NovelToon NovelToon
KEISHAKA : You'Re My Melody

KEISHAKA : You'Re My Melody

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Anak Kembar / Murid Genius / Teen School/College / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers
Popularitas:3.5k
Nilai: 5
Nama Author: Ziadaffi Ulhaq

Dia, lelaki dengan prestasi gemilang itu tidak sesempurna kelihatannya. Sayang sekali kenapa harus Nara yang menyaksikan rumitnya. Namanya Yesha, menyebalkan tapi tampan. Eh? Bukan begitu maksud Nara.

Dia, gadis ceroboh yang sulit diajak bicara itu sebenarnya agak lain. Tapi Yesha tidak tahu bahwa dia punya sisi kosong yang justru membuat Yesha penasaran tentang sosoknya. Namanya Nara, tapi menurut Yesha dia lebih cocok dipanggil Kei. Tidak, itu bukan panggilan sayang.

Jatuh cinta itu bukan salah siapa. Pada akhirnya semesta berkata bahwa rumitnya bisa dipeluk dengan hangat. Dan kosongnya bisa dipenuhi dengan rasa.

Oh, tenang saja. Ini hanya masalah waktu untuk kembali bersama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ziadaffi Ulhaq, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SATU UNGGULAN

PAGI pagi Nara sudah siap dengan seragam sekolah baru yang terlihat pas di tubuhnya yang tidak begitu tinggi. Ia mematut diri didepan cermin besar di sisi kanan lemari, duduk di bangku rias. Mata Nara tanpa sengaja melihat pada sebuah figura yang ada dinakas sebelah meja riasnya, tepatnya potret dirinya di waktu kecil. Nara meraih figura itu, dia masih terlihat seperti anak kecil bandel yang suka membuat mamanya mengomel. Di foto itu Nara terlihat lucu, hanya berantakan dengan sisa sisa eskrim di baju dan wajahnya. Dia tersenyum, lalu beralih menatap dirinya didalam cermin.

Genap tujuh belas tahun dirinya sekarang. Anak kecil didalam foto itu sudah berubah menjadi gadis remaja dengan rambut hitam panjang dan sedikit mengombak. Kulit putih pucat yang terawat, mata bundar dengan retina hitam yang terlihat menawan, hidung mancung, bibir tipis merah muda dengan senyum secerah matahari pagi. Berlebihan? Tidak. Nara memang cantik, semua orang tahu itu.

Nara kembali menaruh figura itu ditempat semula. Semua kejadian dalam hidupnya terjadi cepat sekali. Orang tuanya berpisah saat Nara umur tiga belas, ia ikut pindah dengan papanya, sementara Agatha tetap dikota ini dengan mama. Tinggal dengan papa tidak pernah sama seperti tinggal dengan mama, karena itulah Nara lebih mandiri, lebih kuat, sebab papanya terlalu sibuk mengurusi pekerjaan, karena itulah pehatian perhatian besar yang sesekali Nara dapat dari sang papa begitu membekas dikepalanya.

Setahun lalu papanya sakit, divonis memiliki penyakit serius dengan jantungnya. Lantas Nara sibuk mengurus sang papa, hingga napas terakhir papanya, Nara ada disana. Sebulan yang lalu papanya meninggal dunia, jasadnya dikebumikan dikota ini. Nara akhirnya menurut untuk pindah dan kembali tinggal dengan mama dan kakak perempuannya. Di kota ini, tempatnya lahir, juga tempatnya tumbuh, juga tempat papanya dikebumikan.

“Ra? Udah siap? Tasya udah ada tuh dibawah,”

Lamunan Nara terputus. Ia menoleh, menemukan Agatha di ambang pintu kamarnya. “Oh, udah kok, tinggal ngambil tas.”

“Hari ini sarapan di sekolah aja ya, mama udah berangkat ke butik, ada urusan ngedadak, oke?”

Nara mengangguk, segera beranjak dari bangku rias. “Oke, nanti di kantin aja bareng Tasya.”

“Yaudah turun cepet, Tasya udah nunggu.”

“Iya.”

Setelah menyampirkan tasnya, Nara sekali lagi membenahi penampilan, lalu keluar dari kamar, menuruni anak tangga. Tasya terlihat sudah rapi, duduk diruang tengah, sedang mengotak ngatik ponselnya.

“Hei, Sya.”

Tasya mendongak sekilas, “Hai. Eh, Ra, kita naik taksi online aja ya, papa gak bisa nganterin, ada rapat penting.”

Nara mengangguk, dia tidak keberatan. “Oke.”

“Tasya nanti temenin Nara sarapan ya.” Suara Agatha yang melintas membuat Tasya mendongak, lalu mengangguk singkat.

“Siap kak.”

...***...

“Baik baik loh disekolah baru, kalau ada yang kamu butuh bisa bilang ke saya, anggap saya orang tua kamu juga disekolah.”

Nara mengangguk sopan. “Iya, Bu.”

“Yasudah, ibu antar ke kelas baru kamu kalau git—”

Drrtt…drrtt…drrtt…

“Sebentar ya.”

Nara mengangguk lagi, membiarkan Bu Sara—wali kelasnya—berdiri, menerima telepon sebelum mengantarnya ke kelas. Ruangan berukuran cukup besar yang berfungsi sebagai ruang guru ini sepi, semua guru—kecuali Bu Sara—sudah berangkat menuju aula rapat. Entah apa yang perlu dirapatkan, Nara tidak punya urusan untuk tahu. Meja meja berjajar rapi, sejak Nara menginjak gerbang didepan tadi semuanya memang tertata rapi, gedung gedung kelas, taman, lorong lorong, lapangan, semuanya mengagumkan, tak heran sekolah ini menjadi sekolah seni favorit.

Dan disinilah Nara sekarang, di SMA Artaca yang selalu dibanggakan Tasya. Nara hobi bermain piano, walaupun tidak mahir sepertinya dia mulai tidak sabar akan seperti apa ruang musik di sekolah ini. Alasan sederhana dirinya masuk sekolah seni bukan karena Nara berbakat di bidang itu, melainkan karena Tasya juga sekolah disini. Sesederhana itu.

“Wah, hahaha, hebat sekali, kalau begini saya bisa membuatkan lemari khusus untuk penghargaan penghargaan yang kamu dapat atas nama sekolah. Aduh, ini sudah piala ke berapa yang kamu dapat hah? Orang tua kamu pasti bangga sekali punya anak berbakat seperti kamu.”

“Ah, nggak juga, Pak. Semua juga, kan, atas dukungan bapak dan sekolah yang selalu membimbing saya.”

Nara menoleh mendengar suara percakapan dua orang yang berasal dari pintu masuk. Seorang pria paruh baya dengan setelah rapi yang bisa Nara tebak adalah kepala sekolah, terlihat mengacung ngacungkan sebuah piala seraya menepuk nepuk bahu siswa didekatnya yang berdiri sopan, pak kepala sekolah terlihat bangga sekali.

“Kamu memang pandai menangin hati bapak.” Pak Kepala Sekolah tertawa renyah, tersenyum penuh penghargaan pada siswa itu.

Nara diam memperhatikan. Sepertinya siswa laki laki itu baru saja memenangkan sebuah perlombaan, mungkin sudah sering dapat, makanya reaksi Pak Kepala Sekolah begitu bangga.

“Heh, kamu ngapain masih di ruang guru? Kelas berapa kamu?”

Nara mengerjap. Eh? Itu pertanyaan untuknya? Ia menoleh ke kanan dan kiri.

“Iya kamu, memangnya saya bertanya pada siapa lagi? Hantu?”

Oh, ya ampun. Nara tersenyum canggung,”E-eh, saya murid baru.”

Pak Kepala Sekolah ber-oh pendek, manggut manggut mengerti. “Bagus kamu masuk sekolah disini. Lihat, dia ini murid kebanggan sekolah, prestasinya banyak sekali, murid teladan juga, pokoknya patut dicontoh, saya harap kamu juga bisa membanggakan sekolah seperti dia.”

Nara mengangguk pelan, sekilas melihat pada siswa laki laki yang lagi lagi dibanggakan Pak Kepala Sekolah. Aduh, belum apa apa Nara sudah ‘dituntut’ untuk berprestasi. Nara juga tidak tahu persis maksud ‘teladan’ nya itu bagaimana, kenal saja tidak. Bagaimana Nara tahu apa yang harus dicontoh darinya selain membawa pulang piala besar?

“Yasudah kalau gitu, saya pamit ke kelas, Pak, mau melanjutkan pelajaran.” Pamit ‘murid teladan’ itu.

“Oh, yasudah, silahkan, selamat belajar, bapak simpan piala kamu di lemari kaca.”

“Terima kasih, Pak.”

Belum sempat si murid teladan meninggalkan ruang guru, Bu Sara telah kembali dari menerima telepon, membuat langkahnya tertahan, harus menyalimi dulu Bu Sara. “Eh, Yesha, masih disini?” Tanya Bu Sara.

“Iya, dia lagi lagi setor piala. Hebat emang anak didik Bu Sara ini.” Itu pujian kesekian yang dilontarkan Pak Kepala Sekolah hari ini. Nara sampai bosan mendengarnya.

Bu Sara tertawa kecil, menatap muridnya penuh penghargaan. “Selamat ya Yesha, kamu selalu membanggakan memang. Sekolah ini bangga punya murid seperti kamu, guru guru bakal senang dengar kejuaraan kamu lagi.”

Aduh, semua orang tampaknya bangga sekali padanya. Nara geleng geleng kepala, memang dia semembanggakan itu ya?

“Oh iya Pak, saya harus ngantar anak baru ke kelas.” Ucap Bu Sara.

Pak Kepala Sekolah menatap Nara sekilas, lalu mengangguk. “Yasudah, silahkan, saya juga harus ke ruang rapat lagi, sampai rela saya tinggal rapatnya demi lihat pialanya Yesha, ya ampun,” geleng geleng kepala seraya terkekeh, Pak Kepala Sekolah melanjutkan, “setelah itu Bu Sara bergabung rapat ya. Segera.”

“Baik, Pak.” Bu Sara mengangguk sopan.

Pak Kepala Sekolah meninggalkan ruang guru.

Sampai rela meninggalkan rapat? Nara tidak habis pikir.

“Nara, ayo, ibu antar. Yesha juga ayo, sekalian kita ke kelas bareng.”

Si murid teladan yang masih berdiri ditempatnya mengangguk takzim. “Iya Bu.”

Nara beranjak dari bangku, membenarkan roknya yang sedikit terlipat, berjalan menghampiri Bu Sara.

“Selagi jalan Yesha gak mau memperkenalkan diri ke teman barunya?” Tanya Bu Sara, menoleh ke kanan. Mulai memimpin langkah.

“Eh? Dia di kelas kita, Bu?”

Bu Sara mengangguk. “Iya, kenalan dong. Nara, ayo kenalan.”

Nara nyengir canggung, menoleh ke kanan. “E-eh, gue Nara.”

Sebuah senyum terlempar, entah kenapa membuat Nara sedikit kaget mendapat senyum selebar itu di pertemuan pertama yang super canggung ini. “Gue Yeshaka, salam kenal ya.”

Nara tersenyum tipis, mengagguk kaku.

“Cuma itu? Dasar kalian ini.” Bu Sara terkekeh, geleng geleng kepala. “Yesha itu murid yang membanggakan lho, Ra. Nanti kamu juga tahu sendiri, bisa belajar banyak dari dia. Ibu harap kalian berteman baik ya.”

Tidak ada percakapan lain lagi selama perjalanan menuju kelas. Sesekali Nara melirik kekanan, pada seseorang disamping Bu Sara yang berjalan beriringan dengannya. Sepertinya mereka akan sekelas. Nara jadi penasaran, sebenarnya apa yang telah dimenangkan oleh Yesha? Ditilik dari wajahnya, dia memang terlihat berbakat. Tapi hanya sebatas itu. Sedikit tampan. Eh? Nara mengerjap, bukan begitu maksudnya—

“Nah, ini kelas kamu.”

Langkah mereka terhenti didepan sebuah kelas berplang XI SENI 3. Bu Sara membuka pintu kelas, melangkah masuk, diikuti Yesha dan Nara dibelakangnya.

Yesha langsung duduk menuju bangkunya, sementara Nara berdiri didepan kelas, membuat semua atensi murid yang ada beralih padanya. Nara menelan ludah, dia tidak pernah terbiasa menjadi pusat perhatian begini.

“Anak anak, ada murid baru pindahan, silahkan memperkenalkan diri, Ra.”

Nara mengangguk, menghela napas, menatap seluruh kelas. “Halo, aku Keinarra Allea, biasa dipanggil Nara, pindahan dari SMA Ardhijuana.”

Bu Sara tersenyum, memeluk bahu Nara dari samping. “Nah, ibu harap kalian bisa berteman baik dengan Nara ya. Ketua kelas…” Bu Sara beralih menatap seorang murid laki laki yang duduk dibarisan depan.

“Iya Bu.”

“Tolong dibantu ya kalau Nara butuh apa apa,”

“Siap Bu.”

Bu Sara beralih pada Nara, “Nara, itu Ryan, ketua kelas. Kalau ada apa apa bisa tanya dia ya.”

Nara mengangguk, “iya Bu.”

“Yasudah anak anak, ibu ada rapat dengan guru guru hari ini, kemungkinan besar kalian tidak belajar sampai jam istirahat pertama, jadi jangan berisik ya.”

“YEAYY!!” Seisi kelas bersorak senang, beberapa bahkan melakukan tos dengan temannya. Nara masih berdiri didepan.

“Nara silahkan duduk.”

Bangku kosong yang berada dijajaran kedua akhirnya menjadi tempat duduk Nara. Ia menyimpan tas di laci meja, menatap kepergian Bu Sara dari kelas. Nara tahu, sebagian besar murid dikelas ini sekarang menatapnya. Aduh, situasi aneh macam apa ini?

“Hai, Nara.”

Nara menoleh ke kiri, pada seorang gadis yang duduk di bangku sebelahnya dengan rambut diikat rapi menjadi satu, mata sedikit sipit, dan senyum yang manis. “Gue Rania. Sherania Aressy. Lo yang sepupunya Tasya, kan?”

Nara mengangguk membenarkan. “Lo kenal Tasya?”

“Kenal dong!” Rania menjawab mantap, “Gue temen SMP-nya Tasya, dan masih jadi temennya sampai sekarang. Temen Tasya berarti temen gue juga, so, welcome to our circle, Nara! Nanti gue kenalin ke Laudy juga, kita pasti jadi temen baik.”

Nara tersenyum lebar, mengangguk lebih semangat. “Thanks, Ran.”

...***...

Kantin ramai. Dan meja sebelah utara sana tak kalah ramai. Seorang lelaki yang makan dengan empat gadis sekaligus. Ya, kalian tidak salah baca. Empat. Benar benar empat orang yang mengerubutinya—ah tidak, sisa gadis lainnya masih menunggu di meja meja lain dekat sana. Mereka sibuk tertawa manis. Tepatnya pura pura manis. Untuk menarik perhatian lelaki populer itu.

Astaga.

Nara bergidik ngeri melihat pemandangan itu. Apalagi saat ini Tasya hendak ikut ikutan pergi kesana. Membawa mangkuk baksonya. Aduh, apa sih yang mereka pikirkan? Dan Tasya? Bisa bisanya—

“Kalian gak boleh menghalangi jalan gue gitu dong, siapa tahu diantara mereka semua itu Yesha kepincutnya sama gue.” Wajah Tasya melas, jelas jelas dia ingin kesana.

Vara Laudytha, seorang teman baru Nara yang lain mencegah, menggeleng tegas. “Harga diri lo, Sya.”

Nara mengangguk setuju. Harga diri.

“Gue itu jual mahal ke semua cowok, tapi kalau ke Yesha gue rela banting harga.”

“STRES ANJIR. SINTING LO.” Rania bergidik, geleng geleng kepala.

“Lo boleh suka sama Yesha, Sya, gak ada yang larang lo, tapi sewajarnya aja.” Nasihat Laudy yang tentu hanya akan membuat Tasya tuli. Mana mau dia mendengarkan.

“Ini yang paling wajar buat gue jadi stop larang gue!”

“EH, SYA! ADUH!”

Pencegahan kali ini gagal. Tasya sudah ngacir, membawa mangkuk baksonya menuju meja yang dekat dengan meja Yesha. Menyapa lelaki itu dengan senyum SuperManis. Melarutkan diri dengan topik obrolan Yesha.

Nara yang sejak tadi memperhatikan sampai menganga menyaksikan itu, menepuk dahi, tidak percaya sepupunya bisa sebrutal itu dalam menyukai seseorang.

“Dia emang gitu ya?” Tanya Nara pada Rania dan Laudy.

“Segitu belum puncak beringasnya,” Laudy menggeleng.

Nara membelalak, belum apanya?

“Biasanya dia suka ngintilin Yesha kemanapun dia pergi, udah kayak sasaeng.”

“Demi apa?”

Rania mengangguk membenarkan, menyuapkan sepotong bakso ke mulutnya dengan garpu, ber-hah kepedasan. “Setahun ini Yesha sukses bikin Tasya kayak orang gila.”

Kening Nara terlipat, tidak mengerti. “Kenapa bisa gitu sih? Tadi pagi juga gue liat Pak Kepsek sama Bu Sara sampai bangga banggain dia banget. Sampai agak berlebihan sih menurut gue.”

“Yesha, kan, baru menangin kompetisi main piano tingkat nasional entah yang ke berapa belas kali sepanjang dia sekolah disini. Itu mungkin kejuaraan ke delapan belas atau sembilan belas gitu, gak ngitungin juga gue, saking banyaknya dia menang lomba.” Jelas Rania.

Nara tertegun sesaat, “Main piano?”

Rania mengangguk antusias. “Gak cuma main piano, dia juga jago nyanyi, ngelukis, main gitar—ah pokoknya he’s the king of art. Pelajaran biasa disekolah juga kita gak bisa sepelein dia, tahun lalu, Yesha dapet peringkat tiga paralel! Lo bisa bayangin, kan, seberapa genius otaknya? Udah gitu guanteng poll lagi, kaya raya, sempurna banget gak sih?”

“Kenapa malah jadi kayak elo yang naksir Yesha, Ran?”

Uhuk! Demi mendengar ucapan Laudy, Rania tersedak bakso pedasnya. Terbatuk beberapa kali, wajahnya dengan cepat memerah. Nara jadi ikut panik, menyodorkan segelas es teh pada Rania. Buru buru Rania menegak minumannya, tenggorokannya terasa perih sekarang. Kasihan sekali.

Laudy nyengir, “Sorry, gue, kan, bercanda, biasa aja kali.”

“Mulut lo gue cabein ya!” Rania tersengal, menatap Laudy sebal, masih mengusap dadanya yang sakit.

“Ya kalau gitu wajar aja sih guru guru sebangga itu sama Yesha, apalagi cewek cewek yang naksir dia sampai sebanyak itu. Masuk akal.” Sejujurnya Nara lebih tertarik pada Yesha yang mahir bermain piano. Jika dalam setahun dia bisa memenangkan piala sebanyak itu, berarti memang dia benar benar jago. Tapi Nara takut dikira naksir Yesha juga kalau mau menanyakan lebih tentang lelaki itu. Padahal dia hanya penasaran.

Laudy mengangguk, setuju dengan ucapan Nara. “Iya, kan? Tapi sayang banget nggak semudah itu buat dapetin Yesha,”

Nara menggernyit, “Kenapa?”

Kepala Laudy bergerak kekanan dan kekiri, menggeleng. “Nggak tahu, susah aja katanya. Kata Ryan, Yesha susah percaya sama orang, susah suka juga, harus Yesha yang suka duluan, mantannya juga cuma satu, itu juga nggak lama pacarannya.”

Nara manggut manggut mengerti, lalu, “Ryan? Ryan yang ketua kelas XI 3?”

Wajah Laudy memerah seketika.

Rania segera sibuk ber-ehem ehem ria, tersenyum menggoda Laudy. “Iya, Ryandra Stefano yang ketua kelas kita, mereka lagi PDKT-an.”

Mulut Nara membentuk huruf O besar, mengangguk paham, ikut tersenyum menggoda Laudy. “Yang itu, kan?” Ia menunjuk seorang lelaki di meja yang tak jauh dari meja Yesha, sedang berkumpul bersama dua temannya.

Rania mengangguk, “Iya, temen se-circle-nya Yesha juga,”

“Dua cowok itu juga?”

“Iya, yang depan Ryan, itu namanya Fizra Hananta, terus yang sebelahnya Jeano Abidzar. Mereka bestie bestie kepercayaannya Yesha, dari SMP katanya.”

“Ohh gitu.” Nara manggut manggut mengerti, “Pantes ya, lo sama Tasya pura pura nyamperin gue ke kelas, ngajak ke kantin, padahal yang satu mau caper ke Yesha, yang satu mau caper ke Ryan—”

“GAK GITU YA!” Sembur Laudy.

Nara tertawa, juga Rania yang menepuk nepuk bahu Nara dengan bangga. Bangga karena sudah sukses membuat wajah Laudy merah padam sekarang. Aduh, belum saja mereka dilempar mangkuk bakso oleh Laudy.

...***...

1
NurAzizah504
Hai, ceritanya keren
Beatrix
Serius thor, kamu mesti lebih cepat update. Agar aku nggak kehabisan tisu ☹️
Ludmila Zonis
Mengharukan
Devan Wijaya
Hahahaha aku baca dari tadi sampe malam, mana next chapter nya thor?!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!