Cinta datang tanpa diundang. Cinta hadir tanpa diminta. Mungkin begitu yang dirasakan oleh Halim saat hatinya mulai menyukai dan mencintai Medina-gadis yang notabene adalah muridnya di sekolah tempat dia mengajar.
Halim merasakan sesuatu yang begitu menggebu untuk segera menikahi gadis itu. Agar Halim tidak mengulangi kesalahannya di masa lalu.
Apakah Halim berhasil mendapatkan hati Medina?
Apakah Medina menerima cinta dari Halim yang merupakan Gurunya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ils dyzdu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3
Halim berdoa dengan khusyuk sekali. Setelah selesai, Halim bergegas keluar tanpa tahu ada orang yang membuat dia penasaran kemarin tengah sholat juga di mushola itu.
Medina dan Nona pergi ke lapangan. Mereka disambut antusias oleh adik-adik junior yang sedang istirahat dari latihan.
Ibra-senior Medina dan Nona, mendatangi mereka. Mereka bertiga bersalaman ala anak organisasi di sekolah itu.
“Sudah selesai PKL-nya, Dek?” Ibra bertanya pada dua gadis itu, tapi matanya malah hanya menatap Medina dengan damba.
“Belum, Kak! Besok selesai,” jawab Nona.
Padahal yang Ibra harap itu, Medina yang menjawab. Tapi mau gimana lagi, Medina memang begitu orangnya. Susah untuk menaklukkan hatinya.
Ibra bahkan sedang bersaing dengan 3 orang senior Medina lainnya di organisasi paskibra ini. Mereka semua diam-diam mencoba mengambil hati Medina.
“Oh iya, Kak. Gimana latihan Adek-adek ini?” Medina membuka suaranya.
Ibra tersenyum. “Ya, gitulah, Dek! Baru berapa minggu, mana mungkin mereka langsung bisa.”
Medina tersenyum simpul, lalu mengalihkan pandangannya pada Adik-adik juniornya. Di sana ada Nona. Ternyata dia sudah menghampiri mereka duluan.
“Kak, aku ke sana dulu, ya?”
“Ah, iya, Dek.”
Ibra tersenyum-senyum melihat Medina yang berjalan melewatinya dengan penuh power.
Ibra mengusap tengkuknya. “Ahh, wanita tangguhku.”
..........*****.........
Tak terasa, jam sudah menunjukkan pukul 13:30 wib. Halim yang telah selesai mengajar, langsung saja pergi ke mushola untuk sholat Dzuhur.
Di sana, lagi-lagi dia dan Medina ada di dalam satu ruangan yang sama. Tapi yang namanya Halim, dia tidak akan peduli, kalau seseorang itu tidak terlalu penting baginya. Bahkan melirik orang saja dia rasanya malas.
Sholat Dzuhur pun akhirnya dia selesaikan dengan rasa syukur. Halim kembali ke ruang guru untuk makan siang. Pukul 15:00 nanti dia akan masuk ke kelas sore. Sambil menunggu masuk, mungkin dia akan berehat sejenak nanti.
“Pak Halim? Lagi makan, ya?”
Halim yang masih baru saja membaca basmalah, langsung mendongak. Ternyata ada Bu Sinta yang sedang tersenyum genit padanya.
Halim menganggukkan kepala dan tersenyum tipis. Yang bahkan senyumnya tidak bisa terlihat.
“Ini, saya mau tawarin sayur yang saya masak sendiri di rumah, Pak. Ayo, silakan.”
‘Haduh!’
“Terima kasih, Bu. Saya sudah bawa sendiri dari rumah,” tolak Halim dengan halus.
“Oh gitu? Ya sudah, deh. Selamat makan ya, Pak Halim?”
Bu Sinta melenggang pergi. Sepertinya tidak ada nada kecewa dari bicaranya. Halim menghembuskan nafas lega.
Sudah 3 bulan, semenjak kepindahannya di sini, dia selalu ditawarkan makanan oleh Bu Sinta. Belum lagi ada Rania dan guru-guru perempuan yang berstatus jomblo begitu serius memperhatikan dia yang sedang makan. Haduh.
‘Besok-besok, aku makan di kantin saja.’
Setengah jam sebelum masuk kelas, Halim memilih untuk duduk di bawah pohon dekat aula para guru. Di sana ada bangku panjang yang terbuat dari beton dan dilapisi keramik.
Biasanya, jam segini dia akan duduk sejenak sambil melihat anak-anak latihan baris berbaris.
Dia juga tak lupa sambil menanyakan kabar orang tua dan adik perempuannya melalui WhatsApp.
Angin bertiup sepoi-sepoi. Menggoyangkan sedikit daun-daun pada pohon.
Halim memejamkan matanya sejenak, merasai angin yang berhembus pelan tapi bisa begitu dinikmati.
Karena tidak ada balasan dari orang tuanya maupun Adik perempuannya, Halim kembali menyimpan hp-nya ke dalam kantung celana bahannya. Eh, tapi dia kelupaan untuk mengecek jadwal kuliahnya. Jadi, Halim tidak jadi menyimpan hp-nya.
“Siap gerak!!”
Terdengar suara dari komandan barisan mulai memberikan perintah.
Setelah itu, terdengar suara seorang perempuan sedang menyapa anak-anak yang sedang berbaris itu.
“Selamat siang, Adek-adek!”
Halim merasa tertarik mendengar suaranya. Karena biasanya, hanya anak kelas XII saja yang melatih, dan semuanya laki-laki.
Halim langsung menyimpan kembali Hp-nya ke dalam kantung celana bahannya. Dia kemudian menoleh pada anak-anak yang tengah berbaris itu.
Matanya langsung membulat ketika tatapannya tertuju pada gadis yang tengah berbicara itu.
‘Bukankah itu gadis yang kemarin? Eh, kenapa dia pakai baju biasa? Apa dia tidak sekolah? Tapi dia cantik.’
Bibir Halim tertarik ke samping memandangi gadis yang sedang tertawa itu. Sepertinya gadis itu memberikan penjelasan tentang game yang akan dimainkan oleh anak-anak paskibra itu.
Halim jadi semakin penasaran dengan gadis itu. Siapa namanya? Dia kelas berapa?
Ada rasa aneh singgah di hati Halim. Entah kenapa, dia jadi merasa kalau perempuan yang cantik di sekolah ini hanya gadis itu saja. Dan entah kenapa, hatinya menggebu ingin tahu.
“Permisi, Pak.”
Seorang murid laki-laki melewati Halim yang tengah duduk sambil membungkukkan badannya.
“Eh, Riko! Tunggu!”
Karena dipanggil oleh Halim, Riko berbalik dan menghampiri Halim.
“Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Kamu tahu tidak siapa dia?”
Halim menunjuk ke arah Medina dengan dagunya. Riko lantas mengikuti arah yang dimaksud Halim.
“Oh, itu anak kelas XI, Pak.”
Halim manggut-manggut. “Oh, begitu, ya? Tapi kenapa dia pakai baju biasa?”
“Mereka kan lagi PKL, Pak. Mungkin mereka ke sekolah karena ada urusan sama guru pembimbingnya.”
Halim manggut-manggut lagi. Inginnya ‘sih bertanya lebih jauh siapa namanya. Tapi malu, ah! Apa yang akan dipikirkan si Riko nanti.
“Ya sudah. Terima kasih, ya?”
“Sama-sama, Pak.”
Riko segera berlalu dari hadapan Halim. Dada Halim terasa sesak karena dipenuhi rasa menggebu ingin tahu tentang gadis itu.
“Paaaaak!! Paaaak Haliiiim!!”
Segerombolan murid perempuan mendatangi Halim yang sudah terkejut dan mengambil ancang-ancang ingin kabur. Tapi terlambat. Mereka sudah sampai duluan di hadapannya.
“Pak, kenapa Bapak tidak masuk ke kelas?”
Halim mengerjapkan mata. Ah! Kenapa dia lupa? Dia melirik jam tangannya, dan ternyata sudah setengah jam dia duduk di sini memperhatikan gadis yang mulai menyentil hatinya.
“Iya! Saya lupa kalau akan masuk ke kelas kalian.” Halim mencari alasan yang bahkan terdengar cute di telinga murid-murid itu.
Medina yang sudah selesai melatih dan sedang mengerjakan tugas di joglo di dekat lab komputer, terusik mendengar keributan di dekat aula para guru. Matanya memicing memperhatikan dari jauh, dan penasaran apa yang terjadi.
Medina lantas menutup laptop-nya dan menyenggol lengan Nona yang sibuk bermain hp.
“Na, itu ada apa?” dagu Medina terangkat menunjuk ke arah keributan itu.
“Oohh, itu paling guru baru yang lagi dikerubuti sama murid-murid.”
Alis Medina terangkat sebelah. “Hah? Lu kok tahu, sih?”
“Gue sudah berapa hari ini kan sering ke sekolah, Me.”
Medina manggut-manggut. “Memang kenapa sampai dikerubuti begitu?”
“Lu sih gak tahu betapa tampannya Bapak itu. Bapak itu jadi idola para kaum hawa di lingkungan sekolah ini, Me. Aduh! Gue sih pernah sekilas lihat Bapak itu. Waduh! Silau mata gue, Me! Silau! Gila! Bapak itu tampannya keterlaluan!” Nona begitu semangat berbicara hingga ngos-ngosan.
Medina manggut-manggut lagi. “Kok gue jadi penasaran, ya?”
Nona membelalak. “Eh, tumben elu penasaran sama seseorang. Biasanya elu cuek kalau sudah berurusan sama seorang pria.”
“Haha, sesekali gapapa kali, ya?”
“Boleh, dong! Apa lu gak tahu kalau lu itu sebenarnya disukai banyak laki-laki di sini, Me?”
Medina mengedikkan bahu. “Ah, masa? Terserah mereka, Na. Gue mau fokus dulu sekolah sama jualan. Kalau gak jualan bantuin Ibu gue, entah dari mana gue bisa sekolah.”
Nona mengusap lengan Medina. “Ouuh. Semangat ya, sahabatku? Gue bantuin deh, Me. Kalau elu butuh bantuan gue untuk jualan, gue juga bersedia. Hehe.”
Medina tersenyum dan gantian mengusap tangan Nona. “Makasih ya, Na? Lu masih mau temenan sama gue yang notabene Cuma anak tukang tempe.”
Nona bukannya tersentuh, malah memukul lengan Medina. “Ah, elu, Me!”
.........****.........
Halim yang berjalan menuju parkiran motor, mendadak berhenti. Dia celingak-celinguk memperhatikan sekitar.
Tadi dia sengaja melewati lapangan sekolah demi bisa melihat gadis itu. Tapi sayang sekali, dia sudah tidak ada di sana. Anak-anak paskibra itu pun sudah pada bubar semua.
Dan di parkiran, Halim tidak menemukan gadis itu juga. Padahal, Halim kira, dia akan bisa bertemu gadis itu barang sedetik saja.
‘Apakah dia sudah pulang? Hem, kenapa aku begitu menggebu ingin melihat wajahnya? Astaghfirullah.’
Sepertinya Halim harus bersabar untuk bisa bertemu dengan gadis itu.
..........****..........