Ketegangan antara Kerajaan Garduete dan Argueda semakin memuncak. Setelah kehilangan Pangeran Sera, Argueda menuntut Yuki untuk ikut dikuburkan bersama suaminya sebagai bentuk penghormatan terakhir. Namun, Pangeran Riana dengan tegas menolak menyerahkan Yuki, bahkan jika itu berarti harus menghadapi perang. Di tengah konflik yang membara, Yuki menemukan dirinya dikelilingi oleh kebohongan dan rahasia yang mengikatnya semakin erat pada Pangeran Riana. Setiap langkah yang ia ambil untuk mencari jawaban justru membawanya semakin jauh ke dalam jebakan yang telah disiapkan dengan sempurna. Di sisi lain, kerajaan Argueda tidak tinggal diam. Mereka mengetahui ramalan besar tentang anak yang dikandung Yuki—anak yang dipercaya akan mengubah takdir dunia. Dengan segala cara, mereka berusaha merebut Yuki, bahkan menyusupkan orang-orang yang berani mengungkap kebenaran yang telah dikubur dalam-dalam. Saat pengkhianatan dan kebenaran saling bertabrakan, Yuki dihadapkan pada pertanyaan terbesar dalam hidupnya: siapa yang benar-benar bisa ia percaya? Sementara itu, Pangeran Riana berusaha mempertahankan Yuki di sisinya, bukan hanya sebagai seorang wanita yang harus ia miliki, tetapi sebagai satu-satunya cahaya dalam hidupnya. Dengan dunia yang ingin merebut Yuki darinya, ia berjuang dengan caranya sendiri—menyingkirkan setiap ancaman yang mendekat, melindungi Yuki dengan cinta yang gelap namun tak tergoyahkan. Ketika kebenaran akhirnya terbongkar, akankah Yuki tetap memilih berada di sisi Pangeran Riana? Atau apakah takdir telah menuliskan akhir yang berbeda untuknya? Dalam Morning Dew V, kisah ini mencapai titik terpanasnya. Cinta, pengkhianatan, dan pengorbanan saling bertarung dalam bayang-bayang kekuasaan. Di dunia yang dipenuhi ambisi dan permainan takdir, hanya satu hal yang pasti—tidak ada yang akan keluar dari kisah ini tanpa luka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Yuki tetap meringkuk di atas ranjang, tubuhnya terasa lemah dan nyeri di setiap inci kulitnya. Dia tidak perlu melihat ke cermin untuk tahu bahwa semalam, Pangeran Riana telah menghancurkannya lagi—bukan hanya tubuhnya, tetapi juga sisa-sisa keteguhan dalam hatinya.
Pangeran Riana tidak menghiburnya seperti Pria normal lainnya. Dia justru menyentuh Yuki, menyalurkan segala hasratnya dan tidak berhenti sampai Dia puas.
Gemericik air yang masih terdengar dari balik sekat kamar mandi. Udara di dalam ruangan terasa berat, dingin, dan penuh tekanan yang menyesakkan.
Yuki tetap meringkuk di atas ranjang, tubuhnya terasa remuk, nyeri menjalar di setiap inci kulitnya. Tangan Yuki yang telah diperban terasa dingin, denyut nyeri samar mengingatkannya pada keputusasaan yang sempat menghampiri. Namun, di pagi ini, dia masih bernapas. Bukan karena keinginannya, tapi karena Pangeran Riana tidak mengizinkannya pergi.
Di sudut ruangan, Pangeran Riana berdiri dengan jubah yang terbuka sebagian, memperlihatkan kulitnya yang masih basah setelah mandi. Dia memasang sabuknya dengan tenang, ekspresinya dingin seolah tak terjadi apa-apa semalam. Namun, saat dia berbicara, nadanya berisi peringatan yang tidak terbantahkan.
“Kau harus menjaga badanmu baik-baik,” katanya tanpa menoleh. “Ingat, Yuki. Jika terjadi sesuatu padamu, dan pada akhirnya kandunganmu membahayakan nyawamu…” Dia berhenti sejenak, membiarkan ancamannya menggantung di udara sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih rendah, lebih mengancam. “Aku akan menyingkirkan keberadaannya tanpa ragu.”
Yuki menegang. Kata-kata itu membelah dunianya dalam sekejap. Tidak ada keraguan di suara Pangeran Riana, tidak ada kebohongan.
Dan sekarang, Yuki tahu.
Di dalam perutnya, ada anak yang tidak seharusnya ada di dunia ini—bukan di sisi Pangeran Riana, bukan dalam cengkeraman pria yang telah merampas segalanya darinya.
Karena sekarang, dia tahu dengan pasti.
Anak itu adalah milik Pangeran Sera.
Pangeran Riana menatap Yuki sesaat, matanya tajam, seakan menembus langsung ke dalam pikirannya, memastikan bahwa wanita itu memahami setiap kata yang baru saja dia ucapkan. Tidak ada ruang untuk pembangkangan. Tidak ada ruang untuk harapan.
Yuki tidak bergerak. Dia bahkan tidak berani bernapas terlalu keras. Tapi tubuhnya gemetar, bukan karena udara pagi yang dingin, melainkan karena ketakutan yang mencengkeram hatinya.
Setelah mendapatkan kepastian dari diamnya Yuki, Pangeran Riana mengalihkan pandangannya. Dengan tenang, dia mengenakan pakaian yang telah dipersiapkan, jubah panjang yang membalut tubuhnya dengan sempurna, menegaskan kembali wibawa dan kekuasaan yang dia miliki. Setiap gerakannya penuh perhitungan, tidak tergesa-gesa, seperti seseorang yang tahu bahwa dunia akan selalu tunduk pada keinginannya.
Tanpa sepatah kata lagi, dia berbalik dan melangkah menuju pintu.
Tidak ada lagi yang perlu dikatakan.
Tidak ada lagi yang perlu dipastikan.
Karena baginya, Yuki sudah menjadi miliknya sepenuhnya.
...****************...
Ruangan rapat masih dipenuhi sisa ketegangan dari diskusi panjang mengenai kerja sama politik dan militer. Pangeran Riana duduk di kursinya dengan sikap santai, satu tangan bertumpu di sandaran, sementara jemarinya mengetuk pelan meja kayu yang dipenuhi dokumen. Para bangsawan mulai berdiri, membungkukkan badan dengan hormat sebelum satu per satu meninggalkan ruangan.
Namun, Bangsawan Tinggi Trigar tetap tinggal. Dia tidak menunjukkan niat untuk segera pergi, dan sorot matanya yang tajam tertuju langsung pada Pangeran Riana.
“Aku sudah mendengar apa yang terjadi pada Putri Yuki semalam dari Nayla,” katanya tanpa basa-basi, suaranya datar namun tegas. “Dia depresi dan membutuhkan teman bicara. Tapi kau… bukannya menghiburnya, kau malah memaksakan nafsumu berulang kali padanya.”
Hening sejenak.
Pangeran Riana tidak langsung merespons. Dia hanya menatap Trigar dengan ekspresi yang sulit dibaca, seolah sedang menimbang apakah kata-kata itu layak ditanggapi atau tidak. Kemudian, dia tersenyum kecil, senyum yang lebih menyerupai ejekan daripada ekspresi ramah.
“Apa kau ingin menguliahi aku tentang bagaimana cara memperlakukan istriku?” Pangeran Riana bertanya, suaranya lembut namun berbahaya. “Atau kau ingin memberi nasihat soal pernikahan ?, Lucu sekali mendengar ini darimu,” kata Pangeran Riana, nada suaranya santai, tapi ada bahaya yang tersembunyi di dalamnya. “Seseorang yang mendapatkan istrinya dengan cara memaksa dan manipulasi berani menguliahi aku tentang bagaimana memperlakukan wanita?”
Mata Trigar menyipit tajam, tetapi dia tidak langsung membalas.
“Kau pikir aku tidak tahu, Trigar?” Pangeran Riana melanjutkan, berdiri dari kursinya dengan gerakan tenang namun penuh tekanan. “Bagaimana kau merebut Nayla dari keluarganya? Bagaimana kau membuatnya bergantung padamu, sampai dia tak punya pilihan selain menerimamu?”
Bangsawan Tinggi Trigar mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Aku tidak pernah menyakiti Nayla seperti yang kau lakukan pada Yuki,” katanya dingin.
Pangeran Riana tertawa kecil, langkahnya perlahan mendekati Trigar. “Tidak menyakiti? Kau hanya lebih halus dalam caramu, Trigar,” bisiknya. “Kau mengikat Nayla dengan kepandaian lidahmu, dengan dalih perlindungan dan pengorbanan. Aku hanya lebih jujur dengan caraku sendiri.”
Bangsawan Tinggi Trigar menatapnya lama, seakan menimbang kata-kata Pangeran Riana. “Setidaknya, Nayla tidak ingin mati di sisiku,” katanya akhirnya, suaranya lebih rendah namun tetap tajam.
Pangeran Riana terdiam sesaat, tetapi kemudian dia tersenyum sinis. “Jangan membandingkan aku denganmu, Trigar,” katanya, suaranya kembali dingin.
Bangsawan Tinggi Trigar tidak tergoyahkan. Dia tetap menatap Pangeran Riana dengan penuh ketegasan. “Aku hanya ingin kau sadar, Riana. Kau tidak bisa membuatnya bahagia dengan cara seperti ini.”
Pangeran Riana menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum itu masih menghiasi bibirnya, tetapi matanya tidak lagi menyiratkan kesabaran. “Bahagia?” dia mengulang kata itu dengan nada mengejek. “Kau berpikir aku peduli tentang kebahagiaannya?”
Bangsawan Tinggi Trigar mengepalkan tangannya. “Jika bukan untuk dia, setidaknya pikirkan anak dalam kandungannya,” katanya tajam.
Pangeran Riana menegang sesaat, tapi hanya sedetik sebelum ekspresi dinginnya kembali. Dia berdiri perlahan, mendekati Bangsawan Tinggi Trigar dengan langkah santai namun menekan. “Aku akan memastikan Yuki tetap hidup,” katanya rendah, hampir seperti bisikan. “Dan anak itu… akan tetap ada selama tidak membahayakan nyawa ibunya. Jadi jangan repot-repot mencampuri urusanku, Trigar.”
Pangeran Riana mengamati Bangsawan Tinggi Trigar dengan ekspresi datar, namun matanya menggelap, menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar ketidaksenangan.
Bangsawan Tinggi Trigar menyilangkan tangan di dadanya, ekspresinya tak terbaca, tetapi suaranya penuh ketegasan saat dia berkata, “Sekarang aku tahu. Saat pertama kali mendengar bahwa Putri Yuki memiliki hubungan dengan tiga pria berkuasa sekaligus, aku berpikir dia wanita yang licik. Tapi setelah melihat sendiri apa yang terjadi… aku menyadari sesuatu.”
Dia menatap Pangeran Riana tajam sebelum melanjutkan, “Bukan Putri Yuki yang menginginkan hubungan ini. Tapi kalian bertiga-lah yang tidak sudi melepaskannya.”
Ruangan mendadak hening. Udara di antara mereka seakan membeku, menyisakan ketegangan yang menggantung di udara.
Pangeran Riana tidak langsung menjawab. Sebuah senyum tipis muncul di bibirnya, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya. “Kau berbicara seolah-olah kau memahami segalanya, Trigar,” katanya tenang. “Tapi kau salah. Yuki adalah milikku. Aku tidak peduli siapa saja yang menginginkannya, dia tetap milikku.”
Bangsawan Tinggi Trigar menghela napas, ekspresinya mencerminkan kelelahan dan sedikit rasa iba. “Itu yang kalian semua pikirkan, bukan?” gumamnya. “Sera, Lekky, dan kau… Kalian bertiga terlalu sibuk mengklaim dirinya, sampai lupa bertanya apa yang sebenarnya diinginkan Yuki.”
Pangeran Riana mengangkat alisnya, seolah ucapan Bangsawan Tinggi Trigar tidak lebih dari sekadar omong kosong. “Keinginannya tidak penting,” katanya santai. “Karena pada akhirnya, Yuki tidak bisa lari dari takdirnya.”
Bangsawan Tinggi Trigar menghela napas panjang, menatap Pangeran Riana dengan sorot mata yang sulit diartikan.
“Aku tidak akan berpura-pura menjadi pria yang lebih baik darimu,” katanya akhirnya. “Aku kejam, aku tahu itu. Aku merebut Nayla dengan paksa, menghancurkan hidupnya dengan banyak jebakan, membuatnya tidak punya pilihan selain jatuh ke tanganku. Dan saat dia akhirnya lari, aku sudah menyiapkan perangkap lain untuk membuatnya tetap di sisiku.”
Dia menatap tangannya sendiri, seakan mengenang dosa-dosa masa lalunya. “Aku membuatnya berpikir bahwa aku adalah satu-satunya tempat dia bisa bertahan hidup. Itu manipulasi, itu kebohongan, tapi setidaknya aku memberinya ilusi pilihan.”
Bangsawan Tinggi Trigar mengangkat kepalanya, tatapannya menusuk Pangeran Riana. “Tapi kau berbeda, Riana.”
Pangeran Riana hanya diam, ekspresinya nyaris tidak berubah.
“Kau tidak bermain dengan jebakan halus,” lanjut Trigar. “Kau tidak memberikan ilusi pilihan. Kau tidak mencoba mengelabui Yuki secara perlahan, membuatnya berpikir bahwa dia yang memilih jalan ini. Tidak.”
Suara Bangsawan Tinggi Trigar merendah, namun semakin tajam. “Kau mengambilnya. Merenggutnya. Merantai Yuki agar tetap berdiri di tempat yang kau inginkan. Secara terang-terangan, tanpa kendali, tanpa peduli pada apapun selain keinginanmu sendiri.”
Pangeran Riana akhirnya mengangkat matanya, menatap Trigar dengan senyum tipis—sebuah senyum yang entah menyiratkan penghinaan atau kebanggaan. “Dan kau ingin mengatakan bahwa caramu lebih baik dariku?”
Bangsawan Tinggi Trigar tertawa kecil, sinis. “Tidak, Riana. Aku hanya ingin mengatakan bahwa jika kau terus seperti ini… Yuki tidak akan pernah bisa hidup. Dia hanya akan mati perlahan di dalam genggamanmu.”
Pangeran Riana tetap tersenyum, tapi tatapannya menjadi lebih gelap. “Maka aku hanya perlu memastikan bahwa dia tetap bernafas,” katanya pelan, “meskipun itu berarti aku harus menghancurkannya berulang kali.”
Bangsawan Tinggi Trigar menatapnya sesaat sebelum akhirnya menggeleng pelan. “Kalau begitu, kau lebih buruk dariku, Pangeran.”
Lalu dia berbalik, meninggalkan ruangan tanpa menoleh lagi.