Ethan, cowok pendiam yang lebih suka ngabisin waktu sendirian dan menikmati ketenangan, gak pernah nyangka hidupnya bakal berubah total saat dia ketemu sama Zoe, cewek super extrovert yang ceria dan gemar banget nongkrong. Perbedaan mereka jelas banget Ethan lebih suka baca buku sambil ngopi di kafe, sementara Zoe selalu jadi pusat perhatian di tiap pesta dan acara sosial.
Awalnya, Ethan merasa risih sama Zoe yang selalu rame dan gak pernah kehabisan bahan obrolan. Tapi, lama-lama dia mulai ngeh kalau di balik keceriaan Zoe, ada sesuatu yang dia sembunyikan. Begitu juga Zoe, yang makin penasaran sama sifat tertutup Ethan, ngerasa ada sesuatu yang bikin dia ingin deketin Ethan lebih lagi dan ngenal siapa dia sebenarnya.
Mereka akhirnya sadar kalau, meskipun beda banget, mereka bisa saling ngelengkapin. Pertanyaannya, bisa gak Ethan keluar dari "tempurung"-nya buat Zoe? Dan, siap gak Zoe untuk ngelambat dikit dan ngertiin Ethan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Papa Koala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ada Apa dengan Zoe?
Ethan duduk di kafe lagi, tepat di meja favoritnya yang biasanya jadi tempat persembunyiannya dari dunia luar. Tapi kali ini dia merasa aneh. Biasanya, duduk sendirian dengan kopi dan buku sudah cukup buat bikin dia merasa nyaman, tapi sejak pertemuannya dengan Zoe, suasana itu mulai terasa… kosong. Pikirannya nggak bisa lepas dari Zoe, cewek yang datang ke hidupnya kayak tornado tapi, entah kenapa, bikin hidupnya sedikit lebih menarik.
Ethan mencoba fokus ke bukunya, tapi rasanya sulit. Sudah beberapa hari berlalu sejak terakhir kali Zoe muncul di kafe, dan dia merasa ada yang hilang. Biasanya Zoe bakal datang dengan senyum lebarnya, cerita soal hal-hal konyol, dan bikin Ethan ngerasa kalau dunia ini nggak melulu soal keseriusan. Sekarang, tanpa kehadiran Zoe, dia ngerasa heningnya kafe terlalu sunyi.
Tiba-tiba, ponsel Ethan bergetar di atas meja, dan nama yang muncul di layar bikin hatinya sedikit lega. Zoe.
"Hey, Ethan! Lagi di kafe gak? Aku mau mampir nih, tapi kali ini aku mau ajak kamu nongkrong di luar. Keluar dari zona nyamanmu bentar, dong!"
Ethan tersenyum tipis membaca pesannya. Dia bener-bener nggak ngerti kenapa Zoe punya energi sebanyak itu. Dia sendiri lebih suka hidup dalam zona nyaman, apa pun di luar itu terasa terlalu ribet. Tapi, ada sesuatu dalam ajakan Zoe yang bikin dia penasaran.
"Di kafe sekarang. Ke sini aja dulu," balas Ethan singkat.
Nggak butuh waktu lama, Zoe udah muncul di depan pintu kafe, kali ini dengan jaket denim oversized yang dia padukan dengan dress warna cerah. Seperti biasa, dia terlihat penuh energi, seperti orang yang baru aja selesai minum segalon kopi.
“Heeey!” sapanya dengan senyum lebarnya. “Aku tahu kamu pasti di sini. Kamu tuh kayak hantu kafe ini, udah mendiami sudut ini sejak zaman dinosaurus kali ya.”
Ethan tertawa kecil. “Ya, tempat ini nyaman. Dan nggak banyak orang yang ribut,” jawabnya dengan nada bercanda.
Zoe duduk di seberangnya tanpa basa-basi. “Eh, tapi beneran, aku mau ajak kamu ke tempat lain hari ini. Masa iya hidup kamu cuma di sini doang? Kamu harus lihat dunia lebih luas, Ethan!”
Ethan mengangkat alis. “Dunia lebih luas?” tanyanya. “Kayak apa? Taman kota? Atau mal yang rame?”
Zoe tertawa. “Ya gak gitu juga, tapi serius deh. Aku tahu tempat seru. Gimana kalau kita nongkrong di taman aja? Lagi ada festival makanan di sana. Kamu suka makan, kan?”
Ethan berpikir sejenak. Sebenarnya, dia lebih suka menghabiskan waktu dengan baca buku sambil ngopi di tempat tenang seperti ini. Tapi ada sesuatu tentang Zoe yang selalu bikin dia merasa tertarik buat keluar dari rutinitas. Mungkin dia bisa coba, sekali ini aja.
“Baiklah,” jawab Ethan akhirnya, sambil memasukkan bukunya ke dalam tas. “Tapi kalau tempatnya terlalu rame, aku cabut.”
Zoe menepuk tangannya, senang banget kayak baru menang lotre. “Siap, Bos! Ayo kita pergi!” serunya sambil berdiri cepat.
---
Ternyata, Zoe nggak bohong. Festival makanan di taman kota itu seru banget. Ada banyak tenda makanan, musik live, dan orang-orang yang berseliweran dengan senyum di wajah mereka. Ethan langsung merasa canggung begitu masuk ke area festival. Keramaian bukanlah hal yang dia suka. Sementara itu, Zoe terlihat kayak ikan di air—dia langsung nyatu sama suasana.
“Lihat nih, ada stand churros! Kamu suka churros?” tanya Zoe sambil menarik tangan Ethan ke salah satu tenda makanan.
Ethan nggak sempat menjawab karena Zoe sudah sibuk memesan dua porsi churros dengan tambahan saus cokelat. Dia menyerahkan satu porsi ke Ethan sambil tersenyum lebar. “Ini enak banget, percaya deh! Kamu harus coba!”
Ethan mengambil churros itu dengan ragu. Meskipun dia nggak terlalu lapar, dia memutuskan buat ikut aja. Begitu dia menggigit churros pertama, dia harus mengakui Zoe benar. Rasanya enak banget.
“Gimana? Aku nggak salah pilih kan?” tanya Zoe dengan bangga.
Ethan mengangguk. “Lumayan,” jawabnya dengan nada santai. Tapi dalam hati, dia sebenarnya sangat menikmati makanan itu.
Setelah itu, mereka berjalan mengelilingi festival. Zoe terus bercerita tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaannya yang semakin sibuk, sampai rencananya buat traveling ke beberapa tempat tahun depan. Ethan mendengarkan dengan tenang, sesekali menimpali, tapi sebagian besar waktu dia cuma senang mendengar Zoe bicara. Entah kenapa, suara Zoe yang awalnya terasa terlalu ramai kini mulai terdengar seperti bagian dari latar suara hidupnya yang baru.
Tapi di tengah obrolan, Ethan mulai memperhatikan sesuatu yang aneh. Meskipun Zoe terlihat ceria seperti biasanya, ada saat-saat di mana senyumannya terasa sedikit pudar. Kadang, matanya terlihat nggak seterang biasanya.
“Zoe,” panggil Ethan tiba-tiba, bikin Zoe sedikit terkejut.
“Iya?” jawabnya sambil tersenyum.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Ethan, kali ini dengan nada yang lebih serius.
Zoe tertawa kecil. “Iya lah, kenapa nggak?”
Ethan menatapnya lebih dalam. “Entahlah. Kamu terlihat senang, tapi aku merasa ada yang kamu sembunyikan. Ada yang nggak kamu ceritain.”
Zoe terdiam sejenak. Senyum di wajahnya perlahan memudar. Dia mengalihkan pandangannya ke keramaian di sekitar mereka, seakan mencoba menghindari tatapan Ethan. “Hmm, kamu lebih peka dari yang aku kira ya,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.
Ethan nggak berkata apa-apa, membiarkan Zoe bicara saat dia siap. Dan setelah beberapa detik keheningan, Zoe akhirnya menghela napas panjang.
“Sebenernya… aku lagi ngalamin banyak hal akhir-akhir ini,” Zoe akhirnya berkata. “Pekerjaan makin berat, terus... masalah keluarga juga ada. Aku cuma nggak pengen bikin orang lain tahu kalau aku lagi... capek. Aku lebih suka keliatan ceria.”
Ethan mengangguk pelan. Dia nggak kaget mendengar Zoe bilang kayak gitu. Tipe orang kayak Zoe yang selalu ceria dan penuh energi sering kali menyembunyikan masalahnya di balik tawa.
“Kamu nggak harus selalu ceria,” kata Ethan dengan nada lembut, berbeda dari biasanya. “Nggak apa-apa buat ngerasa sedih atau capek.”
Zoe tersenyum kecil, tapi kali ini ada kesedihan di balik senyumnya. “Aku tahu, tapi... kadang aku ngerasa kalau aku nggak ceria, orang lain bakal kecewa. Makanya, aku terus kayak gini. Berusaha kuat, berusaha kelihatan bahagia.”
Ethan merasakan ada sesuatu yang berat dalam kata-kata Zoe. Dan dia tahu, Zoe butuh seseorang yang bisa dengerin tanpa nge-judge. “Kamu nggak harus jadi seseorang yang selalu bikin orang lain senang, Zoe,” katanya. “Kamu juga berhak buat istirahat.”
Zoe menatap Ethan sejenak, seakan nggak percaya kalau cowok pendiam yang selama ini selalu terlihat cuek bisa ngomong hal kayak gitu. Dia tersenyum tipis, kali ini lebih tulus. “Thanks, Ethan. Aku nggak nyangka kamu bakal bilang kayak gitu.”
Mereka melanjutkan berjalan di tengah festival, tapi kali ini suasananya lebih tenang. Zoe nggak seceria tadi, tapi dia terlihat lebih jujur. Dan Ethan merasa lega karena bisa sedikit membantu Zoe melepas beban yang dia simpan di dalam dirinya.
Setelah beberapa saat, Zoe tiba-tiba berhenti di depan sebuah stand yang menjual topi-topi lucu. Dia mengambil salah satu topi berbentuk telinga kelinci dan menaruhnya di kepala Ethan tanpa peringatan.
“Perfect!” seru Zoe sambil tertawa lebar.
Ethan memegang topi di kepalanya dengan ekspresi bingung. “Serius? Aku kelihatan kayak idiot.”
Zoe tertawa makin keras. “Justru itu! Kamu terlalu serius, Ethan. Hidup nggak harus selalu kelihatan keren. Sesekali, kamu boleh kok keliatan kayak kelinci.”
Ethan tersenyum kecil dan, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa... senang. Mungkin Zoe benar. Kadang hidup nggak harus selalu tentang buku-buku serius atau rutinitas yang tenang. Kadang, hidup perlu sedikit kekacauan, sedikit tawa, dan sedikit Zoe.
Dan di tengah keramaian festival, Ethan merasa kalau untuk pertama kalinya, dia nggak keberatan keluar dari zona nyamannya selama Zoe ada di sebelahnya.