S 2
"Aku Punya Papa." Tiga kata yang selalu diucapkan Farzan bocah berusia 6 tahun itu, ketika teman-teman seusianya mengolok dirinya tidak punya papa.
Ibu mana yang tidak sakit hati melihat putranya yang selalu diolok, namun Zana hanya bisa diam karena dia tidak bisa menunjukkan siapa ayah dari anaknya.
Hingga ketika Farzan dinyatakan mengidap Pneumonia, penyakit yang bisa mengancam nyawanya, membuat dunia Zana seakan runtuh. Berbagai cara sudah ia lakukan untuk pengobatan putranya, namun hasilnya selalu nihil bahkan semua yang ia punya telah habis terjual. Dan pada akhirnya, dengan terpaksa Zana kembali ke kota kelahirannya untuk mencari sosok ayah biologis putranya, yaitu laki-laki yang telah menghancurkan masa depannya 7 tahun lalu, dengan harapan laki-laki itu bisa menolong putranya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3. KENAPA MALAM ITU KAU PERGI?
"Sudah berapa lama dia sakit?" Tanya Farhan setelah beberapa saat mobilnya melaju meninggalkan pelataran perusahaannya.
"7 bulan. Dokter menyarankan agar membawanya berobat keluar Negeri tapi aku tidak punya biaya untuk itu. Biaya pengobatannya selama 6 bulan di rumah sakit saja aku sampai harus berhutang bahkan menjual semua yang aku punya." Jawab Zana dengan lirih. Sungguh ia merasa malu menyebutkan kemiskinannya pada laki-laki yang sangat dibencinya itu, namun ini terpaksa ia lakukan dan menyampingkan rasa malu demi putranya.
Farhan seketika menghela nafas kasar mendengar ucapan Zana. Ingin sekali ia mengutuk dirinya sendiri. Ia yang sejak kecil hidup dengan serba kemewahan, namun seorang anak kecil yang merupakan darah dagingnya hidup dalam kemiskinan diluar sana, bahkan membayangkan bagaimana kehidupan putranya selama ini ia merasa tidak sanggup. Yang jelas putranya pasti sangat menderita diluar sana.
"Kau tidak perlu khawatir soal itu, aku akan melakukan yang terbaik untuknya. Kita tidak perlu membawanya ke luar Negeri, tapi aku akan mendatangkan langsung Dokter dari luar Negeri untuk putraku." Ujar Farhan tanpa mengalihkan perhatiannya pada jalanan didepannya.
Merasa sudah tak sabar untuk bertemu dengan putranya, ia menambah kecepatan laju mobilnya menuju tempat yang sudah diberitahukan Zana sebelum meninggal perusahaan. Sementara Zana sepanjang jalan hanya terdiam. Sungguh ia tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi, kini ia duduk bersebelahan dalam satu mobil dengan laki-laki yang tidak ingin dilihatnya lagi.
Tak berapa lama kemudian, mobil Farhan pun telah berhenti didepan sebuah rumah kontrakan yang sangat sederhana. Farhan ternganga melihatnya. Lagi, ia merasa tertampar dengan kesombongannya selama ini. Ia yang selalu membatasi pergaulannya dengan orang-orang yang tidak selevel dengannya, tetapi putranya hidup diantara orang-orang itu.
Seorang wanita muda yang berdiri didepan kontrakan Zana, langsung menghampiri Zana begitu melihatnya turun dari mobil bersama seorang lelaki. Dia adalah Nani, salah satu penghuni kontrakan dikawasan tempat Zana mengontrak.
"Syukurlah akhirnya Mbak Zana pulang, aku dari tadi menunggu kepulangan Mbak." Ujarnya dengan wajah yang nampak cemas.
"Memangnya ada apa menungguku pulang?" Tanya Zana bingung.
"Tadi Farzan merasa sesak dan tak lama Farzan pingsan. Bu Nini dan suaminya membawanya ke rumah sakit."
"Apa?" Zana menjadi syok, tubuhnya terhuyung kebelakang. Hampir saja ia terjatuh jika Farhan tidak dengan cepat menangkapnya. Menyadari tubuhnya berada dalam dekapan laki-laki itu, dengan cepat Zana menjauh.
"Di rumah sakit mana mereka membawanya?" Tanya Farhan dengan tidak sabar. Ia tidak kalah syok dari Zana mendengar putranya dilarikan ke rumah sakit.
"Rumah sakit Kemayoran."
Tanpa membuang waktu lagi, Farhan langsung menarik tangan Zana kembali masuk ke mobilnya dan segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit tersebut.
Tak lama kemudian, mereka pun sampai di rumah sakit. Zana turun lebih dulu dari mobil dan diikuti oleh Farhan dibelakangnya. Laki-laki itu mengikuti Zana dengan langkah cepat menuju ruangan dimana putranya berada saat ini.
Bu Nini yang melihat kedatangan Zana, dengan cepat berdiri dari tempat duduknya lalu menghampiri wanita itu.
"Bu, Farzan ada dimana?" Tanya Zana dengan cemas bercampur takut.
"Farzan masih ditangani oleh dokter?" Jawab bu Nini sambil menunjuk pintu ruangan. Dimana Farzan mendapat penanganan dokter dan beberapa orang suster didalam sana.
Zana menoleh menatap pintu ruangan dengan mata berkaca-kaca, ia benar-benar takut terjadi sesuatu pada putranya.
"Zana, maafkan Ibu tidak bisa menjaga Farzan dengan baik. Tapi sungguh Ibu tidak tahu bagaimana Farzan bisa merasa sesak dan setelah itu dia tidak sadarkan diri." Bu Nini tampak gemetar, ia takut disalahkan atas apa yang terjadi pada Farzan.
"Aku yang seharusnya minta maaf, Bu. Aku tidak memberitahu Ibu kalau Farzan memiliki penyakit yang bisa kambuh kapan saja."
Bu Nini pun sedikit merasa lega. Ternyata Farzan memang sedang sakit, bocah itu pingsan bukan karena kelalaiannya. Iapun mengajak Zana untuk duduk dan menenangkannya.
Sementara itu Farhan yang berdiri didepan pintu ruang rawat putranya. Menatap kedalam dari kaca persegi pada pintu ruangan itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Namun, yang jelas ada rasa senang mengetahui dirinya telah memiliki seorang putra yang bernama Farzan.
Beberapa saat kemudian, pintu ruangan itu akhirnya terbuka. Farhan dengan segera mengusap genangan disudut matanya, sementara Zana dengan cepat beranjak dari tempat duduknya menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu.
"Dokter, bagaimana keadaan putraku?" Tanya Zana dan Farhan serentak. Membuat keduanya saling menatap dalam beberapa detik.
"Dok, bagaimana keadaan putraku, apa dia baik-baik saja?" Ulang Farhan dengan tak sabar menunggu jawaban dokter.
"Keadaannya cukup serius, dan sekarang pasien sedang tertidur karena pengaruh obat." Dokter itu nampak menghela nafas berat. Merasa prihatin dengan Farzan yang masih kecil tetapi harus menanggung penyakit yang bisa mengancam nyawa bocah malang itu.
"Dok, tolong lakukan yang terbaik untuk putraku. Jika perlu datangkan Dokter ahli dari luar Negeri, masalah biaya Dokter tidak perlu khawatir. Asalkan putraku bisa sembuh berapapun akan saya bayar!" Lelaki yang dulu terkenal arogan itu kembali menunjukkan sifat aslinya yang sempat hilang setelah kejadian yang dialaminya bersama Zana di gubuk itu. Ia nampak marah dengan keadaan, ia merasa tak sabar dengan kondisi putranya yang sedang tidak baik-baik saja.
"Baiklah jika itu yang Anda inginkan. " Ujar dokter itu kemudian bergegas pergi untuk melakukan apa yang diperintahkan oleh Farhan.
Setelah dokter berlalu, Farhan dan Zana serentak melangkah masuk kedalam ruangan, mereka seolah berebut untuk lebih dulu menghampiri putra mereka.
"Farzan, ayo bangun Nak. Mama sudah menepati janji Mama. Ayo buka matamu dan lihat siapa yang Mama bawa." Ujar Zana sambil mengusap rambut putranya. Namun, Farzan sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan membuka mata.
"Kalau kamu tidak mau bangun, Mama akan menyuruh Papamu pergi dan Kalian tidak akan pernah bertemu lagi." Zana mengancam putranya dengan suara yang keras berharap putranya itu akan bangun. Ia sudah menepati janjinya untuk membawa laki-laki yang sangat ingin ditemui putranya tetapi Farzan seperti enggan untuk membuka mata.
"Apa yang kau katakan?" Farhan nampak tak terima dengan ancaman Zana pada putranya.
"Tidak Nak, jangan dengarkan Mamamu. Papa disini ayo bangun, Papa tidak akan pergi kemanapun, kita akan terus bersama-sama." Ujarnya sambil menggenggam erat tangan mungil putranya yang terasa dingin. Ia menatap lekat wajah putranya dan ia akui bahwa wajah bocah laki-laki yang terbaring tak sadarkan diri itu sangat mirip dengannya.
Hingga beberapa menit berlalu Farzan tak kunjung membuka matanya, membuat Zana dan Farhan hanya bisa pasrah menunggu putra mereka bangun.
Sesekali Farhan melirik wanita yang hingga detik ini belum ia ketahui namanya. Ada beberapa pertanyaan yang sepanjang tujuh tahun ia nantikan jawabannya, dan sekaranglah waktunya ia bertanya.
"Kenapa malam itu kau pergi? Kenapa tidak menungguku bangun? Apa kau tidak berpikir untuk meminta pertanggungjawaban ku?"
"Tidak!" Jawab Zana dengan singkat dan tegas.
"Kenapa?"
"Karena aku sangat membencimu!"
Jawaban telak yang diberikan wanita itu membuat Farhan terdiam. Kini ia berpikir, jika saja putranya sedang tidak sakit pasti wanita itu tidak akan pernah datang mencarinya, dan ia tidak akan pernah tahu telah memiliki seorang putra dan selamanya ia akan hidup dalam rasa bersalah karena sudah merenggut kehormatan seorang gadis yang tiba-tiba saja menghilang entah kemana, tanpa sempat ia menjelaskan apa sebab peristiwa malam kelam didalam gubuk itu bisa terjadi.
Sesaat ruangan itupun hening. Zana terus mengusap kepala Farzan berharap putranya itu akan segera bangun, ia benar-benar merasa tidak nyaman berada dalam satu ruangan dengan laki-laki yang sangat dibencinya. Meskipun laki-laki itu adalah ayah putranya tetapi baginya laki-laki itu adalah laki-laki paling brengsek yang pernah ditemuinya.
Hingga beberapa saat kemudian, apa yang dilakukan Zana pun membuahkan hasil. Farzan akhirnya terbangun, bocah berusia enam tahun itu perlahan membuka matanya.
"Ma," panggilnya dengan suara yang lemah ketika tatapannya tertuju pada mamanya. Dan saat merasakan genggaman yang erat ditangan kanannya ia menoleh, keningnya mengkerut melihat keberadaan laki-laki asing itu. Namun, ketika mendapati wajah laki-laki itu mirip dengannya, iapun mengukir senyum diwajahnya yang pucat.
"Papa?"
"Iya Nak, ini Papa." Ucap Farhan tersenyum, ia segera mengusap sudut matanya yang berair. Ada perasaan haru mendengar Farzan memanggilnya dengan sebutan papa.
Dengan masih tersenyum, Farzan menoleh menatap mamanya, " Yang aku katakan waktu itu tidak salah kan, Ma. Papaku pasti sangat tampan." Ucapnya dengan bangganya.
Zana menanggapinya dengan senyum tipis yang hanya beberapa detik saja, kemudian mengalihkan tatapannya kearah lain. Ada perasaan takut yang kini menyergapnya, takut jika laki-laki itu akan mengambil Farzan darinya.
"Kau juga sangat tampan, Sayang." Farhan tak dapat lagi membendung perasaannya, ia langsung memeluk putranya kemudian menghujani wajah yang pucat itu dengan kecupan hangat yang bertubi-tubi.
Hingga terdengar dering ponselnya didalam saku jasnya, Farhan pun mengurai dekapannya dari tubuh mungil Farzan, kemudian mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku jasnya.
"Keyla," gumamnya, namun masih dapat didengar oleh Farzan. Bocah laki-laki itu menggerakkan bola matanya nampak berpikir, apakah nama yang barusan disebut oleh papanya adalah wanita lain papanya?
"Pa,"
"Sebentar ya, Papa angkat telepon dulu." Farhan hendak berdiri, namun tangannya ditahan oleh Farzan.
"Jangan pergi lagi ya, Pa. Papa harus janji akan tetap disini menemani aku." Farzan menatap papanya dengan memohon.
Farhan menatap layar ponsel dan putranya bergantian. Sesaat ia menjadi bingung, Keyla menelponnya pasti untuk mengingatkan bahwa malam ini mereka ada janji untuk makan malam bersama. Tetapi putranya, ini adalah pertemuan pertamanya.
.
.
.
TBC.......✨✨✨
Tinggalkan like dan komennya dong, terimakasih. ☺️🙏🙏🙏