Aura, gadis berusia 26 tahun yang selama hidupnya tidak pernah memahami arti cinta.
Karena permintaan keluarga, Aura menyetujui perjodohan dengan Jeno.
Akan tetapi, malam itu akad tak berlanjut, karena Aura yang tiba-tiba menghilang di malam pengantinnya.
Entah apa yang terjadi, hingga keesokan harinya Aura justru terbangun di sebuah kamar bersama Rayyan yang adalah anak dari ART di kediamannya.
"Aku akan bertanggung jawab," kata Rayyan lugas.
Aura berdecih. "Aku tidak butuh pertanggungjawaban darimu, anggap ini tidak pernah terjadi," pungkasnya.
"Lalu, bagaimana jika kamu hamil?"
Aura membeku, pemikirannya belum sampai kesana.
"Tidak akan hamil jika hanya melakukannya satu kali." Aura membuang muka, tak berani menatap netra Rayyan.
"Aku rasa nilai pelajaran biologimu pasti buruk," cibir Rayyan dengan senyum yang tertahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chyntia R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Pertanggungjawaban
Acara pernikahan itu akan dilangsungkan sebentar lagi. Malam ini, Jeno akan mengucap ikrar suci pernikahan dengan Aura, anak gadis dari sahabat Papanya.
Kendati Aura berumur satu tahun lebih tua daripada Jeno, tapi pemuda itu sudah menyukai Aura sejak mereka remaja. Hanya saja, untuk mendekati Aura, Jeno tidak berani. Sangking dia menghargai gadis itu, membuatnya sulit untuk mengungkapkan perasaan yang takutnya masih labil.
Diusia 25 tahun, siapa yang menyangka jika Jeno akhirnya diberikan lampu hijau untuk menikahi Aura. Doanya selama ini seakan terjawab, Aura seperti dikutuk tidak memiliki kekasih sampai akhirnya Jeno bisa menikahinya tanpa harus berpacaran lebih dulu.
Bukankah ini salah satu penghargaan untuk dirinya?
"Kenapa ijab kabulnya harus malam, Pa? Kenapa gak dari pagi terus lanjut acara resepsi?" Jeno bertanya pada sang Ayah.
"Nenek kamu maunya begitu, malam ini akad di kediaman Aura, besok siang resepsinya di Hotel." Mama Jenifer yang menyahut.
"Nah, udah denger, kan?" celetuk Papa Beno menimpali percakapan anak dan istrinya.
"Iya, deh, iya." Jeno menghela nafas pasrah atas ujaran sang Ayah.
"Dih, yang gak sabar mau menikah." Abel--Kakak Jeno-- datang dengan membawa serta keripik kentang kesukaannya. Dia tengah berbadan dua sekarang, membuatnya terlihat 'berisi'.
"iya, dong. Sebentar lagi aku bakal nikahin Aura. Ternyata doaku dikabulkan Tuhan, Kak."
"Emang kamu pernah berdoa?" cibir Abel.
"Ya pernah, lah!"
"Abis ini doain aku nyusul ya. Aku mau deketin Grey," kata Sheila yang ikut menimpali. Dia adalah anak bungsu alias adik Abel dan Jeno. Sheila memang sudah menyukai Grey Orion Lazuardi–adik Aura–sejak lama.
"Dih, kamu kuliah dulu yang bener!" sahut Abel dan Jeno kompak.
Mereka yang ada di ruangan itu sontak tertawa mendengar percakapan ketiga saudara itu.
Tawa mereka terjeda karena kedatangan wanita sepuh yang dihormati semuanya. Sang Nenek sudah datang dan memasuki ruangan tempat mereka berkumpul.
"Kamu udah siap, Jen?" tanya Bu Rosita pada Cucu laki-lakinya itu.
"Udah, Nek," jawab Jeno.
"Ya udah. Ayo kita berangkat mengantar calon pengantin," ujar Bu Rosita dengan raut bahagianya.
Segala bayangan tentang kejadian semalam, berpendar dalam ingatan Jeno. Harusnya hari ini dia dan Aura sudah menyandang status sebagai suami-istri. Sayang seribu sayang, gadis itu justru menghilang semalam. Bahkan sampai keluarga besar Jeno memutuskan untuk pulang di waktu yang sudah sangat larut, tidak ada tanda-tanda Aura telah kembali. Sepertinya, Aura tak akan pulang semalaman.
Mereka semua sudah menghubungi Aura, tapi ternyata ponsel gadis itu tertinggal di dalam kamar. Aura menghilang saat berniat didandani oleh MUA yang sudah menunggunya di kamar khusus berhias–begitulah kabar yang Jeno dengar.
"Kenapa Aura gak menolak pernikahan ini dari awal? Kenapa pakai acara kabur-kaburan dan menghilang di malam pengantinnya? Apa dia gak mikir, tindakannya ini membuat keluarga kita jadi malu!"
Bu Rosita sudah mengomel sepagi ini, tentu saja masih membahas masalah kemarin yang menyangkut pokok utama gagalnya acara akad yang akan Jeno ikrarkan.
"Sabar, Ma." Papa Beno berusaha menenangkan ibunya. Dia pun melirik pada sang putra yang tampak uring-uringan karena gagal menikah semalam. "Bukan cuma keluarga kita yang malu, keluarga besar Sky juga pasti malu karena hal ini. Kita gak pernah tau alasan Aura menghilang tiba-tiba tadi malam, jadi kita harus menanyakannya nanti," lanjutnya kemudian.
Jeno diujung ruangan masih tampak diam, dia bahkan tak tidur semalaman, memikirkan Aura yang melarikan diri dari acara sakral mereka. Ya, itulah pemikiran Jeno, termasuk semua keluarganya.
"Apa kurangnya cucuku? Kenapa malah ditinggalkan di malam pernikahan?" Bu Rosita kembali berang.
"... untung saja tempat akad dan resepsi dipisah dan yang hadir disana cuma kerabat saja semalam. Jika kejadian ini terjadi di Hotel dimana para tamu dan relasi sudah berdatangan, pasti keluarga kita lebih malu lagi."
Wanita tua itu mengembuskan nafas kasar.
"Hah! Bagaimana ini? Siang nanti resepsi di Hotel. Tidak mungkin acara itu dibatalkan. Semua pasti sudah bersiap untuk acara pernikahan Jeno dan Aura. Banyak relasi bisnis yang rela datang dari luar kota, bahkan luar negeri. Jika pengantinnya tidak ada. Mau bilang apa?"
"Udahlah, Ma. Kita bisa tetap ke sana nanti dan menyambut tamunya. Anggap saja Jeno dan Aura benar-benar sudah melaksanakan akad semalam. Nanti kita lakukan akad ulang jika Aura sudah kembali," kata Mama Jenifer mencoba memberi usul dan jalan keluar.
Mendengar pernyataan menantunya, Bu Rosita justru terbelalak.
"Maksud kamu apa? Jeno dan Aura akan tetap dinikahkan dilain waktu, begitu? Tidak! Mama tidak sudi. Dengan kejadian Aura yang melarikan diri seperti ini, itu sama saja dia tidak menerima pernikahannya dengan Jeno," tukas Bu Rosita tajam.
"Tapi, Ma–"
"Gak ada tapi-tapian, pernikahan mereka gak akan pernah terjadi sampai kapanpun. Aura sudah menginjak-injak harga diri keluarga besar kita!"
"Cukup!" Jeno yang diam sejak tadi, kini angkat suara sambil menegakkan diri. "Kalian semua cuma mikir soal malu! Gak ada satupun yang mikirin gimana perasaan aku!" sengitnya sambil berlalu pergi.
"Jeno!"
"Jeno!"
Pemuda itu tidak menghiraukan lagi panggilan dari Nenek dan kedua orangtuanya, dia pergi dengan rasa dongkol luar biasa.
...***...
Di lain sisi, tepatnya di kediaman keluarga Aura. Gadis itu duduk diapit kedua orangtuanya.
Dikiri ada sang Oma, dan di kanan ada kedua adik lelakinya–Cean dan Rion.
Aura menundukkan kepala karena kini tepat diseberangnya ada Rayyan yang seakan sedang menghadiri sidang di tengah-tengah keluarga besarnya.
"Saya sudah mendengar semuanya dari Aura," kata Papa Sky memulai pembicaraannya.
Rayyan yang sejak tadi menunduk kini mengangkat wajah demi menatap pria paruh baya yang berkarisma itu.
Tidak ada kata yang keluar dari bibir Rayyan–seolah dia memang sengaja menunggu agar Papa Sky berujar lebih lanjut terkait pembahasan mengenai dia dengan Aura.
"Saya ingin mendengar dari kamu, kenapa kamu melakukan itu pada putri saya?"
Rayyan mengehela nafas singkat sebelum akhirnya bersuara.
"Jika saya diizinkan untuk jujur, maka jawabannya adalah saya juga tidak tau kenapa saya dan Aura bisa berakhir di kamar yang sama–"
"Breng sek!" Rupanya itu sahutan dari Cean yang berada diujung sana, dia mendengkus, ada kilatan geram di kedua bola matanya, dia tak terima saudari kembarnya dilecehkan seperti ini oleh pemuda bernama Rayyan yang baru menghuni Paviliun keluarganya seminggu belakangan.
Semua yang ada disana sontak mengalihkan tatapan pada Cean, tapi Mama Yara memberi isyarat pada putranya untuk tetap diam dan mendengarkan perundingan ini sampai benar-benar menemukan titik terang.
"Saya tau jawaban saya memang terdengar seperti pria breng sek. Saya tidak menyangkal hal itu. Tapi, meski saya tidak sadar apa yang sebenarnya terjadi, saya siap untuk bertanggung jawab atas perbuatan yang sudah terlanjur saya lakukan," kata Rayyan gentle.
"Tanggung jawab apa yang bisa kamu berikan?" Papa Sky kembali terfokus pada Rayyan.
"Saya siap menikahi Aura sebagai bentuk pertanggungjawaban saya. Itupun jika saya diizinkan."
Mendengar itu, Aura sontak menggeleng kuat dalam posisinya. Dia tidak mau menikah dengan lelaki asing seperti Rayyan kendati mereka sudah sempat berkenalan singkat tempo hari.
"Aku enggak mau, Pa, Ma," lirih Aura.
Semua mata kini tertuju pada gadis itu.
Oma Indri mulai angkat suara sekarang. "Aura, jika Rayyan siap menikahi kamu, itu lebih baik, Sayang. Dia mau bertanggung jawab …" bujuknya. Oma Indri memahami kondisi Aura sekarang, belum tentu ada pemuda yang mau menerima keadaan Aura apa-adanya setelah semua ini terjadi.
"Aku gak mau, Oma. Aku gak mau!" pekik Aura histeris.
Aura pun bangkit dari duduknya, kemudian melesat pergi diiringi dengan isakan yang sangat mengiris hati semua keluarga besarnya.
Bersambung …
...Visual Rayyan...