"Aku ingin kau menjadi orang yang menyusuinya."
Sienna menatap pria di hadapannya dengan mata membelalak, yakin bahwa ia pasti salah dengar. “Maaf, apa?”
Arsen Ludwig, pria yang baru diperkenalkan sebagai sponsor klub ice skatingnya, menatapnya tanpa ekspresi, seolah yang baru saja ia katakan adalah hal paling wajar di dunia.
“Anakku, Nathan. Dia menolak dot bayi. Satu-satunya cara agar dia mau minum susu adalah langsung dari sumbernya.”
Jantung Sienna berdebar kencang.
“Aku bukan seorang ibu. Aku bahkan belum pernah hamil. Bagaimana bisa—”
“Aku tahu,” potong Arsen cepat. “Tapi kau hanya perlu memberikan dadamu. Bukan menyusuinya secara alami, hanya membiarkan dia merasa nyaman.”
Ini adalah permintaan paling aneh yang pernah ia terima. Namun, mengapa ia tidak langsung menolaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alensvy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
...****************...
Aku menatap Arsen dengan waspada. Pria itu tidak mungkin datang ke sini tanpa alasan.
"Ada apa?" tanyaku akhirnya.
Arsen menatapku sesaat, lalu menarik napas. "Nathan masuk rumah sakit."
Jantungku mencelos. "Apa?"
Aku langsung meluncur ke tepi rink, melepas sarung tanganku, dan bergegas mendekat.
"Kenapa? Apa karena aku? Apa aku melakukan sesuatu yang salah?"
"Bukan," jawab Arsen, suaranya tetap tenang.
"Dokter bilang dia mengalami dehidrasi. Dia menolak minum dari dot sebelum menyentuh yang asli terlebih dahulu. Sejak semalam, dia menangis terus dan tidak mau tenang."
Aku membeku di tempat, mencoba mencerna kata-katanya.
"Jadi… maksudmu—"
"Dia butuh kamu lagi, Sienna."
Aku mundur selangkah. "Tidak."
"Sienna—" panggilnya lebih lembut.
"Tidak!" Aku menggeleng kuat, melipat tangan di depan dada. "Aku sudah melakukan hal absurd itu sekali, dan aku tidak akan mengulanginya lagi!"
Aku bisa merasakan tatapan Coach yang memandang kami dari kejauhan, mungkin heran dengan ekspresi marahku.
"Sienna, ini untuk keselamatan anakku," suara Arsen tetap tenang, tapi aku bisa mendengar nada serius di dalamnya.
"Aku bukan ibu anakmu, Arsen," balasku dingin. "Aku bukan solusi dari masalahmu. Bawa dia ke dokter spesialis atau apa kek, jangan datang ke aku seperti ini."
Aku berbalik, berniat kembali ke atas es, tapi suara Arsen menahanku.
"Kamu masih butuh sponsor, kan?"
Aku mengepalkan tangan, menggigit bibir. Aku tahu dia akan memainkan kartu itu lagi. Tapi kali ini…
Aku tidak mau menyerah semudah itu.
Aku menatap Arsen tajam.
“Kalau kau gak mau jadi sponsorku, juga gak masalah. Aku akan berjuang sendiri sampai titik darahku.”
Aku berbalik, berniat meluncur kembali ke atas es, tapi sebelum Arsen sempat membalas, ponselnya tiba-tiba berdering.
Arsen dengan cepat mengangkatnya, dan suara tangisan nyaring langsung terdengar dari seberang.
“Oeek… Oeeekk… Oeeekkk!”
Tangisan itu begitu kencang, menusuk telinga dan mengguncang sesuatu di dalam diriku. Aku meremas sarung tanganku, menggigit bibir.
Kenapa rasanya… gak enak begini?
Bayi itu bukan siapa-siapaku. Aku bukan ibunya, bukan pengasuhnya, bahkan baru bertemu dengannya tadi malam. Tapi mendengar suara tangisannya, ada sesuatu dalam hatiku yang terasa—sesak.
Apa ini karena aku sudah bersentuhan dengannya semalam? Apa aku mulai memiliki rasa iba karena pernah menggendongnya?
Tidak. Itu omong kosong.
Aku menggeleng pelan, menepis pikiran itu.
Arsen tampak semakin tegang saat berbicara di telepon. Matanya sesekali melirik ke arahku, seakan berharap aku berubah pikiran.
Dia tidak mengancam, tidak bersikap dingin seperti semalam.
Dia terlihat… memohon.
Sial. Kenapa aku harus melihat ekspresi itu?
Coach yang sedari tadi memperhatikan akhirnya mendekat, menepuk bahuku.
“Ikut dulu ke rumah sakit. Kau bisa kembali latihan setelahnya.”
Aku mendengus kesal. “Coach…”
“Pergi.”
Aku mendesah, lalu menoleh ke Arsen dengan wajah cemberut. “Baiklah. Tapi setelah ini, jangan harap aku melakukannya lagi.”
Arsen tidak menjawab, tapi aku bisa melihat kelegaan di wajahnya.
Aku menggerutu dalam hati.
Kenapa rasanya aku malah masuk ke dalam masalah besar?
Di dalam mobil, aku menyandarkan kepala ke jendela sambil mendumel pelan.
"Sial… pagi-pagi sudah kena drama. Ini semua gara-gara kamu, Coach," gerutuku, melirik sekilas ke arah pria yang duduk di sebelahku.
Coach hanya terkekeh kecil. "Anggap saja pemanasan sebelum latihan."
Aku mendelik tajam. "Pemanasan apanya? Ini murni penculikan!"
Dari kursi pengemudi, Arsen mendesah pelan.
"Kalau kau hanya ingin mengeluh sepanjang perjalanan, lebih baik diam saja."
Aku langsung menoleh cepat.
"Hei! Kau yang menyeretku ke masalah ini, aku berhak mengeluh sepuasnya!"
Arsen tidak menanggapi, hanya fokus pada jalan di depannya.
Aku mengerang frustasi, lalu melipat tangan di dada. "Aku serius, setelah ini aku gak mau terlibat lagi. Aku ini atlet, bukan ibu dadakan!"
"Tidak ada yang menyuruhmu menjadi ibu," balas Arsen datar.
Aku mengerucutkan bibir, semakin kesal.
Sepanjang perjalanan, aku terus menggerutu sendiri. Mulai dari kenapa aku harus terlibat, kenapa bayi itu bisa bergantung padaku, sampai kenapa Coach bisa semudah itu menyuruhku ikut.
Namun, di balik semua keluhanku, ada satu pertanyaan yang terus mengganggu pikiranku.
Bagaimana bisa bayi sekecil itu lebih memilih aku dibanding ayahnya sendiri?
...****************...
Begitu mobil berhenti di depan rumah sakit, aku langsung turun dengan cepat, masih setengah kesal.
“Di kamar mana?” tanyaku pada Arsen yang berjalan di sampingku.
“Lantai tiga, kamar VIP.”
Aku menghela napas, lalu melangkah lebih cepat. Begitu pintu kamar Nathan terbuka, aku langsung meringis melihat tubuh mungilnya yang terbaring di ranjang bayi dengan selang infus di tangan kecilnya.
Kasihan sekali…
Tubuhnya bergerak gelisah, bibirnya terbuka, menangis lagi dengan suara serak. Tangisannya tidak sekeras tadi, tapi tetap membuat dadaku terasa sesak.
Tanpa berpikir panjang, aku menoleh ke suster yang berdiri di samping ranjang. “Aku akan mencobanya lagi.”
Suster itu mengangguk, lalu menatap Arsen. “Maaf, Tuan, tapi Anda harus keluar dulu.”
Arsen sempat terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk dan keluar dari kamar.
Aku mengambil napas panjang, lalu dengan canggung duduk di kursi khusus yang sudah disiapkan. Tanganku sedikit gemetar saat aku mulai membuka kancing kemejaku.
Sienna, kenapa hidupmu jadi begini?
Aku mengangkat Nathan dengan hati-hati dan menyentuhkan putingku ke bibir mungilnya.
“Ayo, Nak, ini yang kamu mau, kan?”
Tapi…
Tangisannya tetap berlanjut.
Aku melirik suster dengan panik. “Kenapa ini? Apa aku salah posisi?”
Suster itu menatap bayi di pelukanku, lalu tersenyum lembut. “Sepertinya dia juga butuh ayahnya.”
Aku membelalak. “Hah?”
“Ibu dan ayah sama-sama sumber kenyamanan bagi bayi. Dia mungkin terbiasa merasakan kehadiran ayahnya saat menyusu.”
Aku menatap Nathan yang masih menangis, lalu menggerutu pelan.
“Aduh, bikin pusing aja! Belum nikah, belum punya anak, udah kena baby blues aku.”
Suster terkekeh, lalu menoleh ke pintu. “Mungkin sebaiknya Tuan Arsen masuk kembali.”
Aku mendesah panjang.
Serius, aku makin gak ngerti sama bayi ini.
Pintu kamar terbuka, dan Arsen masuk dengan langkah cepat. Wajahnya terlihat cemas saat melihat Nathan masih menangis di pelukanku.
"Ada apa? Kenapa dia masih menangis?" tanyanya buru-buru.
Aku mendelik kesal. "Kau tanya aku? Aku juga gak tahu! Katanya dia butuh ayahnya juga."
Arsen terdiam sejenak, lalu tanpa berkata apa-apa, dia duduk di kursi di sebelahku. Aku menatapnya dengan alis terangkat.
"Oke… dan sekarang apa? Kau mau ikut menyusui juga?" sindirku.
Alih-alih menanggapi, Arsen hanya menatap Nathan dengan tatapan lembut, lalu mengusap kepalanya dengan tangan besarnya.
"Papa di sini, Nak… Tenanglah," ucapnya pelan.
Yang terjadi selanjutnya membuatku ternganga.
Tangisan Nathan perlahan mereda. Isakannya masih terdengar, tapi tidak lagi sekencang tadi. Tubuh mungilnya yang tadi gelisah mulai tenang dalam pelukanku.
Aku menoleh ke suster dengan ekspresi tak percaya. "Serius, cuma begini?"
Suster itu tersenyum sambil mengangguk. "Bayi bisa merasakan kehadiran orang tuanya. Dia hanya butuh rasa aman."
Aku menghela napas panjang. "Ya ampun, jadi aku barusan kena sial aja, gitu?"
Arsen melirikku sekilas.
"Kau bukan sial, kau penyelamatnya."
Aku mendengus.
"Iya, iya… Tapi mulai sekarang, urus sendiri anakmu. Aku gak mau terus-terusan begini."
Arsen tidak menjawab, hanya menatap Nathan dengan penuh kasih sayang. Aku menatap keduanya, lalu entah kenapa merasa… iri.
.
.
.
Next 👉🏻