Zafa tidak pernah menyangka, hidupnya yang mulai tertata harus direcoki oleh seorang gadis tengil yang tiba-tiba muncul dalam hidupnya.
"Jangan panggil aku, Star jika aku tidak bisa mendapatkannya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Cafe
Sore menjelang, meski suasana hati Star sedang buruk. Dia tetap berangkat menuju cafe Rookies. Tempat dimana Zafa mengajaknya bertemu.
Star tiba dengan motor sport kesayangannya pukul 6 kurang 15 menit. Dia membuka pintu cafe dengan pandangan mengedar. Star memutuskan untuk duduk di area outdoor karena dia ingin merokok.
Hatinya sedang lelah saat ini. Jika saja tidak ada kejadian tadi, mungkin sekarang hubungannya dengan ayah sambungnya itu.
Star sebenarnya tahu jika Larry bukan ayahnya sejak dia berusia 12 tahun. Dia tak sengaja menemukan buku harian milik ibunya. Dari sana semua rahasia keluarganya terkuak.
Meski begitu dulu Star sangat menyayangi Larry karena Larry begitu baik padanya. Akan tetapi semenjak menikah dengan Lucresia, Larry berubah pada Star. Hal itulah yang membuat Star mengambil langkah nekat untuk mengusir Larry dan Lucresia.
"Kau sudah lama menunggu?" tanya Zafa yang tiba-tiba berdiri di depan Star. Mata tajamnya memandangi wajah cantik Star. Zafa bisa melihat bekas tangan di pipi putih gadis itu.
Sorot mata Star menggambarkan kesedihan, tapi Zafa mencoba bersikap tak peduli. Itu bukan urusannya.
"Anda sudah datang." Star menyambut dengan kaku. Dia tak menyangka Zafa tiba-tiba berdiri di depannya.
"Jika aku belum datang, aku tidak akan mungkin ada di depanmu, Nona."
"Star. Namaku Starlight, Profesor Zafa"
"Tidak perlu terlalu formal. Apa yang ingin kamu tanyakan tadi?" tanya Zafa. Dia duduk di depan Star.
Star mengambil laptopnya dan membukanya di hadapan Zafa. Zafa masih terus menatap Star. Tepatnya menatap wajah Star yang sedikit bengkak di pipi kanannya.
"Tunggu di sini sebentar. Kau sudah memesan minuman?" tanya Zafa. Star menggeleng.
Tanpa banyak bicara Zafa memesan segelas coklat dingin dan Secangkir espresso. Dia juga meminta pada salah satu karyawannya untuk mengambilkan kotak obat.
Cafe itu sebenarnya milik Zafa yang di kelola oleh orang kepercayaannya. Namun, sejak pindah ke Toronto, dia sering mengunjungi cafe itu. Dan semua karyawan sudah sangat mengenal Zafa.
"Ini, Tuan."
"Terima kasih, Eric."
"Sama-sama, Tuan."
Zafa keluar dan kembali duduk di depan Star. Star masih fokus pada laptopnya karena dia tak ingin terlihat terlalu bodoh di depan Zafa. Pria yang sejak pagi membuat jantungnya berdebar kencang.
"Ini, obati luka di wajahmu. Aku tidak mau, orang-orang mengira aku melakukan kekerasan padamu."
Star mengalihkan tatapannya dari laptop. Dia tersenyum saat Zafa memberinya perhatian.
"Sebenarnya aku sudah terbiasa begini, tapi terima kasih sudah perhatian padaku."
"Aku hanya tidak mau orang-orang salah paham denganku," tegas Zafa.
"Ya, baiklah. Terserah anda saja."
Star lalu membuka kotak obat itu. Dia mengambil cermin kecil dan melihat wajahnya. Sudut bibirnya terluka dan ada sisa darah di sana. Dia seperti Vampire yang baru selesai menghisap darah.
"Bagian mana yang kau tidak paham," tanya Zafa sembari menggeser laptop Star.
"Itu, bagian paling bawah," kata Star sambil mengoleskan salep di sudut bibirnya.
Pesanan Zafa kemudian datang. Star lagi-lagi dibuat terpukau dengan pesona Dosen sekaligus Profesor muda itu.
Zafa mulai menerangkan apa yang Star tak mengerti. Namun, Star bukannya mendengarkan penjelasan Zafa, tapi dia justru terpaku menatap Zafa yang serius menerangkan materinya.
"Apa kau sungguh-sungguh ingin belajar atau hanya ingin membuang waktuku saja," tanya Zafa dengan tatapan tajamnya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Visual mereka aku taruh sekalian.
Starlight Montana
Zafa