Aku Punya Papa
"Gerimis, aku harus cepat sampai rumah sebelum hujan lebih deras." Ujar seorang gadis yang tengah mengayuh sepedanya.
Namanya adalah Zana, ia baru saja pulang dari tempat kerjanya sebagai pelayan cafe.
Zana mengayuh sepedanya dengan cepat kala rintik-rintik hujan itu semakin deras berjatuhan, membuat jarak pandangnya terhalang dibawah langit malam beradu dengan derasnya hujan. Hingga akhirnya iapun memilih mencari tempat untuk berteduh sampai hujan mereda.
Disebuah rumah tak berpenghuni dan bisa dibilang seperti gubuk karena terbuat dari papan yang sudah sangat rapuh, disitulah Zana singgah untuk berteduh. Namun, ia tidak masuk kedalam melainkan hanya berdiri di teras gubuk tersebut.
Pakaiannya sudah setengah basah, ia mengusap-usap kedua lengannya untuk menciptakan rasa hangat dari hawa dingin yang menyelimuti kulitnya.
Dari kejauhan Zana melihat cahaya yang berasal dari lampu sebuah mobil. Ia memperhatikan pergerakan mobil itu yang perlahan melambat hingga berhenti tepat didepan gubuk tempat ia berteduh.
Samar-samar dari derasnya guyuran hujan yang sesekali diterangi kilatan-kilatan bisu, Zana melihat seorang laki-laki yang turun dari mobil itu dan terlihat tampak geram.
"Sial! Aku harus cepat sampai ke rumah sakit untuk mendapatkan obat penawar, tapi mobil sialan ini malah mogok disini!"
Dan benar saja, meski hujan sangat deras tetapi Zana masih dapat mendengar umpatan laki-laki itu yang kesal karena ternyata mobilnya sedang mogok.
Zana langsung mengalihkan tatapannya kearah lain, ketika laki-laki itu menoleh menatap kearahnya. Hawa dingin semakin membuat tubuhnya bergidik kala dari ekor matanya ia menangkap siluet laki-laki itu melangkah cepat kearahnya.
"Apa ini rumahmu?"
Zana tersentak dan refleks mengelus dadanya mendengar pertanyaan laki-laki itu yang telah berdiri disampingnya, "Bukan, ini rumah tak berpenghuni. Aku hanya berteduh disini." Jawabnya dengan acuh, dan tanpa melihat kearah lawan bicaranya. Dengan gerakan pelan Zana memutar tubuhnya membelakang laki-laki itu.
Dalam beberapa detik tak terdengar lagi suara laki-laki itu membuat Zana memberanikan diri untuk menoleh, ia bernafas lega mendapati laki-laki itu sudah tak berada dibelakangnya lagi.
Namun, kelegaannya hanya beberapa saat karena ternyata laki-laki itu berada didepan teras, lebih tepatnya dibawah atap yang mengalirkan air hujan yang berjatuhan tepat diatas kepalanya.
'Apa dia sudah tidak waras? Cuaca sangat dingin, tapi dia malah hujan-hujanan.' Celetuk Zana dalam hati.
Hingga beberapa saat sengaja membiarkan tubuhnya kehujanan, laki-laki itu kembali menghampiri Zana dan bertanya, "Apa kau sudah menikah?"
"Belum," jawab Zana dengan singkat.
Terbit senyum tipis di wajah tegang laki-laki itu, lalu mengedarkan pandangannya ke area sekeliling untuk memastikan jika tidak akan ada siapapun ditempat itu selain dirinya dan gadis yang sedang berteduh itu.
Setelah memastikan jika ditempat itu tidak ada siapapun, laki-laki itu dengan cepat menggenggam pergelangan tangan Zana, dan sebelum gadis itu melakukan pemberontakan ia sudah lebih dulu menariknya masuk kedalam gubuk itu. Sesuatu yang sedang bergejolak dalam dirinya benar-benar sudah tidak bisa ia tahan. Padahal hujan sangat deras namun tidak bisa menghilangkan rasa panas ditubuhnya. Jika saja mobilnya tidak mogok, pasti ia sudah sampai di rumah sakit dan segera mendapat penawar dari obat yang membangkitkan jiwa kelelakiannya saat ini.
"Lepas! Apa yang kau lakukan?" Dengan kuat Zana menarik pergelangan tangannya dari genggaman laki-laki itu. Tubuhnya mendadak gemetar karena tiba-tiba saja laki-laki asing itu menariknya masuk kedalam gubuk. Terlebih melihat sepasang mata didepannya menatapnya dengan tatapan lapar.
"Aku membutuhkan bantuanmu."
"Maaf, aku tidak bisa membantu orang asing!" Zana menatap laki-laki itu dengan tajam, kemudian membalikkan badannya hendak keluar dari gubuk itu. Namun, baru selangkah tangannya kembali ditarik dan kali ini ia terhempas ke dinding karena tarikan itu cukup kuat.
Seolah gelap mata laki-laki itu berjalan dengan cepat menghampiri Zana dan mendorong gadis itu hingga terjatuh ke lantai yang beralas karpet lusuh, kemudian langsung menindihnya.
Zana terkejut, ia memberontak berusaha melepaskan dirinya dari laki-laki yang menindihnya ini sambil berteriak berharap akan ada yang menolongnya. Namun, tanpa diduga laki-laki itu malah menciumnya dengan beringas sehingga ia kesulitan untuk bersuara.
Zana terus melakukan perlawanan, akan tetapi tenaganya tidak cukup kuat untuk melawan. Semakin ia berontak laki-laki itu malah semakin beringas, sampai pada akhirnya Zana hanya bisa menangis, pasrah menerima nasibnya yang tragis.
Saat benda pusaka laki-laki itu menembus dinding pertahanannya, air mata Zana mengalir begitu saja. Hujan yang semakin deras beradu dengan petir yang menggelar serta kilat yang menyambar diluar sana, membungkam rintihan Zana didalam gubuk itu.
Hingga lamanya penyatuan paksa itu, hujan pun berhenti bersamaan dengan tercapainya puncak kenikmatan yang diperoleh laki-laki itu. Ia langsung menjatuhkan tubuhnya di samping Zana.
"Aku lelah, aku ingin tidur sebentar. Tapi kau jangan pergi, tunggu aku bangun karena kita perlu bicara." Lirih laki-laki itu sebelum akhirnya memejamkan mata.
Namun, rasa sakit yang dirasakan Zana membuatnya tak dapat mendengar apapun lagi. Yang ada dalam pikirannya hanya mengutuk laki-laki yang telah menodainya itu.
Dengan langkah tertatih Zana memunguti pakaiannya yang berserakan dilantai, lalu memakai nya. Setelah itu ia menoleh menatap wajah lelap laki-laki itu yang begitu tenang seolah tidak terjadi apapun.
"Aku sangat membencimu! Aku berharap Tuhan tidak mempertemukan Aku lagi denganmu. Laki-laki brengsek!" Zana mengumpat laki-laki itu dengan penuh amarah.
Zana pun mengayun langkah dengan tertatih keluar dari gubuk itu. Di bawah langit malam yang gelap gulita, ia mengendarai sepedanya dengan perasaan marah dan putus asa bercampur menjadi satu. Zana merasa, masa depannya telah hancur dalam waktu yang singkat.
Sesampainya di rumah, Zana langsung menuju kamar mandi. Ia mengguyur seluruh tubuhnya sambil menangis pilu, ia terus menggosok tubuhnya seperti menyikat pakaian agar noda nya terkikis. Namun, nyatanya bagaimanapun ia berusaha kesuciannya yang telah ternoda tentu tidak akan bisa kembali seperti semula.
Setelah kejadian itu sikap Zana yang terkenal humoris mendadak menjadi pendiam dan terkesan menutup diri. Kendati demikian, ia tetap harus bekerja untuk membantu keuangan keluarga dan mencoba melupakan kejadian di gubuk itu. Hingga tanpa terasa waktu satu bulan telah berlalu...
Hoek... Hoek... Hoek...
Suara Zana yang tengah muntah-muntah dikamar mandi membuat seisi rumah menjadi heboh pagi itu.
Ayah, ibu dan adik laki-lakinya langsung berhambur menuju kamar mandi dan menggedor pintu kamar mandi itu hingga Zana keluar dengan wajah yang nampak pucat.
"Ya ampun Zana, kamu pucat sekali."
Kedua orang tua Zana langsung membawa putrinya itu ke klinik terdekat untuk memeriksa kondisinya. Mereka khawatir Zana terkena penyakit yang serius karena ini adalah pertama kalinya Zana mengalami hal semacam itu.
Namun, dugaan mereka ternyata lebih parah daripada apa yang mereka kira. Zana tidak sakit, melainkan sedang mengandung 3 Minggu.
Kedua orang tua Zana tentu tidak mau menanggung malu karena putri mereka hamil tanpa suami, demi menutupi aib keluarga mereka pun mengusir Zana dari rumah.
Disinilah Zana memulai kisahnya bersama janin yang sedang tumbuh di rahimnya, ia mengasingkan diri keluar kota dan akan membesarkan anaknya seorang diri karena bagaimanapun janin yang sedang dikandungnya itu adalah darah dagingnya sendiri dan tidak bersalah apapun.
HINGGA WAKTU TUJUH TAHUN PUN BERLALU...
.
.
.
Disebuah rumah sakit. Zana duduk ditepi ranjang dimana putranya, Farzan terbaring tak sadarkan diri.
"Sayang, ayo bangun jangan buat Mama takut," lirih Zana sambil mengusap lembut pipi Farzan. Wajahnya terlihat khawatir dan cemas menatap wajah putranya yang pucat dan bibirnya nampak membiru.
Beberapa saat lalu, beberapa tetangganya menggotong Farzan pulang yang mereka temukan pingsan dipinggir jalan sepulang sekolah. Ini bukan pertama kalinya Farzan mengalami hal itu, sejak tujuh bulan terakhir putranya menderita sakit yang cukup serius. Pneumonia, penyakit yang menyerang paru-paru Farzan dan bisa saja mengancam nyawa putranya jika tidak mendapat penanganan yang tepat.
"Aku punya Papa." Igauan Farzan membuat air mata Zana menetes. Sekarang ia tahu, putranya itu pingsan pasti karena sehabis bertengkar lagi dengan teman-temannya yang suka mengolok putranya itu tidak punya papa.
Ibu mana yang tidak sakit hati melihat putranya selalu diolok, namun Zana hanya bisa diam karena dia tidak bisa menunjukkan siapa ayah dari putranya.
Pintu ruangan terbuka, seorang dokter wanita yang menangani Farzan masuk ke ruang rawat dengan wajah yang sedikit nampak cemas.
"Bu Zana, apa kita bisa bicara sebentar?"
Zana mengangguk, ia berdiri dari tempat duduknya kemudian mengajak dokter itu untuk duduk di sofa yang tersedia di ruangan itu.
"Begini, Bu. Farzan sudah menjalani pengobatan rutin selama 6 bulan, namun keadaannya belum juga membaik. Tadi saya dan beberapa tim Dokter lainnya sudah mendiskusikan masalah ini, kami menyarankan agar Farzan dibawah ke luar negeri untuk menjalani pengobatan di sana. Di sana ada seorang Dokter ahli yang bisa menangani penyakit yang diderita Farzan. Namun, seperti yang kita tahu biayanya pasti tidak sedikit." Tutur dokter itu. Ia terpaksa mengatakannya. Sebenarnya ia merasa kasihan pada Zana dan juga Farzan. Menurut informasi yang didapatnya, Zana adalah seorang ibu tunggal yang hidup di kota ini tanpa sanak saudara.
Zana tertunduk lemas. Membawa putranya berobat ke luar negeri tentu ia tidak akan sanggup. Untuk pengobatan putranya saja di rumah sakit ini ia menghabiskan seluruh gajinya sebagai kasir sebuah minimarket dan terkadang ia masih harus mencari pinjaman ke beberapa teman, bahkan ia sudah menjual semua harta bendanya. Namun, putranya tak juga kunjung sembuh.
"Dok, akan saya usahakan." Ujar Zana berusaha terlihat tegar meskipun dalam hatinya kini terasa remuk redam.
"Baiklah, jika ada yang ingin ditanyakan jangan sungkan untuk menemui saya."
Zana mengangguk, kemudian mengantar dokter itu sampai ke depan pintu. Setelah dokter itu berlalu, Zana kembali menutup pintu ruangan seiring menghembuskan nafas panjang. Kini kehidupannya terasa semakin berat.
"Mama,"
Zana menoleh, ia langsung berlari kearah ranjang pasien begitu melihat kedua mata putranya perlahan terbuka.
"Syukurlah, akhirnya kamu sadar juga, Mama khawatir banget." Zana menunduk memeluk putranya.
"Apa disini masih sakit?" Tanya Zana sambil mengusap dada putranya.
"Masih sedikit sesak, Ma."
Kedua mata Zana nampak berkaca-kaca mendengar jawaban putranya. Jika saja bisa, ia akan meminta kepada Tuhan untuk memindahkan penyakit putranya kepada dirinya saja.
"Ma, aku minta maaf karena sudah tidak menuruti perintah Mama. Tadi aku bertengkar lagi, soalnya aku kesal karena mereka selalu mengejek aku tidak punya Papa. Padahal sebenarnya aku punya Papa, iya kan Ma?"
Zana terdiam, hal yang selalu ia lakukan bila Farzan bertanya tentang papanya. Meski usia Farzan baru 6 tahun, tetapi putranya itu tidak seperti bocah pada umumnya yang dengan mudah bisa dibohongi. Farzan seakan mengerti jika papa dan mamanya berpisah karena suatu hal dan akan kembali bertemu disaat waktu yang tepat nanti.
"Sayang, dengarkan Mama ya," Zana mengusap rambut putranya dengan lembut. "Kamu tidak perlu memikirkan soal itu, yang perlu kamu pikiran adalah tentang kesehatan kamu. Farzan harus semangat untuk sembuh, dan Mama berjanji akan membawa Kamu untuk bertemu dengan Papa."
Seketika kedua mata Farzan berbinar, "Mama serius mau bawa aku ketemu sama Papa?" Tanyanya antusias.
Zana mengangguk kepalanya, apapun akan ia lakukan demi putra semata wayangnya. Meskipun harus bertemu kembali dengan laki-laki brengsek yang telah menghancurkan masa depannya.
Dulu ia pernah meminta kepada Tuhan agar tidak dipertemukan lagi dengan laki-laki itu. Namun, karena keadaan kini dirinyalah yang akan mencari laki-laki itu.
.
.
.
Holaaaa..... 🤗🤗🤗
Yang mampir tinggalkan like dan komennya dong karena itu sangat berharga buat author, dan mohon dukungannya ya karena novel ini sedang mengikuti event, terimakasih. 🙏🙏
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Kak Eja🌜
baru mampir nih tor
jangan lupa mampir juga ya ke novelku
MENIKAHI WANITA MALAMKU
2024-07-26
0
sherly
lagian wkt tu si cowok ya dah suruh tunggu kenapa dirimu malah kabur.. setidaknya tau nama atau apa kek ..zana yg malang
2023-11-20
1
𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕
awal yg menarik bikin mewek aja 😭😭😭😅😅😅
2023-11-10
0