Aisha Naziya Almahyra telah menjalin hubungan selama tiga tahun dengan kekasihnya yang bernama Ikhbar Shaqr Akhdan. Hubungan mereka sudah sangat jauh.
Hingga suatu hari kedua orang tua mereka mengetahuinya, dan memisahkan mereka dengan memasukan keduanya ke pesantren.
Tiga tahun kemudian, Aisha yang ingin mengikuti pengajian terkejut saat mengetahui yang menjadi ustadnya adalah Ikhbar. Hatinya senang karena dipertemukan lagi dalam keadaan telah hijrah.
Namun, kenyataan pahit harus Aisha terima saat usai pengajian seorang wanita dengan bayi berusia satu tahun menghampiri Ikhbar dan memanggil Abi.
Aisha akhirnya kembali ke rumah, tanpa sempat bertemu Ikhbar. Hingga suatu hari dia dijodohkan dengan seorang anak ustad yang bernama Ghibran Naufal Rizal. Apakah Aisha akan menerima perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Aku Pamit
Aisha keluar dari kamar dan kembali menemui ibunya. Dia berlutut dihadapan wanita itu.
"Ibu, aku mohon untuk malam ini saja aku menginap di rumah. Besok aku janji akan pergi. Aku takut keluar, sudah sangat malam," ucap Aisha dengan suara memohon.
"Terserah," ucap Ibu. Wanita itu berdiri dan masuk ke kamar. Di dalam tangisnya pecah. Dada Aisha terasa sesak mendengar tangisan sang ibu. Dia masuk ke kamar dan memukul kepalanya.
"Dasar bodoh. Kau memang anak yang tidak berguna. Bisanya hanya membuat kedua orang tau malu. Kau pembunuh," ucap Aisha pada dirinya sendiri. Dia juga memukul dadanya yang terasa nyeri, mendengar suara tangisan sang ibunda.
Di dalam kamar ibu Aisha masih menangis sambil memeluk bantal yang biasa ayah gunakan. Dia merasa sangat kehilangan suaminya.
**
Pagi menjelang, setelah melaksanakan solat subuh, Aisha keluar dari kamar dengan pakaian yang tertutup. Sangat berbeda dengan penampilan dirinya dahulu.
Aisha mengetuk pintu kamar ibunya. Beberapa kali mengetuk, tapi tidak juga dibukakan. Akhirnya dia pamit dari balik pintu saja.
"Ibu, maafkan aku. Aku tahu semua ini karena salahku. Ibu bisa menghukumku dengan apa saja. Aku terima. Termasuk mengusirku dari rumah ini. Aku akan pergi sesuai keinginan Ibu. Jaga kesehatan Ibu. Aku sangat menyayangi, Ibu. Maafkan anakmu ini, Bu. Aku akan tetap memberi kabar, walau mungkin ibu tidak menginginkan semua ini," ucap Aisha dengan suara serak menahan tangis.
Aisha menyeret kopernya menuju halaman rumah. Taksi yang dia pesan telah menunggu. Gadis itu selama ini bekerja sambil kuliah. Dia memiliki uang tabungan yang cukup. Uang itu awalnya untuk menambah biaya pernikahan kelak.
Aisha memandangi rumahnya hingga hilang dari pandangan. Air mata jatuh membasahi kedua pipinya.
"Aku hanya bisa menyesali kegagalan yang aku alami. Aku yang seharusnya bisa menjadi seseorang yang kalian banggakan, justru mengecewakan kalian. Hanya kata maaf yang bisa aku ucapkan atas kegagalanku untuk membahagiakan kalian. Beribu kata maaf yang aku ucapkan kepada kalian, tidak akan pernah bisa menghapus segala kesalahan yang pernah aku lakukan. Aku yang selama ini sibuk dengan dunia sendiri, hanya bisa menyesali apa yang telah aku lakukan selama ini. Aku lupa bahwa ada yang lebih penting dibandingkan kebahagiaan diriku sendiri yaitu kebahagiaan kalian berdua. Ayah dan Ibu, maafkan anakmu ini."
Dari balik jendela ibu mengintip kepergian putrinya. Dia memegang dadanya yang terasa nyeri.
"Maaf, Nak. Untuk saat ini, perpisahan mungkin jalan terbaik bagi kita. Semua untuk mengobati luka hati ini. Bukannya ibu tidak sayang denganmu, tapi ibu tidak bisa harus berdekatan denganmu. Setiap melihatmu, ibu teringat ayah. Doa ibu tetap menyertai setiap langkahmu. Semoga kau bertaubat dan mendapat hidayah," ucap Ibu dalam hati.
Aisha turun dari taksi dan meminta supir menunggu. Dia masuk ke pemakaman umum. Duduk di samping kuburan sang ayah.
"Ayah, walau pun kata maaf dari mulutku tidak ada artinya, tapi aku akan tetap mengucapkan itu setiap saat. Maafkan aku, ayah. Maafkan anakmu yang penuh dosa ini. Tidak ada kata yang bisa ku ucapkan selain maaf, maaf dan maaf atas semua yang aku lakukan. Aku akan pergi. Semoga nanti kembali setelah aku berubah seperti yang ayah dan ibu inginkan. Tenang di sana, Ayah," gumam Aisha pada dirinya sendiri sambil memeluk nisan sang ayah.
Aisha kembali masuk ke mobil dan meminta supir menjalankan mobilnya menuju terminal. Dari sana dia akan pergi ke luar kota. Dia akan menetap di sebuah pesantren. Dengan uang simpanan yang dia miliki, Aisha yakin bisa hidup di pesantren. Dia akan tetap bekerja dengan berjualan online. Aisha masuk ke pesantren itu. Dia diterima dengan baik.
Awal di pesantren, Aisha merasa sangat sulit beradaptasi. Namun, dia tidak akan menyerah, tekadnya telah bulat untuk berubah menjadi yang lebih baik.
"Untuk sosok yang selalu berusaha memberikan yang terbaik untukku, maaf karena belum bisa menjadi anak yang bisa kalian banggakan. Sebagai anak, aku tidak tahu ungkapan maaf apa yang harus kulontarkan. Aku juga tak tahu dari mana harus memulai pembicaraan. Semoga maaf ayah dan ibu masih tersisa untuk anakmu yang terlalu banyak kekurangan ini."
"Ibu dan Ayah, rasa sakit yang aku sebabkan padamu membuatku sangat sedih. Aku benar-benar minta maaf dan aku meminta pengampunan Ibu dan Ayah. Setiap tetes airmatamu biar jadi sesalku serta pengingat bagiku untuk berusaha memperbaiki diri sebagai sosok yang pantas kau sebut buah hati. Hatiku sakit karena aku membuat hatimu sakit, Ibu dan Ayah. Aku minta maaf!"
***
Hari-hari terus berjalan. Sudah tiga tahun lamanya Aisha tinggal di pesantren. Penampilan dan cara tutur katanya telah jauh berubah.
Selama di pesantren, dia selalu mengabarkan ibunya. Hubungan mereka telah kembali membaik. Jika lebaran, ibu yang datang berkunjung, gadis itu belum mau kembali ke desa. Walau warga sudah mulai melupakan semua kisahnya.
Sering ustad di pesantren menjodohkan Aisha dengan anak mereka, tapi gadis itu menolak dengan halus. Dia masih takut memulai berhubungan dengan pria. Aisha juga takut, saat mereka tahu tentang masa lalunya.
Ibu dan Aisha telah memutuskan pindah ke kota yang cukup jauh dari dulu mereka tinggal. Dari hasil penjualan tanah dan rumah, mereka membeli rumah yang mungil.
Di sini tidak ada yang mengenal mereka. Setelah kembali dari pesantren, Aisha rajin ke mesjid mengikuti pengajian. Bisnis online nya makin besar dan terkenal. Dengan uang itu Aisha bisa menghidupi ibunya.
"Bu, aku ingin ikut pengajian di mesjid A. Apa ibu mau ikut?" tanya Aisha.
"Kamu saja pergi, Nak," jawab ibu.
"Baiklah, Bu. Hati-hati di rumah. Lauk dan nasi telah Aisha masak. Ibu makanlah," ujar Aisha.
"Terima kasih, Nak. Ibu bahagia sekali melihat perubahan kamu saat ini. Semoga kamu istiqomah dengan penampilan saat ini," doa ibu.
Aisha saat ini telah menggunakan hijab dan pakaian tertutup. Dia juga selalu mengikuti pengajian di setiap mesjid yang dia tahu. Seperti sore ini, dengan menggunakan motor dia pergi pengajian ke kota.
Aisha memarkirkan motornya di halaman mesjid. Ibu-ibu yang mengenal Aisha karena sering ikut pengajian, tersenyum padanya.
Aisha masuk ke mesjid dan duduk di sudut paling belakang. Ibu-ibu itu mengatakan ustad yang akan memberi tausiah kali ini masih sangat muda dan tampan.
"Ustad nanti itu sangat muda dan tampan. Cocok sama Nak Aisha," ucap salah seorang ibu, membuat Aisha tersenyum.
Tidak berapa lama terdengar suara salam. Aisha merasa tidak asing dengan suara itu. Dia memandang ke arah pintu masuk. Jantungnya berdetak lebih cepat, melihat siapa yang masuk. Seorang ustad muda yang sangat dia kenal.
...----------------...