Lintang Anastasya, gadis yang bekerja sebagai karyawan itu terpaksa menikah dengan Yudha Anggara atas desakan anak Yudha yang bernama Lion Anggara.
Yudha yang berstatus duda sangat mencintai Lintang yang mengurus anaknya dengan baik dan mau menjadi istrinya. Meskipun gadis itu terus mengutarakan kebenciannya pada sang suami, tak menyurutkan cinta Yudha yang sangat besar.
Kenapa Lintang sangat membenci Yudha?
Ada apa di masa lalu mereka?
Apakah Yudha mampu meluluhkan hati Lintang yang sekeras batu dengan cinta tulus yang ia miliki?
Simak selengkapnya hanya di sini!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nadziroh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3. Awal pertemuan
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Gadis cantik yang sudah memakai baju khas karyawan itu mengambil sepiring nasi beserta lauk dan segelas air putih. Bukan untuk dirinya, melainkan untuk sang ibu. Sebelum berangkat ke kantor ia harus membantu ibunya mandi dan menyiapkan sarapan serta kebutuhan lainnya.
Dia adalah Lintang Anastasya, gadis yang berumur dua puluh tiga tahun itu sangat sederhana dan mandiri. Menjadi tulang punggung keluarga setelah ayahnya pergi dari rumah. Kejadian lima tahun yang lalu ternyata meninggalkan jejak yang memilukan, Lintang kehilangkan keluarga hangat, dan kini harus berjuang mencari nafkah untuk dirinya dan ibunya.
Rumah sederhana itu menjadi saksi bisu, betapa hancurnya Lintang saat melihat ibunya harus menerima penghinaan dari seseorang yang pernah di tolong kakeknya. Meskipun sudah berlalu, Lintang tidak akan pernah melupakan semua itu.
Sakit tak berujung, luka yang tak bertepi, entah sampai kapan ia hidup dalam bayang-bayang rasa benci. Setiap kali melihat wajah ibunya, disaat itu pula Lintang akan selalu mengingat seseorang yang membuat hatinya sekeras batu.
Seakan maaf itu tidak akan pernah hadir seandainya takdir mempertemukan mereka kembali.
Lintang tersenyum dan duduk di kursi tepi ranjang. Mengusap wajah ibunya dan mencium pipinya sebagai sambutan pagi. Berapa malang nasib wanita itu, jiwanya terguncang setelah mendapat musibah yang berlipat ganda.
"Ibu sarapan dulu, aku mau kerja." Lintang menyodorkan sesendok makanan di depan mulut ibunya yang bernama Bu Fatimah. Namun, wanita itu menepisnya hingga sendok yang ada di tangan Lintang terjatuh di atas lantai. Ini bukan pertama kali Bu Fatimah menolak makan, akan tetapi sudah biasa hingga membuat Lintang sering terlambat.
Pagi ini Lintang tidak dapat mentolerir sikap ibunya, karena banyak pekerjaan di kantor. Terpaksa Lintang meletakkan makanan itu diatas meja kecil yang ada di samping lemari.
"Maafkan Lintang karena tidak bisa menemani Ibu setiap hari," pamitnya sembari mencium punggung tangan Bu Fatimah dengan lembut.
Gajinya sebagai pekerja bawahan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan Lintang dan ibunya setiap hari. Sehingga ia tak sanggup untuk membawa sang ibu berobat seperti yang dianjurkan dokter.
Meninggalkan ibunya bukan keinginan Lintang, namun itu terpaksa ia lakukan demi bertahan hidup.
Lintang berjalan pelan menghampiri Mbak Luna yang sedang menyapu halaman. Sebenarnya ia tak enak hati karena sudah merepotkan wanita itu. Namun, Lintang tak punya pilihan lain selain itu. Mengesampingkan rasa malu saat meminta bantuan padanya.
"Kamu mau berangkat ke kantor?" tanya Luna, tangannya menengadah ke arah Lintang.
He he he
Lintang tertawa pelan.
"Maaf ya, Mbak. Ngerepotin terus."
Menyerahkan kunci rumahnya pada Luna, wanita yang dianggapnya saudara. Selalu membantu Lintang mengurus ibunya saat ditinggal pergi.
"Nggak papa, cepetan berangkat, nanti kamu terlambat," suruh Luna.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Lintang memarkirkan motornya di tempat biasa. Segera melepas helm, meraih tasnya dan berlari masuk. Setibanya di depan lift, Lintang mengelus dadanya yang bergemuruh.
Semoga saja tidak ada yang tahu kalau terlambat.
"Pagi, Lin. Baru sampai?" tanya Gita, salah satu teman se profesi dengannya.
Lintang mendaratkan jari telunjuknya di bibir.
"Iya, tadi aku telat bangun, belum lagi ibu nggak mau makan, jadi aku terlambat," bisiknya.
Setelah melewati lift selama beberapa menit, Lintang langsung keluar. Ia berlari menuju ruangannya, namun langkahnya berhenti saat merasakan sesuatu menghantam punggungnya dari belakang. Lintang terhuyung dan jatuh, kakinya menabrak sudut meja hingga membuat lututnya memar.
Beberapa karyawan yang melintas menghampiri Lintang yang duduk sambil mengelus lututnya.
"Ya ampun Lin, ini berdarah harus segera diobati."
Lintang meringis saat Samsul tak sengaja menyentuh lukanya. Ia menatap bola voli yang ada di samping meja lalu beralih menatap anak kecil yang duduk di belakang orang-orang yang mengerumuninya.
Anak siapa itu, apa dia yang melempar bola.
Gita datang dan membantu Lintang memberikan obat anti nyeri.
"Kamu nggak papa?" tanya Gita antusias, dilihat dari darah yang terus menetes, pasti Lintang merasakan sakit yang hebat.
"Ini tidak sakit, kok. Lagipula aku yang kurang hati-hati." Lintang mengucapkan dengan suara keras saat melihat ketakutan di wajah bocah itu.
Lintang berdiri dengan bantuan Gita, meminta tolong pada gadis itu untuk membawakan tas ke ruangannya. Berjalan tertatih-tatih menghampiri bocah yang masih mematung di sudut ruangan.
"Apa tadi kamu yang melempar bola?"
Bocah itu mengangguk lalu menundukkan kepala. Menautkan sepuluh jari-jarinya. Melirik ke arah luka di lutut Lintang yang tertutup perban.
"Jangan takut, tante yang salah," ucap Lintang dengan lembut, mengelus pucuk kepala bocah itu.
Sontak, bocah laki-laki tampan itu mendongak, senyum melebar memamerkan gigi putihnya.
"Tante jangan bilang papa, nanti aku di marahin."
Jadi dia ke sini bersama papanya.
Lintang celingukan mencari seseorang yang ada di sekitar. Namun, ia tak mendapati siapapun selain rekan kerjanya yang berlalu lalang.
"Nama kamu siapa?" Lintang mengulurkan tangannya di depan bocah ysng sudah kembali ceria.
"Lion, Tante." Menerima uluran tangan Lintang dan menciumnya.
"Tante ke ruangan dulu ya, kalau main hati-hati, jangan sampai jatuh."
Lintang membalikkan tubuhnya meninggalkan Lion. Seperti tak rela, Lion menatap punggung Lintang dengan tatapan nanar.
Lion berlari mengejar Lintang yang sudah menghilang di balik pintu. Langkah kecilnya membawa ia bertemu dengan wanita yang baru saja menenangkannya.
Lintang terkejut melihat Lion yang berdiri di ambang pintu.
"Lion mau ngapain di sini? Nanti kalau papanya nyari gimana?" tanya Lintang yang sudah duduk di kursi kerjanya.
Lion berjalan pelan. Berdiri di samping Lintang. Matanya terus tertuju pada wajah cantik wanita itu.
"Aku mau main di sini. Boleh ya, Tante?"
Melihat Lion mengiba membuat Lintang tersentuh dan akhirnya mengizinkan bocah itu bermain di ruangannya dengan syarat tidak mengganggunya.
Di gedung Anggara corp lantai lima belas
Pertengkaran Yudha dan Natalie tak membuat pria itu terpuruk. Ia malah lebih semangat untuk bekerja, mengingat kini ada Lion yang membutuhkan dirinya.
Hampir dua jam Yudha baru menyadari jika jagoan kecil Lion tidak ada di ruangan. Panik setengah mati hingga membuat seluruh organ tubuhnya tak berfungsi.
Tidak mungkin Natalie mengambil Lion, pasti dia masih ada di sini.
Yudha membuka pintu ruangannya dan memanggil Andreas yang sibuk dengan laptop.
"Kamu lihat Lion?" tanya Yudha dengan mata yang menyusuri lorong.
Andreas tersenyum. "Dia turun di lantai sepuluh bersama Hilya, katanya Lion mau main di sana dan tidak mau ke sini lagi."
Yudha menyandarkan punggungnya di dinding, menghirup udara dalam-dalam setelah beberapa saat dadanya terasa sesak.
"Baiklah, pastikan semua aman, dan Natalie tidak bisa masuk."
"Baik, Pak," jawab Andreas singkat.
🤡 lawak kali kau thor