Di balik nama Alysa Kirana Putri, tersembunyi tiga kepribadian yang mencerminkan luka dan pencariannya akan kebebasan. Siapakah "Putri," anak ceria yang selalu tersenyum, namun menyembunyikan ribuan cerita tak terucapkan? Apa yang disembunyikan "Kirana," sosok pemberontak yang melawan bukan untuk menang, tetapi untuk bertahan dari tekanan? Dan bagaimana "Alysa," jiwa yang diam, berjalan dalam bayang-bayang dan bisu menghadapi dunia yang tak pernah memberinya ruang?
Ketika tuntutan orang tua, perundungan, dan trauma menguasai hidupnya, Alysa menghadapi teka-teki terbesar: apakah ia mampu keluar dari kepompong harapan dan luka menjadi kupu-kupu yang bebas? Atau akankah ia tetap terjebak dalam tekanan yang terus menjeratnya? Semua jawabannya tersembunyi dalam jejak langkah hidupnya, di antara tiga kepribadian yang saling bertaut namun tak pernah menyatu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Garni Bee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang tak terlihat
Aku sudah kehilangan banyak hal sejak masuk ke sekolah ini-teman, kepercayaan, dan sekarang, bahkan identitasku sendiri. Wilona berhasil memainkan perannya dengan sempurna. Di depan semua orang, dia adalah gadis manis yang lembut dan penyayang. Tapi di balik itu, dia adalah dalang di balik semua yang aku alami.
...
Hari itu, sebelum ujian dimulai, aku, Wilona, Rindi, dan Rindu duduk di lapangan sambil menunggu giliran ujian kami. Sesi pertama sudah dimulai, dan Rindi serta Rindu akan masuk sebentar lagi. Kami berempat mengobrol seperti biasa, atau lebih tepatnya, aku hanya mendengar mereka tertawa.
Wilona dan Rindu berlari-larian kecil, bercanda satu sama lain. Aku hanya diam, tidak ingin ikut bermain. Namun, beberapa menit kemudian, mereka tampak kelelahan.
Saat bel berbunyi, tanda sesi pertama ujian dimulai, Rindi dan Rindu segera dipanggil masuk ke kelas. Tinggallah aku dan Wilona di lapangan yang sepi. Aku baru saja hendak mengambil air minum dari tasku ketika tiba-tiba-
Ugh...
Aku menoleh dan melihat Wilona membungkuk, tangannya mencengkeram perut. Dalam hitungan detik, dia muntah.
Aku refleks berdiri, panik. "Wilona? Kamu sakit?" tanyaku khawatir.
Dia tampak panik, "Alysa... cepet temenin ke kamar mandi..."
Aku mulai merasa ada yang tidak beres. Tapi aku tidak boleh berburuk sangka, aku harus tetap menolong nya.
"Alysa! Ayo cepet.." Wilona menarik tanganku dengan paksa.
Kami masuk ke kamar mandi, dan aku membantu menyalakan keran. Wilona buru-buru membasuh wajahnya, tapi yang membuatku terkejut adalah seragamnya yang penuh muntahan. Bahkan kerudungnya juga kotor.
Dan tiba-tiba, dia menatapku dengan ekspresi dingin.
"Tukeran baju sama aku sekarang," katanya tiba-tiba.
Aku terperanjat. "Apa?"
Wilona mendekat, suaranya lebih menekan.
"Aku gak mau masuk ujian dengan baju kayak gini. Kamu yang ganti baju sama aku."
Aku menggeleng tegas.
"Enggak. Ini kan muntahan kamu, Wilona! Kenapa aku yang harus ganti sih?"
Ekspresi manisnya menghilang dalam sekejap. Dengan kasar, dia menarik kerudungku dan menjambak rambut ku, membuatku terhuyung mundur.
"Cepet Alysa!" katanya dengan suara penuh tekanan.
"Aku gak mau! Kamu kelewatan Wilona, aku akan bantu. Tapi kalau kayak gini aku gak mau bantu kamu lagi."
Aku berusaha melawan, ingin pergi dari tempat itu. Tapi sebelum aku sempat melangkah, pintu kamar mandi terbuka. Beberapa teman dari kelas lain masuk dan terkejut melihat kondisi kami.
Dan saat itulah Wilona mulai beraksi.
"A-aku gak tahu kenapa Alysa muntah, terus muntahannya kena ke bajuku," katanya dengan suara bergetar, seolah-olah dia baru saja mengalami hal mengerikan.
"Aku cuma minta dia tukeran baju tapi Alysa gak mau..."
Aku menatapnya tak percaya. "Wilona, kamu yang-"
Salah satu teman kelas lain menatapku dengan jijik. "Alysa, kasihan Wilona! Kalau kamu yang muntah, harusnya kamu yang tanggung jawab! Cepetan tukeran baju!"
"Tapi-"
"Mau ngeles? Atau kamu kita laporin ke kepala sekolah."
Aku tersudut. Mereka terus menatapku dengan pandangan penuh tekanan, memaksaku untuk menurut.
Akhirnya aku melepas seragamku dan bertukar dengan Wilona.
Ketika teman-teman itu akhirnya pergi, aku menatap Wilona dengan amarah yang mendidih.
"Kamu gila..." bisikku.
Wilona hanya tersenyum tipis, "Kamu yang bodoh, Alysa."
...
Saat aku dan Wilona kembali ke lapangan, Rindi dan Rindu baru saja keluar dari ruang ujian.
Begitu mereka melihatku dengan seragam penuh muntahan, ekspresi mereka berubah.
"Ih! Kirana! Kenapa bajumu gitu?! Jijik banget huekk" seru Rindi.
Aku baru saja ingin menjelaskan ketika Wilona tiba-tiba bicara lebih dulu.
"Alysa muntah tadi, makanya seragam nya jadi gitu," katanya dengan nada prihatin.
"Malahan tadi dia nyuruh aku tukeran baju sama dia. Ya aku gak mau lah."
Aku menegang.
Rindi dan Rindu menatapku malas.
"Seriusan, Alysa? Ih, kenapa gak bilang sih kalau kamu sakit?"
Mereka mundur selangkah, menatapku seakan aku adalah sesuatu yang menjijikkan.
Aku ingin berteriak. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya. Tapi aku tahu, percuma.
Wilona sudah memenangkan permainan ini.
Ketika sesi kedua dimulai dan aku masuk ke ruang ujian, tatapan penuh hinaan dan ejekan mengikuti setiap langkahku.
"Jangan deket-deket Alysa, nanti muntah lagi."
"Kok bisa sih muntah sampai kena orang lain? Jijik banget."
"Kasihan Wilona, pasti dia trauma..."
Aku menunduk, tanganku gemetar. Aku ingin menangis. Tapi aku tahu itu hanya akan membuat mereka semakin puas.
Di sisi lain kelas, Wilona duduk dengan anggun, berpura-pura tidak mendengar apa pun. Sesekali dia melirik ke arahku dan tersenyum kecil.
Aku tahu arti senyum itu.
Dia menang. Lagi.
...
Keesokannya, aku melangkah pelan mengikuti Rindi menuju kelas 7. Dia memaksaku menemaninya untuk menemui Aziz, pacarnya, seperti yang sudah-sudah. Aku tak banyak bicara, hanya mengangguk dan berjalan di belakangnya.
Sesampainya di depan kelas 7, Aziz sudah menunggu. Tapi dia tidak sendirian. Ada Ardi di sampingnya.
Aku langsung merasakan tatapan Ardi padaku, seperti sebelumnya. Aku pura-pura tidak melihatnya, membuang pandangan ke arah lain.
Aziz berbicara dengan Rindi, wajahnya terlihat senang. "Aku suka suratnya, bagus banget," katanya.
Rindi tertawa kecil, melirik ke arahku. Aku hanya diam. Iyalah bagus, aku yang nulis.
Saat itu, Wilona dan Rindu datang.
"Udah selesai?" tanya Rindu, langsung menghampiri Rindi dan berdiri di sampingnya.
Wilona menoleh padaku. "Kita tunggu di sini aja, ya," katanya sambil menyeringai.
Aku mengangguk kecil.
...
Saat aku sedang menunggu, Ardi tiba-tiba menghampiriku. Aku menegang, tidak tahu harus bereaksi bagaimana.
"Ini buat kamu," katanya sambil mengulurkan sesuatu.
Aku melihat tangannya. Sebuah permen lolipop.
Aku mengerutkan kening. "Makasih, tapi aku nggak mau," jawabku cepat.
Ardi hanya tersenyum. "Ambil aja. Nggak apa-apa kok," katanya, lalu tanpa menunggu jawaban, dia langsung pergi begitu saja.
Aku memandangi permen lolipop di tanganku, bingung. "Paansi gajelas tuh cowo,"
Tiba-tiba Wilona mendekat dan meraih permen itu dari tanganku.
"Eh, ada yang dapet permen
nih?" godanya dengan nada meledek.
Aku menatapnya malas. "Balikin."
Wilona memutar-mutar permen itu di tangannya, lalu tersenyum sinis. "Cie, Ardi yang ngasih, ya? Aku aduin ke Rindu sama Rindi ahh,"
Aku mendengus. "Terserah."
Aku tidak peduli kalau dia mengambil permen itu. Aku juga tidak berniat memakannya sejak awal.
Wilona terkekeh. "Suka sama kamu tuh kayak nya. Tapi jangan seneng dulu, Alysa"
Aku menghela napas panjang, ingin pergi meninggalkan Wilona menuju kelas. Namun ditahan oleh Wilona. " Mau kemana hah?"
Saat itu aku sudah jengah dengan keadaan, "Balik kelas,"
"Kayak nya emang kamu sengaja mau di kembar nyiksa kamu ya?" Ucap Wilona menyeringai.
"Bukannya semua karena kamu ya, Na?"
Wilona nampak menahan amarah nya, "Apa kamu bilang?" Ucapnya dengan nada penuh penekanan.
Aku hanya diam, malas kalau harus meladeni orang seperti dia.
Bel berbunyi. Tanda pelajaran terakhir akan segera dimulai sebelum pulang.
Si kembar selesai berbicara dengan Aziz, lalu mereka menghampiri kami.
"Ayo balik," kata Rindi, tersenyum puas.
Aku berjalan kembali ke kelas bersama mereka. Setibanya di dalam, Rindi tiba-tiba menghampiri Wilona dan meminta pindah tempat duduk ke sebelahku.
Saat sudah duduk di sampingku, Rindi tampak sangat excited.
"Alysa, Aziz suka banget sama surat yang kamu buat!" katanya penuh semangat.
Aku hanya mengangguk. Tentu saja dia suka, aku sudah berusaha menulisnya dengan baik.
"Lebih bagus lagi kalau kamu sendiri yang buat, Ndi. Besok kamu yang tulis ya?"
Senyum Rindi memudar, "Tulisan aku jelek, kamu aja ya yang tulisin buat aku."
"Tapi aku udah kehabisan kata-kata," ucapku.
"Hmm, yaudah kalau gitu mulai sekarang aku yang kasih ide kata-kata nya. Tapi pliss kamu yang tulisin ya? tulisan kamu bagus soalnya." Rengek Rindi.
"Hadeh yaudah deh, gitu juga boleh" jawabku.
Rindi terus bercerita tentang betapa bahagianya Aziz saat membacanya. Aku diam saja, mendengarkan sambil sesekali mengangguk dan tersenyum.
Di sisi lain, aku bisa melihat Wilona juga sedang bersenda gurau dengan Rindu.
...
Setelah hari yang melelahkan di sekolah, aku akhirnya sampai di rumah. Begitu membuka pintu, aroma masakan langsung menyambutku.
"Mah, masak apa hari ini?" tanyaku, mencoba terdengar ceria meskipun tubuhku terasa lelah.
"Sayur asem sama ayam goreng," jawab mamah sambil menuang kuah ke mangkuk.
Aku pura-pura memasang ekspresi kecewa. "Kok bukan steak sih, mah? Putri kan maunya steak."
Mamah ku mendengus, menatapku tajam. "Mau steak? Sana ke Jakarta, di cafe mamah ada. Cafe kosong sana, minta sama setan buatin pesenan kamu itu. "
Aku terkekeh, lalu duduk di meja makan. Sambil mengunyah, aku berpikir tentang kejadian hari ini. Tentang Wilona, Rindi, dan Rindu. Tentang bagaimana aku harus berpura-pura baik-baik saja setiap hari.
"Mah, nanti Putri beli mie ya?" tanyaku, mencoba mengalihkan pikiranku.
Mamah ku menatapku sebentar. "Jangan kebanyakan jajan, nanti sakit perut. Tapi kalau tetep mau beli, sekalian mamah mau,"
Aku cemberut. "Ihh, mamah gimana sih. Tadi katanya ngelarang jajan, tapi mau juga."
Mamah terkekeh, tapi tetap menggeleng. Aku pura-pura manyun, lalu melanjutkan makan.
Aku tahu, aku harus terus seperti ini. Ceria, periang, penuh canda.
Karena kalau tidak, pasti banyak pertanyaan yang akan muncul.