Nala Purnama Dirgantara, dipaksa menikah dengan Gaza Alindara, seorang Dosen tampan di kampusnya. Semua Nala lakukan, atas permintaan terakhir mendiang Ayahnya, Prabu Dirgantara.
Demi reputasi keluarga, Nala dan Gaza menjalani pernikahan sandiwara. Diluar, Gaza menjadi suami yang penuh cinta. Namun saat di rumah, ia menjadi sosok asing dan tak tersentuh. Cintanya hanya tertuju pada Anggia Purnama Dirgantara, kakak kandung Nala.
Setahun Nala berjuang dalam rumah tangganya yang terasa kosong, hingga ia memutuskan untuk menyerah, Ia meminta berpisah dari Gaza. Apakah Gaza setuju berpisah dan menikah dengan Anggia atau tetap mempertahankan Nala?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon za.zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29. Cemburu
Nala sudah kembali ke rumah. Ia melihat Nenek Puspa yang sibuk dengan beberapa tanamannya yang ada di samping rumah. Tanaman yang kemarin menjadi pelampiasan Nala saat kesepian kini terabaikan saat Nala memutuskan untuk berpisah.
Tak mau mengganggu wanita tua itu, Nala memilih masuk ke dalam kamarnya. Ia lebih baik fokus pada KKNnya yang akan dilakukan dua minggu lagi. Mengenai perceraiannya, ia akan ia pikirkan setelah ini.
Nala langsung merebahkan tubuhnya di tempat tidur Gaza. Nuansa kamar Gaza yang di dominasi warna abu-abu terkesan maskulin dan sedikit horor menurut Nala. Dirinya menyukai warna terang, berbanding terbalik dengan Gaza yang menyukai warna gelap.
“Dari segi warna saja kita tidak cocok.” Nala bergumam pelan.
Nala menatap telepon genggamnya yang baru saja mendapat notifikasi dari grup KKN bahwa besok mereka akan mengadakan rapat untuk pemilihan ketua, sekretaris dan bendahara. Nala tak peduli, ia kembali melempar asal hpnya dan memejakan matanya.
Nala nyaris terlelap, tapi suara pintu yang dibuka membuatnya beranjak dari tempat tidur. Satu yang dirinya tahu, Gaza tak akan suka jika seseorang naik ke tempat tidur dalam keadaan belum berganti pakaian, apa lagi Nala habis dari luar.
“Maaf, Mas aku…”
Gaza mendekat, ia mengecup singkat kening Nala.
“Gak apa-apa, kalau masih mau tidur, lanjutin aja tidurnya. Tapi ini sudah sore, sebaiknya mandi dulu jadi istirahatnya gak keganggu,” ucap Gaza sembari mengelus kepala Nala.
Nala hanya diam, dirinya tak tahu harus menanggapi seperti apa. Sikap Gaza sekarang sangat sulit di tebak. Terlalu tenang, terlalu biasa saja seolah-olah hubungan mereka baik-baik saja.
Nala memutuskan untuk mandi, menyegarkan diri mengikuti saran dari Gaza. Ia tak peduli terhadap Gaza yang masih berada di dalam kamar sembari menatap laptopnya, ia tak mau menyibukkan diri baik untuk berpura-pura menyambutnya.
Gaza yang mendengar gemericik air dari kamar mandi mulai tersenyum tipis. Jika sudah seperti ini Ia hanya punya waktu sedikit.
Ia mencari telepon genggam Nala, istrinya itu salah meletakkannya di meja kecil yang ada di sudut kamar. Ia butuh telepon genggam itu untuk mencari tau langkah Nala selanjutnya.
Benar saja, Gaza menemukannya dengan mudah.
“Terkunci,” gumam Gaza kesal.
Gaza kembali meletak benda pipih tersebut, ia butuh sidik jari atau kode pada telepon genggam Nala. Ia tak bisa asal menebak, yang ada akan semakin runyam.
Gaza panik saat pintu kamar mandi berbunyi, Nala keluar dari kamar mandi tepat setelah Gaza meletakkan telepon genggamnya. Tatapan Nala tajam, seolah meneliti apa yang sedang Gaza lakukan di meja sudut kamar, wajahnya biasa saja, tapi semakin terlihat menutupi sesuatu.
“Mas mencari sesuatu?” tanya Nala saat melihat Gaza mematung.
Gaza tersenyum, ia mendekat dan berusaha bersikap biasa saja. “Gak ada,” jawab Gaza kemudian mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi.
Nala menghela nafas lelah, keramas dengan air dingin ternyata tidak membuat pikirannya tenang. Nala melirik ke arah pintu kamar mandi dan laptop Gaza yang menyala.
“Apa di sana ada bukti?” tanya Nala.
Nala mendekat, awalnya ragu dan takut. Tapi tekadnya membuat ia menepis semua rasa takutnya. Tangannya lincah membuka beberapa folder dalam laptop Gaza.
“Terlalu rapi dan tertata…” bisik Nala saat melihat semua data-data Gaza yang disusun berdasarkan tahun. Bahkan data pribadi dan data kampus terpisah.
“Cukup membantu, tapi sepertinya tidak ada apa-apa.” Nala semakin panik saat tak mendengar suara gemericik air. “Biasanya Mas Gaza kalau mandi butuh waktu lama,” lanjut Nala.
Semua data sudah Nala periksa, tak ada jejak. Semuanya bersih dan tak menunjukkan bahwa Gaza menyimpannya disini.
“Kamu mencari foto nikah kita?” tanya Gaza membuat Nala tersentak kaget.
Sejak kapan Gaza keluar dari kamar mandi? sejak kapan pria itu berdiri tak jauh darinya? Nala tertangkap basah.
Nala tak menjawab, ia hanya menggigit bibirnya. Tangannya dingin dan berkeringat saat Gaza Berjalan mendekat ke arahnya.
“Sini aku perlihatkan…” ucap Gaza sembari duduk di samping Nala.
Ia membuka folder tanpa nama, seketika semua foto saat mereka menikah muncul di sana. Entah kenapa, Nala tak menemukan itu tadi.
Pernikahan mereka tidak dirayakan besar-besaran karena bagaimanapun saat itu Ayahnya sedang sakit keras.
“Aku mau mengulang semua momen ini,” ucap Gaza dengan suara berat.
Nala hanya diam, ia melirik ke arah Gaza. Sepertinya suaminya ini keluar dari kamar mandi dalam keadaan terburu-buru, bahkan rambutnya tidak kering sempurna.
Nala memalingkan wajahnya. “Aku tidak! Sama saja aku mengulangi rasa sakit untuk kedua kalinya,” balas Nala membuat Gaza tersenyum kecut.
“Di sini…” Gaza menunjuk foto akad mereka, dimana Nala duduk di sampingnya dengan wajah datar, tak ada senyuman kala itu. “Aku ingin di foto ini, kita tersenyum.”
“Mas, aku sudah tidak mau mendengar apapun. Ini kenangan kita, tapi aku tak berniat mengenangnya suatu hari nanti,” tegas Nala.
“Jangan di kenang, aku tau ini terlalu sakit. Aku akan membuat kenangan indah antara kita setelah ini,” ucap Gaza sembari tersenyum tulus. Ia menggenggam tangan Nala.
Nala tercengan, benarkah yang berbicara di hadapannya saat ini adalah Gaza?
“Kembalilah seperti setelan awal, Mas. Itu lebih baik.” Nala kemudian beranjak dari duduknya. Setidaknya Gaza tidak bertanya kenapa Nala membuka Laptopnya.
Senyuman Gaza seketika pudar, Ia melihat punggung Nala yang berjalan menuju lemari pakaian. Istrinya bahkan tak mau berlama-lama duduk di sampingnya.
“Kamu tidak akan menemukan apapun disini,” lirih Gaza pada dirinya sendiri. Ia menutup Laptop dan berdiri sambil kembali mengeringkan rambutnya.
Nala menarik nafas lega. Lega karena Gaza tak curiga, lega karena bisa menjauh dari suaminya.
“Ini pertanda buruk! Aku gak mau lama-lama disini.” Nala berbicara pada dirinya sendiri.
Ia menarik koper dan mengeluarkan beberapa pakaiannya. Ia memastikan semuanya dengan baik dan sesuai dengan list yang ia buat siang tadi.
Gaza yang melihat itu dengan cepat melempar handuk yang ia gunakan untuk mengeringkan rambutnya.
“Mau kemana?” tanya Gaza sembari menarik pergelangan tangan Nala.
“Mas sakit!” rintih Nala sembari memegang tangannya.
Gaza terkejut, reaksinya berlebihan hingga menyakiti Nala. “Maaf, aku tidak berniat menyakiti. Hanya Saja aku takut kamu pergi, kenapa berkemas?”
“Aku mau KKN, Mas. Baju-baju ini untuk persiapan KKN,” jelas Nala dengan nada kesal.
Gaza menunduk, ia merasa bersalah. Ia menggenggam tangan Nala dan menyentuh area lengan yang sedikit memerah.
“Maaf,” bisik gaza, ia meniup pelan tangan Nala.
Nala menarik paksa tangannya. “Gak apa-apa.”
Dering telepon Nala memecahkan keheningan yang sempat terjadi. Nala menggunakan kesempatan itu untuk menjauh dari Gaza. Perubahan Gaza benar-benar membuat Nala bingung, bahkan langkahnya untuk berpisah terkadang ragu, Gaza benar-benar pandai bermain peran.
“Oh Arka, ada apa?” Suara Nala terdengar samar-samar di telinga Gaza.
Gaza berjalan pelan mendekat ke arah Nala yang sempat keluar ke balkon kamar. Suara Nala terdengar sangat bersemangat.
“Baik, besok kita ketemu di kantin kampus saja,” ucap Nala kemudian mematikan sambungan teleponnya.
Ia terkejut saat mendapati Gaza berdiri di belakangnya. Pria itu jelas menguping, bahkan Gaza tidak melakukan pembelaan atas tindakannya.
“Dia ngajak ketemuan? buat apa?” cecar Gaza.
“Teman KKN, rapat mengenai KKN.” Nala menjawab kesal, sikap Gaza menurunya berlebihan.
Nala menjauh, ia kembali ke dalam kamar dan meninggalkan Gaza. Ia kesal melihat Gaza yang terus mengikutinya, bahkan saat Nala mulai memasukkan pakaiannya ke dalam koper Gaza justru mengeluarkannya dan menata kembali ke dalam lemari.
“Mas stop!” teriak Nala, kesabarannya habis. “Kamu kenapa sih, Mas?” tanya Nala lelah.
“Kenapa? kenapa saat berbicara sama aku padamu ketus? Kenapa saat berbicara sama pria itu kamu sangat bersemangat?” tanya Gaza datar tapi tatapan matanya jelas menyiratkan ketidaksukaannya.
“Kenapa saat bersama ku, Mas tidak pernah tersenyum? tapi saat bersama Kak Anggia? Mas bahkan tertawa. Aku marah dan aku cemburu. Mas tau itu. Lalu saat ini Mas merah seperti ini apa karena Mas cemburu?” tanya Nala dengan suara bergetar menahan emosi.
Gaza diam, ia terkejut Nala mengeluarkan semua keluhan hatinya.
“Iya, aku cemburu!”
up nya jangan lame2 dong,
berase nunggu pengumuman hilal hari Raye je da ni🤭
tak kira tadi yang punya kesayangan pada nyusul tapi pke teka-teki 🤔
🤭🤭🤭
kok jadi kyk uji nyali yaaa🤣🤣🤣