Aku membuka mata di sebuah ranjang berkelambu mewah, dikelilingi aroma parfum bunga yang asing.
Cermin di depanku memantulkan sosok wanita bertubuh besar, dengan tatapan garang dan senyum sinis—sosok yang di dunia ini dikenal sebagai Nyonya Jenderal, istri resmi lelaki berkuasa di tanah jajahan.
Sayangnya, dia juga adalah wanita yang paling dibenci semua orang. Suaminya tak pernah menatapnya dengan cinta. Anak kembarnya menghindar setiap kali dia mendekat. Para pelayan gemetar bila dipanggil.
Menurut cerita di novel yang pernah kubaca, hidup wanita ini berakhir tragis: ditinggalkan, dikhianati, dan mati sendirian.
Tapi aku… tidak akan membiarkan itu terjadi.
Aku akan mengubah tubuh gendut ini menjadi langsing dan memesona.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ICHA Lauren, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan Pertama
Tak butuh waktu lama, roti gambang yang dibagikan Nateya pun habis. Kerumunan yang tadi riuh mulai mereda, tetapi beberapa penduduk yang belum kebagian tampak kecewa. Anak-anak kecil menatap dengan mata penuh harap, sementara seorang bapak tua bersuara getir.
“Nyonya, kami juga ingin mencicipi. Apakah tidak ada yang tersisa?"
Nateya menatap wajah-wajah itu dengan iba. Ia menghela napas dalam, lalu menjawab lembut.
“Maaf, untuk hari ini memang sudah habis. Tapi jangan khawatir, aku akan kembali lagi. Bukan hanya kue gambang, tapi dengan tambahan makanan lain."
Ucapan itu membuat beberapa orang mengangguk pasrah. Seorang ibu muda memeluk anaknya sambil berucap. “Terima kasih, Nyonya. Setidaknya hari ini anak kami bisa tersenyum.”
Sorak ucapan terima kasih pun mengiringi langkah Nateya saat ia mohon diri. Membuat Nateya mengulum senyum tipis. Akhirnya, ia berhasil menghapus citra buruk Seruni di mata penduduk pribumi.
Victor segera bergerak sigap. Bersama seorang serdadu Belanda yang tadi berjaga, ia mengawal Nateya kembali ke mobil.
Begitu pintu mobil terbuka, Julian yang sedari tadi duduk tegang, menatap ibunya dengan sorot lega.
“Mama… Mama sangat berani tadi,” katanya penuh kekaguman.
Nateya tersenyum, mengusap pipi Julian dengan lembut.
“Ini sudah kewajiban Mama. Bagaimanapun, Mama punya darah Jawa yang mengalir dalam tubuh Mama. Jadi, Mama bisa merasakan penderitaan rakyat yang terjajah.”
Mendengar ucapan sang ibu, Julian terdiam seperti merenungkan sesuatu.
“Dan kau juga punya nenek orang Jawa, Julian. Itu artinya kau pun harus peduli. Suatu hari nanti, ingatlah… rakyat kita butuh pemimpin yang bisa memahami derita mereka," lanjut Nateya menasihati Julian.
Julian mengangguk mantap, seakan menyimpan kata-kata itu dalam hatinya.
“Apakah kita akan kemari lagi, Mama?” tanyanya penuh harap.
Nateya tersenyum. “Tentu saja. Lain kali Mama akan membagikan beras. Itu jauh lebih mengenyangkan.”
Victor yang duduk di kursi depan, ikut mendengarkan percakapan itu, lalu kembali memusatkan perhatian ke jalan.
Ia mengemudikan mobil keluar dari kampung. Melintasi jalan becek yang dipenuhi rumah reyot, dan anak-anak kurus yang masih melambaikan tangan pada mereka.
Tak lama kemudian, mobil meluncur di jalan raya yang lebih lapang. Nateya bersandar di kursi, tangannya masih menggenggam lembut tangan Julian.
Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, mereka pun tiba di rumah besar yang megah, kontras dengan pemandangan kampung yang baru saja mereka tinggalkan.
Victor bergegas turun, membantu Nateya dan Julian keluar dari mobil.
“Victor, setelah ini kau jemput Anelis di sekolah. Pastikan dia tidak menunggu terlalu lama," titah Nateya sembari menuntun Julian ke pintu.
“Baik, Nyonya,” jawab Victor menunduk hormat.
Setelah Victor naik ke mobil, Nateya masuk ke rumah bersama Julian. Namun, ketika sampai di ruang tengah, langkah mereka langsung terhenti.
Di sana, telah duduk seorang pria dengan sorot mata tajam.
Elias sudah menunggu. Kedua tangannya bertaut di depan dada, menandakan ia sudah lama menanti.
Wajah Julian berubah panik, ketika mendengar suara berat Elias yang terarah kepadanya.
“Julian, mengapa kau sudah pulang? Bukankah seharusnya kau masih berada di sekolah saat ini?”
Suasana ruang tengah mendadak membeku.
Julian hanya menunduk dalam, bahunya sedikit bergetar. Ia sama sekali tidak berani menatap wajah sang ayah yang dingin.
Melihat anaknya diliputi rasa takut, Nateya segera maju selangkah dan angkat bicara.
“Julian tidak bisa belajar di sekolah hari ini, juga empat hari ke depan. Dia dijatuhi skorsing oleh kepala sekolah.”
Elias sontak mengernyit. “Dia dihukum?"
Nateya menahan napas sejenak, lalu menjawab.
“Bukan hanya Julian. Andrew juga menerima skorsing. Keduanya dijatuhi hukuman disiplin.”
Wajah Elias mengeras. Ia menghampiri Nateya dengan langkah berat yang menghentak lantai.
“Kau bertengkar dengan Eleanor di sekolah?” suaranya menekan, penuh tuduhan. “Kenapa kau tidak mau mendengarku? Kenapa harus membiarkan semuanya berakhir begini, hingga Julian justru ikut terkena hukuman?”
Di luar dugaan, sebelum Nateya sempat menepis tuduhan itu, Julian lebih dulu berani angkat bicara. Ia mendongak memandang Elias, meski dengan suara bergetar.
“Papa, jangan memarahi Mama.”
Elias terdiam seketika, kaget mendengar itu keluar dari mulut putranya.
“Justru Mama yang sudah membela aku di depan kepala sekolah. Aku dihukum karena aku memang meninju hidung Andrew. Aku tidak lari dari kesalahan, aku akan menerimanya. Tapi, aku senang karena Andrew juga dihukum setimpal. Setelah ini, dia tidak akan berani mengganggu Anelis lagi."
Ruangan hening sejenak. Elias menatap putranya dengan mata melebar, seolah tak percaya. Anak lelaki yang selama ini selalu membenci ibunya, kini berdiri tegak sebagai pembela.
Julian menarik napas, lalu menambahkan.
“Aku tetap akan belajar selama di rumah. Aku tidak mau ketinggalan pelajaran.”
Mendengar keteguhan itu, perlahan wajah Elias melunak. Tangannya yang besar dan tegas mengelus kepala putranya dengan lembut.
“Papa bangga padamu. Kau bersikap ksatria, jujur, dan bertanggung jawab. Kau sudah semakin besar sekarang.”
Julian menunduk, ada cahaya haru yang berkilat di matanya.
Sesudah memahami apa yang dialami putranya, Elias pun memanggil Bi Warti.
“Temani Julian ke kamar untuk istirahat."
“Baik, Tuan,” jawab Bi Warti sambil mendekati Julian.
Anak itu pun menatap sekilas ke arah ibunya, sebelum berjalan bersama Bi Warti.
Kini, ruang tengah hanya menyisakan Nateya dan Elias. Hening sempat menyelimuti beberapa saat, sampai akhirnya Elias membuka suara.
“Ragnar sudah sadar semalam. Dan pagi ini, dia mulai bisa bicara, bahkan makan sedikit.”
Ada jeda, lalu dengan nada enggan, Elias menambahkan.
“Untuk itu, aku harus berterima kasih padamu, Seruni.”
“Aku tidak butuh ucapan terima kasih. Bagiku, yang terpenting Ragnar sudah selamat," sahut Nateya dingin.
"Tapi, aku akan menagih janji."
Mata Elias langsung menyipit, sorotnya penuh kewaspadaan.
“Kau akan mengajukan permintaan?”
“Ya. Permintaan pertamaku.”
Elias menegakkan tubuhnya, suaranya kini datar tetapi penuh tekanan.
“Sebutkan. Selama itu tidak mencelakai orang lain, dan tidak melanggar sumpahku sebagai seorang prajurit, akan kupenuhi.”
Nateya memutar bola matanya malas. Ia sudah menduga bahwa Elias akan menuduhnya meminta hal-hal yang buruk. Lelaki ini sungguh tidak pantas menjadi suami Seruni.
“Setelah Ragnar pulih seratus persen, aku ingin dia yang menjadi ajudanku. Dan Victor, kau harus mengembalikannya ke barak militer.”
Seketika wajah Elias berubah drastis. Ia tertegun, hampir tidak percaya mendengar permintaan yang terlontar dari bibir istrinya.