Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.
Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.
Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 20
Amina menarik napas panjang, matanya menyapu seluruh ruangan dengan cepat. Klub malam tempat mafia sering berkumpul ini bukan sekadar tempat hiburan, ini sarang informasi, tempat di mana transaksi besar terjadi dengan kedok pesta dan tawa.
Lampu remang-remang menciptakan bayang-bayang panjang di dinding. Musik berdentum, membuat lantai bergetar pelan di bawah kakinya. Orang-orang tertawa, bersulang, dan berbisik di sudut-sudut ruangan. Tapi Amina tidak tertarik pada semua itu. Dia hanya ingin satu hal yaitu bukti.
Duduk di bar, dia menyesap Virgin Mojito dengan tenang. Mata-matanya mengamati dua pria di pojok ruangan: Michael dan Lorenzo. Dua orang ini adalah sosok yang mulai mencurigainya.
"Mereka mulai memperhatikanku. Bukan pertanda bagus."
Michael, pria bertubuh kekar dengan bekas luka di pipi kirinya, tengah berbicara dengan Lorenzo, pria berambut gelap yang selalu tampak licik seperti musang. Mereka mencuri pandang ke arahnya, lalu berpura-pura asyik mengobrol.
Amina pura-pura tidak peduli. Tapi pikirannya bekerja keras.
"Harus lebih hati-hati. Mereka pasti sedang mencari celah."
Sebuah suara mengagetkannya.
"Kau terlihat terlalu serius untuk seseorang yang ada di pesta."
Amina menoleh. Alexander sudah berdiri di sampingnya, mengenakan jas hitam yang terlihat mahal, dengan ekspresi percaya diri yang selalu menyebalkan.
"Kau terlambat," gumam Amina, meletakkan gelasnya.
Alexander menyeringai. "Kau tahu aku suka membuat grand entrance."
"Sayangnya, aku tidak peduli dengan gayamu," balas Amina ketus.
Alexander tertawa kecil, lalu melirik ke arah Michael dan Lorenzo. "Mereka sudah mulai mempertanyakanmu?"
Amina mengangguk. "Aku harus lebih berhati-hati. Mereka mengawasi siapa saja yang berbicara denganku."
Alexander menghela napas, lalu duduk di sampingnya. "Kau butuh sesuatu untuk memperkuat posisimu. Bukti, aliansi, atau... skandal kecil yang bisa mengalihkan perhatian mereka."
Amina meliriknya curiga. "Skandal?"
Alexander tersenyum licik. "Misalnya, membuat mereka percaya bahwa kau adalah seseorang yang memiliki kepentingan lain. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar mata-mata."
Amina mendengus. "Kau ingin aku berpura-pura menjadi pemain besar?"
"Kau sudah ada di permainan ini, Amina. Kau hanya perlu mengendalikan narasi sebelum orang lain melakukannya."
Amina berpikir sejenak. Memang benar. Jika dia hanya bertahan dalam bayang-bayang, cepat atau lambat mereka akan mengendus niatnya yang sebenarnya. Dia harus membentuk ulang persepsi mereka.
Namun sebelum dia bisa menjawab, suara notifikasi di ponselnya bergetar di dalam tas. Theodore.
Dia segera membuka pesan itu.
"Aku sudah masuk ke dalam sistem keuangan mereka. Kau harus lihat ini. Ada transaksi mencurigakan ke rekening yang tidak dikenal. Aku mengirimkan detailnya sekarang."
Amina menahan napas. Ini yang dia cari.
Alexander memperhatikan ekspresinya dan menyipitkan mata. "Kabar baik?"
Amina menatapnya, lalu dengan cepat memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. "Aku harus pergi. Ada sesuatu yang harus kuperiksa."
Alexander menyandarkan diri ke kursi. "Jangan membuat kekacauan."
Amina berdiri, tersenyum tipis. "Aku selalu rapi dalam bekerja."
Di apartemennya, Amina segera menyalakan laptopnya dan membuka berkas yang dikirim Theodore. Matanya menelusuri angka-angka yang berkedip di layar.
Ada transaksi besar yang dilakukan dalam jumlah yang sangat tidak masuk akal. Uang dalam jumlah miliaran dipindahkan ke akun anonim, dan pola transaksi itu menunjukkan sesuatu yang lebih dari sekadar perdagangan ilegal.
"Ini bukan hanya tentang mafia biasa. Ini jauh lebih besar."
Dia mengetik pesan cepat ke Theodore.
"Apa kau bisa melacak siapa pemilik rekening ini?"
Beberapa detik kemudian, Theodore membalas.
"Bingo."
Theodore menyeringai, jari-jarinya menari di atas keyboard dengan kecepatan luar biasa. Cahaya dari layar komputer mencerminkan angka-angka dan nama yang berkedip di kacamata bulatnya. Amina berdiri di belakangnya, tangan bersedekap, matanya tajam menelusuri setiap informasi yang muncul.
"Apa kita baru saja menemukan sesuatu yang besar?" tanya Amina, suaranya pelan, tapi tegang.
"Lebih besar dari yang kupikirkan," jawab Theodore. "Ada transaksi mencurigakan. Sejumlah uang dalam jumlah gila-gilaan dipindahkan ke rekening tersembunyi."
Amina mendekat, menyipitkan mata. "Dari mafia saingan?"
Theodore menggeleng. "Justru dari dalam organisasi mereka sendiri."
Amina menahan napas. Ini buruk. Sangat buruk. Jika seseorang dari dalam sendiri berkhianat, berarti situasinya jauh lebih berbahaya dari yang ia perkirakan.
Theodore menoleh, ekspresi cerianya lenyap. "Amina, kamu masih bisa mundur sekarang."
Amina menghela napas panjang. "Kamu tahu aku tidak akan mundur, kan?"
Theodore mengusap wajahnya. "Ya, aku tahu. Makanya aku khawatir."
Amina tersenyum kecil, mencoba meredakan ketegangan, meskipun dadanya sesak. "Jangan khawatir. Aku akan tetap hati-hati."
Theodore mendecak. "Itulah yang selalu kamu katakan sebelum kamu berakhir dalam situasi yang nyaris membunuhmu."
Di sisi lain kota...
Michael bersandar pada mobilnya, menyalakan rokok, sementara Lorenzo berdiri di sebelahnya dengan wajah penuh kecurigaan.
"Aku tidak suka perempuan itu," gumam Lorenzo.
Michael menghembuskan asap perlahan. "Kita belum tahu pasti dia siapa."
"Itu justru masalahnya," Lorenzo menyipitkan mata. "Dia terlalu... tenang. Terlalu pintar. Seolah dia sudah punya rencana jauh sebelum dia masuk ke dalam kelompok ini."
Michael membuang puntung rokoknya, lalu menatap Lorenzo. "Kalau begitu, kita cari tahu rencananya."
Lorenzo mengangguk. "Aku sudah menyuruh anak buahku mengawasinya."
Michael tersenyum tipis. "Bagus. Mari kita lihat seberapa dalam dia bisa bermain sebelum terjebak."
Malam itu... Amina berjalan menuju tempat persembunyiannya dengan perasaan tidak enak. Jalanan gang sempit yang biasanya terasa biasa saja kini tampak berbeda—terlalu sunyi, terlalu rapi. Instingnya menjerit.
Sial.
Dia mempercepat langkah, tetapi terlambat.
Sebuah tangan kasar menutup mulutnya dari belakang. Sebelum sempat melawan, sesuatu menghantam kepalanya. Rasa sakit menusuk tengkoraknya, lalu semuanya menjadi gelap.
Ketika sadar... Kepalanya berdenyut hebat. Udara di sekitarnya dingin dan lembap. Aroma tanah basah dan besi berkarat memenuhi hidungnya.
Amina membuka mata perlahan.
Ruang bawah tanah. Gelap. Batu-batu kasar yang dingin menekan punggungnya. Tangannya diikat di belakang kursi, begitu pula kakinya.
Dia menghela napas panjang, menenangkan diri. Tidak ada gunanya panik.
Langkah kaki menggema di ruangan.
Pintu berderit terbuka. Cahaya dari luar menusuk masuk, menampilkan sosok yang berdiri di ambang pintu.
Alexander.
Tapi wajahnya bukan penuh kekhawatiran, bukan juga kelegaan. Melainkan... amarah.
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.