NovelToon NovelToon
Jodoh Masa Kecil

Jodoh Masa Kecil

Status: tamat
Genre:Tamat / Cintapertama / Dosen / Perjodohan / Patahhati / Konflik Rumah Tangga- Terpaksa Nikah
Popularitas:299.6k
Nilai: 5
Nama Author: N. Mudhayati

Gendhis... Gadis manis yang tinggal di perkampungan puncak Sumbing itu terjerat cinta karena tradisi perjodohan dini. Perjodohan itu disepakati oleh keluarga mereka saat usianya delapan bulan dalam kandungan ibunya.
Gadis yang terlahir dari keluarga sederhana itu, dijodohkan dengan Lintang, anak dari keluarga kaya yang tersohor karena kedermawanannya
Saat usia mereka menginjak dewasa, muncullah benih cinta di antara keduanya. Namun sayang, ketika benih itu sudah mulai mekar ternyata Lintang yang sejak kecil bermimpi dan berhasil menjadi seorang TNI itu menghianati cintanya. Gendhis harus merelakan Lintang menikahi wanita lain yang ternyata sudah mengandung buah cintanya dengan Lintang
Seperti apakah perjuangan cinta Gendhis dalam menemukan cinta sejatinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon N. Mudhayati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sepasang Cincin Tunangan

Hari ini, sepulang sekolah. Seperti biasa Gendhis membantu ibunya menyelesaikan tugas di rumah.

"Nduk... Sudah makan?" Tanya Bu Sari pada putrinya.

"Sudah, Bu." Jawab Gendhis sembari mencuci piring.

Nampak Bu Sari sedang mengambil kayu bakar dari belakang rumah, lalu menatanya dalam mulut tungku yang terbuat dari tanah liat. Diambilnya korek api lalu ia nyalakan.

"Ibu mau masak apa? Biar Gendhis yang siapkan." Gadis itu menawarkan bantuan.

"Ndak usah, Nduk... Tadi Bu Parti kesini, katanya mau ngajak kamu pergi sama Lintang sama Pak Argo." Kata Bu Sari.

"Kemana, Bu?" Gendhis sedikit penasaran.

"Ibu nggak tahu kemana, tapi katanya mau ajak Gendhis cari perlengkapan untuk acara pertunangan nanti." Jawab Bu Sari sambil mengangkat panci berisi air ke atas tungku.

"Tunangan?" Dalam hatinya bergumam. Ia baru ingat kalau beberapa hari lagi adalah hari pertunangannya dengan sosok laki-laki yang selama ini sudah di pasangkan untuk menjadi jodohnya.

Ia merasa seperti baru kemarin bermain bersama dengan Lintang dan teman-teman masa kecilnya. Namun sebentar lagi, lelaki itu akan resmi menjadi tunangannya. Alangkah bahagia hatinya. Rona pipinya memerah, matanya berbinar-binar.

"Sudah, Nduk. Biar Ibu yang teruskan. Kamu siap-siap saja, sebentar lagi pasti Bu Parti datang." Bu Sari mengambil se ikat sawi putih yang hendak Gendhis cuci.

"Baik, Bu..." Gendhis menjawab dan berlalu meninggalkan ibunya.

Terlahir dari keluarga yang tergolong mampu, orang tua Gendhis selalu mengajarkan tentang kesederhanaan. Apalagi Bu Sari, meski sudah ada kompor gas di dapurnya, ia lebih sering memasak menggunakan tungku. Di samping lebih hemat karena kayu bakar di ladang melimpah, rasa makanannya pun akan lebih enak jika dimasak menggunakan tungku. Itulah jawab Bu Sari setiap kali Gendhis menyarankan ibunya memasak menggunakan kompor gas. Sesekali saja mereka gunakan gas itu untuk menghangatkan makanan, atau sekedar membuat makanan instan.

Seusai mandi, Gendhis segera mengenakan dress panjang berwarna merah marun bermotif bunga yang tidak terlalu banyak. Serasi dengan hijab phasmina warna merah muda. Make up yang cukup natural juga terkesan lembut itu membuat Gendhis terlihat lebih cantik dari hari biasa.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara Bu Parti memanggil dari balik pintu depan.

"Gendhis... Apa kamu sudah siap, Nduk?"

Gendhis dan Bu Sari membuka pintu.

"Iya, Bu Parti... Mari..." Dengan lembut Gendhis menyapa calon ibu mertuanya.

"Kamu cantik sekali, Nduk. Ayo berangkat. Takut nanti kemaleman." Ajak Bu Parti.

"Baik, Bu." Gendhis keluar rumah sembari mencium tangan ibunya lantas berpamitan.

"Gendhis pergi dulu, Bu. Assalamu'alaikum..."

"Waalaikumsalam... Hati-hati, Nduk." Bu Sari nampak bahagia melihat putrinya yang sebentar lagi akan resmi bertunangan dengan laki-laki pilihan kakek buyut Gendhis. Apa yang menjadi wasiat keluarga mereka akan segera terlaksana.

"Kami berangkat dulu, Bu Sari." Lanjut Bu Parti berpamitan.

"Ya, Bu... Hati-hati." Bu Sari tersenyum ramah.

Di halaman rumah, Lintang dan Pak Argo duduk menunggu Gendis juga Bu Sari dari dalam mobil pajero sport berwarna hitam. Gendhis dan Bu Parti berjalan menuju mobil. Lintang lalu menyalakan mesin mobilnya, bersiap menuruni sepanjang jalan puncak Sumbing menuju pusat perbelanjaan di Kota Magelang.

*****

Pertama kali dituju mobil pajero sport hitam itu adalah sebuah tempat yang berada di kawasan Nambangan. Tempat itu bernama "Dewi Mayang" sanggar rias pengantin ternama di Kota Magelang. Meskipun berasal dari perkampungan yang bisa dibilang jauh dari hingar bingar, tapi kalau soal selera, Lintang tak pernah salah pilih.

"Silakan, bisa dilihat dulu sampelnya Mas Lintang. Kami juga menawarkan paket dengan harga yang terjangkau dengan kualitas yang oke lho." Kata Mbak Dewi, pemilik sanggar rias sambil menyodorkan album foto wedding yang diambilnya dari lemari kaca.

"Bentar Mbak, kami lihat-lihat dulu." Jawab Lintang sambil membuka lembaran demi lembaran album foto.

Gendhis masih terperanjat melihat begitu banyak gaun pengantin terpampang dalam lemari kaca. Sangat mewah dan elegan.

Sambil duduk di ruang tamu, Pak Argo, Bu Parti, Lintang dan juga Gendhis melihat-lihat album foto tersebut.

"Silahkan sambil di minum, Pak... Bu..." Kata Mbak Dewi sembari menawarkan teh hangat yang baru diambilnya dari dapur, bersama beberapa kudapan.

"Ya, Mbak. Terimakasih, jadi merepotkan." Jawab Bu Parti sungkan.

"Oh, nggak repot kok, Bu. Sebentar saya ambil contoh paket wedding kami yang lain." Mbak Dewi pun beranjak pergi meninggalkan ruang tamu.

Gendhis berbisik pada Bu Parti.

"Bu... apa ini ndak terlalu mewah. Lagi pula kan Gendhis dan Mas Lintang baru mau tunangan. Apa ndak sebaiknya Gendhis dandan sendiri saja." Ucap Gendhis lirih.

"Gendhis... Ndak papa sayang. Lagi pula ini Lintang yang atur." Jawab Bu Parti.

"Gendhis... ini adalah rias pengantin terbaik di Kota Magelang. Kamu pilih saja mana yang kamu suka." Tambah Lintang.

"Atau kita cari tempat lain saja kalau Gendhis ndak suka, Lin... " Pak Argo yang sedari tadi diam ahirnya angkat bicara.

"Oh... ndak usah Pak Argo. Nanti biar Gendhis pilih." Dengan wajah sungkan, Gendhis pun menyetujui keinginan jodoh masa kecilnya itu.

Akhirnya mereka pun sepakat memilih warna nuansa hijau army untuk acara pertunangan nanti. Mulai dari gaun yang akan Gendhis pakai, hingga dekorasi pun dipenuhi dengan warna army kesukaan Lintang. Sudah menjadi rahasia umum, keinginan Lintang menjadi seorang prajurit TNI sanggup mempengaruhi segala sesuatu yang berhubungan dengan itu, termasuk pilihan warna dekorasi saat pertunangan nanti.

Tempat kedua yang mereka tuju berlokasi di Pecinan, deretan toko di sepanjang Jln. Pemuda yang berada di pusat Kota Magelang. Dari mulai toko sepatu, tas, beberapa stel pakaian, pernak pernik, hijab, perlengkapan mandi, perlengkapan make up, hingga ups... pakaian dalam, tak ada satupun yang terlewatkan. Termasuk seperangkat alat sholat juga buah-buah. Pak Argo, Bu Parti juga Lintang menyerahkan semua keputusan kepada Gendhis untuk memilihnya.

"Mau, tambah apa lagi nduk?" Tanya Bu Parti sambil membawa plastik berisi perlengkapan seserahan ke dalam bagasi mobilnya.

"Sudah, Bu. Ini sudah banyak banget. Rumah Gendhis ndak cukup nanti kalau ditambah lagi." Jawab Gendhis bercanda.

"Heeemmm... kamu bisa aja." Bu Parti tersenyum.

"Sekarang kita kemana lagi nyonya besar?" Canda Lintang pada Sang Ibu ketika mobil hitamnya keluar dari lajur parkir.

"Ke toko Mustika, Nang..." Jawab Bu Parti.

Setelah mobil berjalan beberapa menit, Lintang memarkirkan mobilnya kembali di depan sebuah toko perhiasan terlengkap di Kota Magelang, yang berada di dekat lampu merah jalan masuk menuju Pasar Rejowinangun.

"Ayo, Nduk. Turun dulu." Pak Argo yang duduk di bagian depan mobil bersama Lintang itupun membuka pintu mobilnya.

"Bukannya kita sudah membeli semua barang, Pak Argo?" Tanya Gendhis lugu.

"Lho... kita kan belum beli cincin tunangan, Nduk." Bu Parti pun segera mengajak gadis itu keluar dari dalam mobil.

Tak butuh waktu lama, mereka sudah bisa menemukan beberapa set perhiasan untuk Gendhis. Gelang, kalung, hingga sepasang cincin tunangan yang cantik dan elegan. Mereka tahu betul, jika disuruh pilih sendiri, gadis itu pasti lebih memilih untuk pulang dengan tangan kosong. Karenanya, Lintang dan Bu Parti lah yang memiliki andil paling besar dalam misi ini, selain Pak Argo yang jadi mesin ATM berjalan tentunya.

Hati Gendhis merasa bahagia. Dari semua barang yang dipilihkan untuk nya sore itu, cincin lah yang paling membuat hatinya sangat tersentuh. Cincin itulah yang akan menjadi simbol pengikat cinta mereka, hingga tiba waktu di pelaminan nanti.

Setelah lelah membeli perlengkapan seserahan, Lintang mengajak semua penumpang mobilnya melewati sepanjang jalan Gatot Subroto, Jurangombo Selatan, Magelang Selatan. Ketika melewati depan Akademi Militer, Lintang mengurangi kecepatan mobilnya, sambil melihat Gendis dari kaca sepion di langit-langit bagian depan mobilnya. Gendis tampak tersenyum dan mengangguk seraya mengerti isyarat jodoh masa kecilnya itu. Lintang menghentikan mobilnya di dekat pintu masuk yang bertuliskan "AKADEMI MILITER".

"Kenapa berhenti, Nang?" Tanya Bu Parti sembari menengok ke kanan dan ke kiri.

Lintang gugup, sambil meletakkan kedua tangannya di atas stir mobil yang sudah terhenti. Lintang lalu membalikkan badannya ke bagian belakang mobil di mana kekasihnya duduk bersama ibunya.

"Ada apa, Lintang? Kenapa berhenti di sini?" Bu Parti masih tak mengerti.

"Bu Parti, Pak Argo... presiden Indonesia yang ke -6 dulu pernah menempuh pendidikan di sini lho..." Kata Gendis basa basi membuka percakapan.

"Lalu, apa kita sekarang mau mengunjungi Pak Presiden maksudnya?" Bu Parti masih belum dapat membaca fikiran anak bujangnya. Tapi tentu tidak dengan Pak Argo.

"Bukan seperti itu maksud Gendis, Ibu..." Jelas Lintang.

"Lalu?" Bu Parti bingung.

"Bu Parti, Pak Argo... Kalau Bapak dan Ibu merestui, mengizinkan... setelah lulus SMA nanti, Mas Lintang mau melanjutkan pendidikannya di sini." Gendis coba menjelaskan.

"Sudah Bapak duga..." Pak Argo pun angkat bicara.

Seisi mobil hanya terdiam seolah tahu jawaban dari laki-laki yang berpendirian kuat itu.

"Kalau kamu mau melanjutkan ke sini, silakan! Bapak boleh-boleh saja. Tapi jangan harap Bapak mau biayai sekolah kamu!" Pak Argo mulai naik darah.

"Eh... Bapak kok ngomongnya kayak gitu..." Bu Parti mencoba menenangkan suaminya.

"Lintang... siapa yang akan meneruskan usaha Bapak? Yang mengurus ladang Bapak? Kamu sebagai anak laki-laki satunya keturunan keluarga Mitro Dimejo harusnya sudah tahu ini." Lanjut Pak Argo.

"Tapi, Pak..." Lintang mencoba menjelaskan namun Pak Argo menghentikan.

"Lintang, dari awal Bapak tetap nggak setuju. Lagi pula, keluarga kita sudah cukup uang. Bahkan hasil ladang kita melimpah tak kan habis walau untuk anak cucumu nanti. Jadi, buat apa kamu harus sekolah di sini."

"Tapi, bukan soal uang, Pak. Ini adalah impian Lintang, cita-cita Lintang sejak kecil." Ucap Lintang.

Perdebatan keduanya pun semakin memanas.

"Bapak tahu...!" Tegas Pak Argo.

"Lalu, kenapa Bapak masih ndak setuju?" Bantah Lintang.

"Sekali tidak, tetap tidak. Dan Bapak tidak ingin bahas masalah ini lagi." Nampak kecemasan dari gurat alis mata Pak Argo yang tak dapat ia ungkap pada sesiapa.

Ia teringat masa kecilnya di mana dia selalu bermain dengan saudara laki-lakinya. Sebenarnya Pak Argo punya dua orang saudara kandung, Pak Dhe Aryo dan Pak Dhe Anto. Saat usia Pak Argo berumur tujuh tahun, ia tidak begitu ingat betul kapan kakak sulungnya menempuh pendidikan militer. Yang ia ingat, dia sangat senang melihat kakaknya jadi seorang prajurit TNI.

Hingga pada ahirnya Pak Dhe Anto di tugaskan ke sebuah pulau terpencil yang sedang bersengketa dan genjatan senjata disertai pemberontakan. Belum genap setahun kebahagiaan keluarga Mitro Dimejo, tiba-tiba kebahagiaan itu terenggut dengan duka yang amat mendalam. Pak Dhe Anto menjadi salah satu korban yang tewas dalam insiden itu. Itulah alasan terbesar Pak Argo melarang anaknya menjadi seorang prajurit.

"Sudahlah, Nang. Kamu turuti saja apa kata Bapak. Lagi pula setelah Gendis lulus SMA nanti kan kalian akan segera menikah." Bu Parti mencoba mendinginkan suasana yang sedang memanas dalam mobil itu.

Mendengar kata "menikah" Gendis tersentak, bahagia sekaligus khawatir bahwa cita-citanya menjadi seorang guru akan terpupus.

"Ibu... kita kan sudah bahas masalah ini, kalau setelah lulus SMA Gendis mau kuliah dulu." Kata Lintang.

"Kuliah sambil nikah kan bisa, Nang..." Tambah Bu Parti.

Gendis yang sedari tadi diam mengamati percakapan Lintang dengan orang tuanya itupun akhirnya angkat bicara.

"Bapak, Ibu... maaf kalau Gendis ikut campur. Tapi, apa tidak sebaiknya Pak Argo memberi Mas Lihat kesempatan untuk melanjutkan pendidikannya di sini?"

Lintang seolah mendapat angin sejuk mendengar ucapan Gendis.

"Nak, bukannya Bapak ndak seruju. Bapak cuma..." Belum selesai Pak Argo bicara, Gendis memotong dengan ucapan lembutnya.

"Cuma Pak Argo khawatir?" Tanya Gendis.

Pak Argo terdiam seolah meng iya kan jawaban calon menantu kesayangannya itu.

"Entah apa yang Pak Argo fikir dan takutkan tentang Mas Lintang, tapi percayalah... Mas Lintang akan berusaha sebaik mungkin dalam pendidikannya. Tanpa harus mengabaikan apa yang menjadi tanggung jawab Mas Lintang pada keluarganya." Gendis mencoba membujuk.

Pak Argo masih terdiam.

"Dan soal pernikahan kami... kami bisa menundanya sampai Mas Lintang selesai masa pendidikannya. Dan kami akan berusaha sebaik mungkin menjaga apa yang telah Pak Argo dan Bu Parti amanahkan kepada kami." Lanjut Gendis.

Bu Parti menganggukkan kepala, tersenyum haru, sambil memegang jemari gadis yang duduk di samping kirinya itu. Tiada yang paling mengerti keinginan seorang anak kecuali ibunya.

"Baiklah... kalau memang itu sudah menjadi keputusan kalian. Bapak hanya bisa mendoakan yang terbaik." Ahirnya Pak Argo luluh mendengar ucapan Gendis malam itu.

"Alhamdulillah... Terimakasih banyak Bapak. Lintang janji akan belajar dengan sungguh-sungguh agar tidak mengecewakan kalian." Lintang berkata sambil mencium tangan ayahnya.

"Simpan saja terimakasih mu itu untuk Gendis. Sudah ayo cepat kita makan malam terus pulang. Ndak enak sama Pak Ratno dan Bu Sari kalau pulang terlalu larut." Ucap Pak Argo.

Lintang tersenyum, menatap wajah kekasihnya itu dengan penuh haru, syukur, bahagia juga bangga memiliki calon pasangan hidup sebaik Gendis.

Tujuan terakhir perjalanan malam itu adalah rumah makan "Bu Tatik" yang ada di kawasan Mertoyudan. Rumah makan yang populer dengan menu ayam goreng ini cukup familiar di Magelang. Waktu sudah semakin larut, mereka lantas bergegas pulang menuju puncak Sumbing. Udara dingin menghempas tubuh, kabut malam semakin tebal dan jarak pandang pun semakin dekat. Dengan penuh hati-hati Lintang mengemudikan mobilnya sampai di rumah mereka.

*****

1
Nur Mashitoh
Riko cocoknya jd sahabat
Hairun Nisa
Kalau Lintang n Arnold masih Taruna, berarti Gaby yg sudah jadi Dokter... usianya jauh lebih tua donk ya?
Gandis juga baru lulus SMA kok bisa langsung jadi guru?
Nur Mashitoh
Tah jodohmu yg nolongin Dhis
Nur Mashitoh
kasihan Gendhis..beruntunglah nanti yg dpt jodoh Gendhis
Nur Mashitoh
Gala jodohnya Gendhis nih..sama² hatinya suci
Nur Mashitoh
pantaslah klo Lintang ga berjodoh dgn Gendhis yg sholeha karna Lintang punya sisi liar yg terpendam
Hera
👍🏻👍🏻👍🏻
Ruzita Ismail
Luar biasa
⚘Senja
alur critanya mirip sinetron india "Anandi". ini menurutku ya kakak.
Afida Punya Hayat
bagus, ceritanya menarik
Sandisalbiah
penyesalan itu emang dari dulu selalu gak patuh dgn peraturan krn dia selalu datang terlambat dan sayangnya sampe sekarang gak ada yg bisa menegurnya buat sadar... hadehh.. lintang.. terima nasib aja deh...
Sandisalbiah
nah lo... sakit gak tuh... kamu yg menabur angin lintang, maka kamu yg akan menuai baday... tinggal nunggu karma buat si geby...
Sandisalbiah
karma mulai mereyap mendekat kehidupan lintang.. hemmm... selamat menikmati.... hubungan yg diawali dgn yg salah dan kebohongan juga hanya berlandaskan nafsu yaaa.. endingnya begini... rumah tangganya kacau...
Sandisalbiah
simalakama gini mah....
Sandisalbiah
nah.. makan yg kenyang hasil karya mu lintang... biar warga tau semua kebobrok kan mu... enak aja mau ngikat Ghendis, gak rela Ghendis diambil cowok aini... situ waras.... dasar kang selingkuh...
Sandisalbiah
thor.. enaknya si lintang ini kita ceburin ke kawah merapi yuk... udah egois, songong pula... pengen tak pites itu org...
N. Mudhayati: 😆😆😆 setuju bangeeet kakak.... 👍👍
total 1 replies
Sandisalbiah
pengecut berkedok pahlawan bertopeng kamu Lintang.. banci yg berkaris atas dukungan Lintang tp kamu bagai kacang lupa akan kulinya... jd gak sabar pengen lihat karma apa yg akan kamu terima karena tega menyakiti gadis yg tulus seperti Ghendis
Sandisalbiah
gak gampang buat nyembuhin luka hati pak dosen... se enggak nya perlu waktu dan kesabaran... semangat pak Gala... obatin dulu luka hati Ghendis baru rengkuh hatinya...
enokaxis_
bagus
Noer Anisa Noerma
lanjuuutttttt
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!