Jodoh adalah takdir dan ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah. Kita tidak tahu, siapa, di mana, dan kapan kita bertemu jodoh. Mungkin, bisa saja berjodoh dengan kematian.
Kisah yang Nadir ditemui. Hafsah Nafisah dinikahi oleh Rashdan, seorang ustaz muda yang kental akan agama Islam. Hafsah dijadikan sebagai istri kedua. Bukan cinta yang mendasari hubungan itu, tetapi sebuah mimpi yang sama-sama hadir di sepertiga malam mereka.
Menjadi istri kedua bertolak belakang dengan prinsipnya, membuat Hafsah terus berpikir untuk lepas dalam ikatan pernikahan itu karena tidak ingin menyakiti hatinya dan hati istri pertama suaminya itu. Ia tidak percaya dengan keadilan dalam berpoligami.
Mampukah Hafsah melepaskan dirinya dari hubungan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Secepat Itu?
🍃🍃🍃
Sekitar sepuluh menit di kamar, Hafsah dan Rianti keluar dari sana, kembali duduk di posisi awal mereka dengan bibir Rianti tersenyum melebar menyembunyikan perdebatan yang cukup melelahkan antara dirinya dan putrinya itu, sedang Hafsah sendiri diam dengan ekspresi bingung, masih tampak berpikir keras, dan ada keraguan di hatinya dengan hubungan yang diperbincangkan jika disetujui olehnya.
"Bagaimana, Nak?" tanya Hadid kepada Hafsah, tanpa tahu begitu banyak hal yang dipikirkan anaknya itu.
“Huff!” Hafsah menghela napas.
“Bismillahirrahmanirrahim. Iya,” ucap Hafsah, menerima lamaran Rashdan.
Hafsah mengadu pandangan dengan Rashdan.
“Dua hari lagi saya akan kembali ke kota. Jadi, pernikahan akan dilaksanakan sebelum saya pergi,” terang Rashdan dengan ekspresi ciri khasnya, yaitu tampak dingin secara raut wajah, tetapi sebenarnya pria itu orang yang peduli.
“Secepat itu?” tanya Hafsah, kaget.
“Um. Kalau bisa, besok. Saya sudah membicarakannya bersama ustaz Zainan subuh tadi di masjid, dia sudah memberikan izin untuk mengadakan pernikahan di sana. Untuk sementara, saya minta maaf karena tidak bisa menyelenggarakan resepsi karena waktu yang mepet. Nanti kita bicarakan lagi mengenai hal itu,” terang Rashdan dengan sedikit berat hati mengatakannya.
“Jika menikah besok, kapan aku punya waktu berbicara bersama ustaz Rashdan untuk membuatnya paham akan perasaan istrinya dan aku?” Hafsah berucap dalam hati, masih tidak menyangka akan secepat itu.
“Baik. Lebih cepat, lebih bagus,” ucap Hadid.
Hafsah menoleh ke sisi kanan, menatap sang ayah yang duduk tersenyum padanya dengan sorot mata menyuruhnya untuk diam dan menyetujui keputusan Rashdan.
“Kalau begitu, kami pamit undur diri karena masih ada kajian yang harus saya hadiri,” pamit Rashdan.
Pria itu mengambil secangkir kopi yang ada di atas meja, yang ada di hadapannya. Ia meneguk air berwarna coklat kehitaman itu sampai habis dalam beberapa tegukan karena kondisi air sudah tidak panas.
“Terima kasih,” ucap Rashdan sambil menaruh gelas kopi kembali ke atas meja.
“Sama-sama,” balas Rianti.
Rashdan dan Mur berdiri. Pria yang baru melamar Hafsah itu menyalam tangan Hadid secara langsung, tetapi tidak kepada Rianti dan Hafsah, mereka melakukannya dari jauh. Hal yang sama juga diikuti Mur.
Kedua pria itu berjalan keluar dari rumah sederhana itu diantar oleh penghuni rumah sampai ke teras.
“Ustaz Rashdan!” Hafsah memanggil Rashdan yang hendak memasuki mobil.
Pria itu memutar badan ke belakang, menatap Hafsah yang sesekali menurunkan pandangan karena melihat sorot mata Rashdan yang baru disadari membuat jantung wanita itu tidak stabil, berdegup kencang. Hal itu dirasakan Hafsah sejak matanya beradu tatap di sekolah pagi tadi.
“Bisa kita bicara nanti malam? Kita bertemu di taman dekat masjid,” ujar Hafsah.
Beralih Rashdan menatap Mur yang berdiri di sampingnya. Sopir pribadi yang terlihat seperti temannya itu menganggukkan kepala dengan sudut bibir sedikit tersenyum.
“Baiklah,” ucap Rashdan, lalu melanjutkan kaki memasuki mobil.
Hafsah menghela napas lega karena menunaikan niat yang sulit untuk dilakukan sejak tadi, mengajak pria itu berbicara.
Mereka bertiga yang berdiri di teras memandang mobil yang dikemudikan Mur kian menjauh, menghilang dari sorot mata mereka.
***
Hafsah berjalan di samping Rashdan memasuki taman Griya, di mana ada Mur yang menjadi obat nyamuknya, pria itu berjalan sejajar dengan mereka tepat di sisi kiri Rashdan, agar mereka tidak terkesan dipandang buruk di mata Tuhan, sedang berduaan karena status mereka belum sah menjadi pasangan suami-istri. Meskipun ada Mur di sana, suasananya masih terasa canggung bagi Hafsah, membuat mereka saling diam sampai akhirnya wanita itu duduk di bangku taman, sedangkan Rashdan dan Mur berdiri di hadapannya.
“Ustaz punya istri dan anak. Coba pikirkan bagaimana perasaan istri ustaz menyadari dirinya dimadu? Tidak ada wanita yang bisa dimadu di dunia ini, Ustaz. Ini bukan zaman nabi.” Hafsah berusaha membuat Rashdan mengerti dan bisa mengurungkan niat untuk menikahinya. “Jika aku istri ustaz, aku tidak bisa menerimanya,” lanjut Hafsah.
Keberadaan Mur yang jauh lebih tua dari mereka tidak merusak suasana, membuat mereka canggung membicarakan hal itu. Sopir pribadi Ustaz tampan itu bisa menaruh tepat posisinya di situasi mereka.
“Sayangnya kamu bukan istri saya. Jadi, kamu tidak akan bisa mengerti,” timpal Rashdan dengan wajah dinginnya.
Timpalan Rashdan kali ini menarik rasa kaget Hafsah, tidak menyangka pria itu membalas penjelasannya sedikit tajam yang tidak dilihat sebelumnya.
“Benar. Aku bukan istri ustaz. Baiklah. Terima kasih atas waktunya, aku hanya mengatakan itu saja,” ketus Hafsah, kesal.
Gadis itu berdiri, berjalan meninggalkan keberadaan mereka dengan perasaan kesal dan sedikit emosi yang ditahan sampai membuatnya geram. Perkataan Rashdan sedikit menyinggung perasaannya dan Rashdan menyadari hal itu, membuat pria itu sedikit merasa bersalah jadinya.
Mur memperhatikan ekspresi Rashdan, pria itu tersenyum ringan, tahu apa yang dirasakan oleh majikannya itu. Senyumannya tidak disadari Rashdan karena pria itu fokus memperhatikan kepergian Hafsah yang masih tampak oleh pemantauan indra penglihatan mereka.
“Wanita kalem seperti Mbak Hafsah cukup sensitif saat diajak bicara dengan nada begitu, Ustaz,” ucap Mur, masih tersenyum ringan.
“Kamu meledekku, Pak Mur?“ tanya Rashdan dengan nata sedikit mengecil, tidak ada senyuman yang terukir.
“Maaf, Ustaz.“ Mur merapatkan bibir, menahan senyumannya.
***
“Qobiltu nikahaha wa tazwijaha 'alal mahril madzkuur wa rodhiitu bihi, wallahu waliyyut taufiq.“
Rashdan mengucapkan kalimat itu dalam satu tarikan napas. Kalimat yang sempat muncul di mimpi sepertiga malam itu yang akhirnya terucap juga, menjadikan mereka sebagai pasangan suami-istri yang sah.
“Sah?” tanya penghulu, menatap para saksi pernikahan dari kedua belah pihak.
“Sah …,” ucap mereka.
Hafsah diam membeku, merasa tidak percaya, mimpi di malam yang sama dengan mimpi yang dialami Rashdan terjadi juga. Matanya menatap kosong buku nikah yang ada di hadapan penghulu, yang akan ditandatangani olehnya dan Rashdan.
Para kaum hawa yang belum menikah, yang hadir di masjid, yang menyaksikan pernikahan itu merasa tidak rela. Mereka merasa iri dengan posisi yang diambil Hafsah dalam hidup Rashdan ke depannya, pria yang mereka kagumi. Namun, mereka juga sadar, begitulah takdir.
“Hafsah …!” panggil Rianti, menyadarkan wanita itu dari lamunannya.
“Ustaz Rashdan …!” Mur ikut memanggil Rashdan yang juga sempat duduk termenung setelah mengucapkan ijab-kabul bersama Hadid.
“Silakan tandatangani surat nikahnya,” ucap penghulu sambil menyodorkan dua buku nikah ke hadapan Hafsah dan Rashdan di atas meja akad.
Mempelai pria mengambil pulpen lebih dulu, menandatangani buku nikah itu dan dilanjutkan oleh Hafsah. Kemudian, Rashdan mengenakan cincin di jari manis kanan gadis yang resmi menjadi istri keduanya itu, sebaliknya juga dilakukan mempelai wanita. Tidak lupa, Hafsah menyalam, mencium punggung tangan Rashdan, dibalas mempelai pria dengan menaruh tangan kirinya di kepala Hafsah dan mengecup dahi gadis itu.
Rianti memegang tangan Hadid, tersenyum pada suaminya itu, menyalurkan perasaan bahagia melihat putri semata wayang mereka berada dalam tanggung jawab Rashdan, pria yang tepat menurut mereka.
Setelah acara itu singkat itu usai, kedua mempelai menerima ucapan selamat dari orang-orang terdekat yang hadir di acara tersebut. Senyuman palsu diumbar oleh Hafsah dan Rashdan untuk menutupi perasaan yang sebenarnya murung, dalam jiwa yang tidak baik-baik saja. Mereka memikirkan satu orang yang sama, yaitu Halma. Bagaimana perasaan Halma saat ini, juga ke depannya dengan hubungan mereka? Hal itu mengganggu benak mereka, terutama Rashdan, meskipun istri pertamanya itu sudah memberikan izin atas pernikahan keduanya.