Gubee, Pangeran Lebah yang ingin merubah takdirnya. Namun semua tidaklah mudah, kepolosannya tentang alam membuatnya sering terjebak, dan sampai akhirnya menghancurkan koloninya sendiri dalam pertualangan ini.
Sang pangeran kembali bangkit, mencoba membangun kembali koloninya, dengan menculik telur calon Ratu lebah koloni lain. Namun, Ratu itu terlahir cacat. Apa yang terjadi pada Gubee dan Ratu selanjutnya?
Terus ikuti ceritanya hingga Gubee terlahir kembali di dunia peri, dan peperangan besar yang akan terjadi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R M Affandi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terjerat Jaring Sutra di Rumah Tua
Di kaki gunung Alpen, Gubee kembali memulai petualangannya. Ia mengepakkan sayapnya di atas hutan yang terbentang luas yang memukau dengan keindahan alam yang tenang dan mempesona. Pohon-pohon Pinus yang tinggi dan lebat mendominasi lanskap, dengan menciptakan kanopi hijau tebal, dengan sinar matahari yang menembus di antara dedaunan, menciptakan cahaya keemasan yang menari-nari di tanah. Di bawah pohon-pohon ini, terdapat hamparan lumut yang tebal dan lembut, diselingi dengan bunga-bunga liar berwarna-warni yang menambah keindahan alam Gunung Alpen
Suara gemercik aliran sungai kecil yang mengalir jernih di antara bebatuan menciptakan harmoni alami, sementara aroma segar dari daun dan tanah yang basah memberikan sensasi yang menenangkan. Burung-burung bernyanyi merdu dari atas pepohonan, menambah suasana magis hutan itu. Di kejauhan, puncak Gunung Alpen yang megah terlihat menyembul di atas pepohonan, tertutup salju abadi dan berwarna kuning keemasan oleh cahaya langit senja kala itu.
Gubee terlihat sangat bersemangat mengayuh sayap kecilnya di udara. Sesekali ia melihat petunjuk di tangannya, hutan belantara di lereng gunung Alpen itu terlihat sangat mudah dilaluinya. Namun, hari mulai berangsur gelap. Kabut-kabut tipis mulai menghalangi pandangan gubee, dan udara dingin pun mulai terasa membekukan sayapnya. Bagian tubuhnya yang terbuat dari kitin itu, mulai terasa berat untuk digerakkan. Ia memutuskan untuk singgah di sebuah pohon Oak.
Di sebuah lubang kecil di antara kulit pohon Oak, Gubee menghangatkan tubuhnya. Suasana di luar telah berubah menjadi gelap gulita. Suara predator malam mulai riuh di hutan itu. Rasa takut perlahan merasuki benak Gubee. Baru kali ini ia melalui malam yang kelam sendirian.
"Minyak itu akan bercahaya di kegelapan." tiba-tiba Gubee teringat ucapan Semut merah penjaga. Kemudian ia membuka tabung kecil yang terikat di pinggangnya. Ia olesi tubuhnya dengan minyak yang ada di dalam tabung yang terbuat dari tanah merah itu. Perlahan, tubuhnya bercahaya. Lubang kecil di pohon Oak itupun berubah menjadi terang. Dan ternyata, tidak hanya Gubee yang ada di lubang itu.
"Siapa kau?" tanya Gubee kepada serangga yang sepertinya telah dari tadi memperhatikan gerak-gerik Gubee di dalam lubang itu.
"Harusnya aku yang bertanya? Ini rumahku!" jawab serangga itu.
"Maaf, aku tidak tahu kalau ini rumahmu. Diluar sangat gelap dan dingin, jadi aku masuk ke lubang ini untuk berlindung." ucap Gubee.
Serangga itu memperhatikan tubuh Gubee dengan detail. "sepertinya kau bukan dari spesies ku. "Serangga jenis apa kau?" tanyanya kemudian.
"Aku lebah." jawab Gubee.
"Lebah? Kenapa tubuhmu bisa bercahaya seperti kami?
"Tubuhmu bisa bercahaya juga?" sanggah Gubee penasaran.
"Pasti! Cuma spesies kami satu-satunya serangga yang dapat bercahaya. Tetapi setelah melihatmu, sepertinya pernyataan itu keliru.
"Oh! Sebenarnya tubuhku tidak benar-benar mengeluarkan cahaya. Ini hanya berkat minyak pemberian ratu semut merah yang ku oleskan di tubuhku." ungkap Gubee. "tapi jika tubuhmu benar-benar bisa bercahaya, kenapa kau ber-gelap-gelap di tempat ini?" tandas Gubee heran.
"Luciferin yang dihasilkan tubuhku sudah mulai berkurang. Aku kunang-kunang yang sudah berumur cukup tua. Jikapun aku mengaktifkan luciferin di dalam tubuhku ini, cahayanya tidak akan terang lagi." jawab serangga itu, yang ternyata seekor kunang-kunang.
"Apa kau tinggal sendiri di tempat ini?
"Tidak. Aku tinggal bersama anak-anakku. Namun, sampai saat ini mereka belum pulang. Sepertinya mereka tersesat." Kunang-kunang tua itu memandangi pangkal ekornya, dan tiba-tiba ekornya itu bercahaya. Tetapi cahayanya sangat kecil dibanding cahaya yang dipancarkan tubuh Gubee.
"Lihatlah. Apa yang bisa kulakukan dengan cahaya seredup ini? Bagaimana aku mencari anak-anakku di luar sana? Mereka masih kecil! Mereka belum bisa menyalakan luciferin yang ada di tubuhnya. Dimana mereka saat ini?"
Kunang-kunang tua itu terlihat sangat sedih memikirkan anak-anaknya. Matanya memerah mencerminkan kesedihan mendalam yang tak terkatakan. Bibirnya bergetar, menandakan betapa sulitnya ia mencoba untuk tetap tenang di tengah badai kecemasan yang melanda hatinya.
"Maukah kau membantu ku? Aku mohon!" pinta kunang-kunang itu mengiba.
"Apa yang bisa aku lakukan untukmu?" tanya Gubee prihatin.
"Antar aku mencari anak-anakku. Berkat cahaya tubuhmu yang terang itu, pasti takkan sulit untuk kita menemukannya.
"Baiklah." ucap Gubee tak perlu berpikir lama untuk menyanggupi keinginan si Kunang-kunang tua.
Mereka berdua pun keluar dari lubang itu, menyeruak kedalam kegelapan malam hutan gunung Alpen. Cahaya tubuh Gubee, menerangi setiap inci jalan yang mereka lewati. Hingga sampailah mereka di sebuah rumah tua. Cahaya Gubee membuat sebahagian rumah itu tampak jelas di tengah hutan yang bebas.
Rumah itu terlihat seperti bangunan kayu yang sudah puluhan tahun tidak dihuni. Dinding kayunya sudah mulai menghitam karena usia, dengan beberapa retakan kecil yang menunjukkan tanda-tanda keausan alami. Atapnya terbuat dari sirap kayu yang sudah menua, berlumut, dan tertutup dedaunan kering. Jaring laba-laba, mengisi setiap lubang dan celah rumah itu.
"Biasanya mereka bermain di sini sepanjang hari." ucap Kunang-kunang tua, perlahan-lahan terus membawa Gubee mengintari rumah itu.
"Apa mungkin mereka terjebak di dalam rumah itu?" pikir Gubee.
"Mungkin! Aku juga mengiranya begitu. Ayo kita masuk kedalam." ajak Kunang-kunang tua.
"Dimana jalan masuknya? Setiap celah tempat ini penuh dengan jaring." ujar Gubee.
"Ikuti saja aku." kata Kunang-kunang tua itu kembali mengajak Gubee.
Sampailah mereka di sebuah lubang di dinding rumah itu. Lubang itu tampak bersih dari jaring laba-laba. Namun lubang itu sangat gelap. Dari luar, Gubee tak dapat melihat apa yang ada di dalamnya.
"Bisakah kau masuk terlebih dahulu?" pinta kunang-kunang tua pada Gubee.
Gubee mengangguk. Tak sedikitpun ia tampak ragu memasuki lubang kecil itu. Dan siapa sangka di dalam lubang papan itu, ada sesuatu yang tak Gubee ketahui.
Seekor laba-laba jatuh dari atas lubang, menangkap Gubee, lalu melemparnya ke jaring sutra yang sangat lengket, dan tubuh Gubee terjebak oleh jaring Laba-laba yang ternyata memenuhi bagian dalam lubang itu.
Sayapnya tak mampu lagi bergerak, meskipun ia terus mencoba melepaskan sayapnya dari benang-benang sutra itu. Ia terus meronta, tetapi usahanya tampak sia-sia, karena setiap gerakan justru membuatnya semakin terperangkap. Dan laba-laba penghuni lubang itu menatap sinis kepadanya.
"Bantu aku! Ada laba-laba disini!" teriak Gubee meminta pertolongan.
"Heeiii..!! Kunang-kunang! Aku terjebak!!" pekiknya lebih keras lagi. Namun Kunang-kunang tua tak menghiraukannya.
Dengan langkah senyap, laba-laba penjaga jaring kematian itu mulai berjalan menghampiri Gubee. Matanya yang dingin, penuh nafsu, mengintai Gubee yang semakin lemah dan tak berdaya. Seperti ada yang menghisap tenaganya lewat jaring-jaring itu, tubuh Gubee tak mampu berbuat banyak lagi, bahkan meski hanya untuk sekedar berteriak.
Gubee mulai berhalusinasi. Dalam pandangan yang samar, ia melihat sarangnya yang jauh. Ia melihat bunga-bunga yang pernah dihinggapinya, Ia melihat wajah teman-temannya, dan ia juga melihat wajah Semut merah penjaga yang tersenyum dari balik kabut hitam.
Tubuhnya menggigil, dan antenanya bergerak gelisah, meraba dunia yang tak lagi terasa nyata. Ia semakin terlihat lemah, terperangkap antara hidup dan mati. Pandangannya semakin mengabur, seiring tubuhnya yang menyerah pada kegelapan yang mendekat, membawa akhir dari semua penglihatan itu. Namun dalam sekaratnya yang pedih , ia memohon pada angin malam yang lembut, agar kisahnya tak terhapus begitu saja.
"Laba-laba tua! Keluar kau..!!" terdengar suara Kunang-kunang tua menggema kedalam lubang papan itu. Laba-laba penghuni jaring dibalik ujung lubang itupun keluar.
"Aku sudah membawakan makanan pengganti untukmu. Sekarang, lepaskan anakku!" sambung serangga tua itu.
Laba-laba itu menyeringai menampakan giginya yang tajam, lalu kembali lagi kedalam, dan tak lama iapun keluar dengan membawa dua ekor kunang-kunang kecil yang tampak tak sadarkan diri.
Lanjut Bab 4