuannya."
Ah Ri tersenyum kecil melihat interaksi mereka. “Riin, aku mengenalkanmu pada Min Gyu karena dia orang yang harus kau cari jika ada masalah teknis, terutama soal komputer. Dan satu hal lagi,” ia melirik Min Gyu, “dia lebih muda darimu, tapi di kantor ini, budaya senioritas tetap diutamakan.”
"Baiklah." jawab Riin singkat seraya mengangguk paham.
Min Gyu melambaikan tangannya dengan santai. “Jangan terlalu formal. Di luar kantor, kau bisa anggap aku teman atau adikmu. Tapi di sini, ya, anggap saja aku sedikit lebih senior.”
Suasana di antara mereka menjadi lebih santai. Riin merasa lega karena Min Gyu ternyata adalah orang yang mudah diajak bicara. Kehangatan itu memberinya keyakinan bahwa ia bisa menjalani hari-harinya di kantor ini dengan baik. Ah Ri, yang tampaknya puas dengan perkenalan itu, menepuk pundak Min Gyu.
“Kalau begitu, lanjutkan pekerjaanmu, Min Gyu-ssi. Kami tidak akan mengganggu lagi,” kata Ah Ri sambil melirik Riin. “Ayo, kita lihat meja kerjamu.”
***
"Kau hanya mengenalkanku pada editor Kim dan Min Gyu?" Riin mengangkat alisnya, suaranya terdengar heran.
Ah Ri mengangguk ringan sambil tersenyum. "Mereka yang paling penting dan paling sering berkomunikasi denganmu nantinya. Untuk karyawan lain, kalian bisa saling mengenal seiring berjalannya waktu."
Riin memutar pandangan ke sekitar. Suasana kantor cukup tenang, hanya ada beberapa orang yang tampak sibuk dengan pekerjaan mereka di bilik masing-masing. Sekilas ia melihat seorang wanita berambut pendek tengah mencoret-coret naskah dengan alis berkerut, sementara seorang pria dengan rambut acak-acak duduk dengan headphone besar, tampak terbenam dalam pekerjaannya.
"Oh iya," Ah Ri memotong lamunan Riin. "Kau harus bertemu satu orang lagi."
"Siapa?" tanya Riin, memiringkan kepala dengan penasaran.
“CEO perusahaan ini,” jawab Ah Ri dengan nada santai, seolah itu bukan hal besar. “Bukankah kau harus menandatangani kontrak resmi terlebih dahulu?”
“Oh, benar juga. Jadi, kapan aku bisa bertemu dengannya?” Riin berusaha terdengar biasa saja, tapi nada suaranya sedikit bergetar.
Ah Ri menatapnya sambil tersenyum, kali ini lebih penuh pengertian. “Aku akan memanggilmu nanti kalau dia sudah datang.”
“Baiklah,” jawab Riin sambil memainkan jemarinya yang saling menggenggam. “Apa aku perlu menyiapkan sesuatu?”
Ah Ri tersenyum kecil, seolah-olah menyembunyikan sesuatu. "Aku sudah menyiapkan kontrak kerja milikmu. Kau hanya perlu menyiapkan mentalmu saja, karena..."
Nada suaranya menggantung, membuat Riin semakin penasaran. "Karena apa?" Riin bertanya lagi, kali ini dengan nada mendesak.
Ah Ri tersenyum tipis, seolah mencoba mencari cara terbaik untuk menyampaikan kabar itu. “Karena... bagaimana ya... Bos kita sedikit unik.”
“Unik bagaimana?” desak Riin, matanya menatap Ah Ri dengan campuran penasaran dan cemas.
Ah Ri menghela napas, akhirnya memutuskan untuk berterus terang. “Dia cukup dingin, terkadang galak, terutama kalau pekerjaan tidak sesuai rencana. Dia pria yang sangat teliti, perfeksionis tingkat tinggi. Tapi kau tidak perlu khawatir,” lanjutnya dengan nada lebih lembut, “sebenarnya dia pria yang baik. Selama kau bekerja dengan benar dan tidak melakukan kesalahan, kau akan baik-baik saja.”
Riin mendengarkan dengan seksama, tapi penjelasan itu justru membuat imajinasinya bekerja terlalu keras. Dalam benaknya, ia membayangkan seorang pria tua dengan wajah penuh kerutan, alis yang selalu berkerut, dan suara berat yang menggema setiap kali ia marah. “Bos tua” itu tampak menakutkan, seperti sosok yang bisa memecat orang hanya dengan tatapan tajam.
Riin menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Tapi rasa khawatir itu tetap membayangi. Ia tahu betapa pentingnya memberikan kesan pertama yang baik, apalagi pada seorang CEO yang memiliki reputasi seperti itu. “Semoga aku tidak melakukan kesalahan saat bertemu dengannya,” gumamnya hampir pada dirinya sendiri.
***
Langit pagi yang cerah menyinari gedung kaca tinggi tempat Colors Publishing beroperasi. Di dalam kantor, hiruk-pikuk aktivitas pagi mulai terasa. Suara langkah kaki, nada dering telepon, dan denting keyboard memenuhi udara. Aroma kopi segar menguar dari sudut pantry, sementara meja-meja kerja dihiasi berkas dan tumpukan naskah.
Namun, suasana berubah drastis saat seorang pria melangkah masuk. Dengan setelan jas hitam mahal yang begitu rapi, ia melangkah penuh keyakinan. Cho Jae Hyun, CEO Colors Publishing, adalah sosok yang tidak bisa diabaikan. Aura dingin dan otoritatif yang memancar darinya membuat seluruh ruangan seakan berhenti sejenak. Beberapa karyawan buru-buru menunduk memberi salam, sementara yang lain mencuri pandang sebelum kembali fokus ke pekerjaan mereka, takut tertangkap basah.
Namun, Jae Hyun sama sekali tidak memedulikan sapaan itu. Baginya, waktu adalah investasi, dan setiap detiknya harus digunakan untuk memastikan perusahaan berjalan sesuai ekspektasi tinggi yang ia tetapkan. Ia hanya ingin hasil sempurna, tidak peduli betapa tegangnya para karyawan di sekitarnya.
“Selamat pagi, Sajangnim,” sapa Ah Ri, sekretarisnya yang setia, dengan nada sopan namun akrab. Ia telah cukup lama bekerja di bawah Jae Hyun untuk memahami pola pikir dan kebiasaan pria itu.
“Pagi,” balas Jae Hyun singkat. Tatapannya dingin, hampir tanpa ekspresi, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang membuat siapa pun merasa harus langsung bergerak. Ia tak memperlambat langkah, langsung menuju ruangannya yang luas dengan pemandangan kota Seoul di balik jendela besar. Begitu masuk, ia melemparkan pandangan sekilas ke sekeliling meja kerja yang tertata sempurna, lalu berbalik menatap Ah Ri.
“Apa agenda hari ini?” tanyanya tanpa basa-basi sambil menjatuhkan diri ke kursi kulit hitamnya yang terlihat semewah jas yang ia kenakan.
“Hari ini, Anda harus menyerahkan kontrak kerja kepada pegawai baru kita, seorang penulis sekaligus penerjemah. Setelah itu, ada beberapa dokumen yang perlu ditandatangani,” jelas Ah Ri sambil meletakkan map berisi agenda harian dan berkas lainnya di atas meja Jae Hyun yang tampak selalu tertata rapi.
Jae Hyun mengangguk, duduk di kursi kerja kulit hitam yang elegan, dan mulai membuka salah satu map dengan teliti. “Panggil pegawai baru itu,” katanya setelah membaca sekilas. Tatapannya kini terangkat, menatap Ah Ri dengan sorot mata tajam. “Aku harus memastikan sendiri kenapa kau begitu bersikeras merekomendasikannya dibandingkan kandidat lain.”
Ah Ri tersenyum tipis, penuh percaya diri. “Baiklah, Sajangnim. Saya jamin, Anda tidak akan kecewa.” Ia membungkuk sopan sebelum bergegas keluar untuk memanggil Riin.
***
Di ruang tunggu, Riin duduk dengan gelisah. Telapak tangannya sedikit berkeringat, dan ia terus merapikan ujung blazernya meskipun tidak ada yang salah dengan pakaian itu. Pikirannya melayang-layang, membayangkan berbagai kemungkinan buruk. Apa yang akan dia katakan? Bagaimana jika CEO itu tidak menyukainya? Bagaimana jika dia melakukan kesalahan fatal?
“Riin,” suara Ah Ri memanggilnya, membuyarkan lamunan. “Ayo, waktunya bertemu Sajangnim.”
Riin mengangguk pelan, mencoba mengatur napas. Dia berdiri, merapikan diri untuk terakhir kali, dan melangkah mengikuti Ah Ri. Setiap langkah menuju ruang CEO terasa semakin berat, seperti menyeret dirinya menuju sesuatu yang tak terhindarkan.
Setelah pintu ruang kerja itu terbuka, Ah Ri memberi isyarat agar Riin masuk. Riin melangkah masuk dengan hati-hati, mencoba terlihat percaya diri meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di matanya.
“Selamat pagi,” sapanya dengan suara yang terdengar lebih kecil dari yang ia harapkan.
Pria itu, yang duduk membelakangi Riin dengan kursi putar besar, perlahan berbalik. Begitu mereka saling menatap, waktu seolah berhenti.
Riin membeku. Wajah pria itu terlalu dikenalnya. Pria dengan tatapan tajam dan dagu tegas itu adalah orang yang menjadi korban kecerobohannya di bandara kemarin. Sosok yang ia pikir tak akan pernah ia temui lagi, apalagi dalam situasi seperti ini.
‘Si anak kecil ceroboh rupanya,’ batin Jae Hyun, bibirnya melengkung membentuk senyum kecil yang lebih mirip ejekan.
‘Si pria sombong,’ pikir Riin dengan cepat. Napasnya tercekat, tapi ia memaksa dirinya untuk tetap berdiri tegak.
Ah Ri yang masih berada di ruangan itu merasa ada sesuatu yang aneh. Tatapan Riin dan Jae Hyun yang penuh ketegangan membuatnya bingung. Ia menatap mereka bergantian, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.
“Ah Ri,” suara Jae Hyun memecah kebekuan. “Keluarlah. Aku perlu bicara empat mata dengan pegawai baru ini.”
Nada perintahnya tegas, tidak menyisakan ruang untuk bantahan. Ah Ri mengangguk meski dengan raut bingung. “Baiklah, Sajangnim.” Dengan sopan, ia membungkuk dan meninggalkan ruangan, menutup pintu di belakangnya.
Kini, Riin berdiri sendirian di hadapan pria itu. Jae Hyun menyandarkan diri di kursinya, menyunggingkan senyum tipis yang terasa licik. “Jadi, kita bertemu lagi,” katanya perlahan, nada suaranya rendah namun menggema di ruangan yang kini terasa semakin dingin.
Riin menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan gemetar. 'Habislah aku!' pikirnya panik. Wajahnya berusaha tetap tenang, tetapi matanya tidak bisa menyembunyikan rasa takut.
***