Apa yang kamu lakukan jika kamu tahu bahwa kau sebenarnya hanya seonggok pena yang ditulis oleh seorang creator, apa yang kau lakukan jika duniamu hanya sebuah kertas dan pena.
inilah kisah Lu San seorang makhluk tertinggi yang menyadari bahwa dia hanyalah sebuah pena yang dikendalikan oleh sang creator.
Dari perjalananya yang awalnya karena bosan karena sendirian hingga dia bisa menembus domain reality bahkan true reality.
seseorang yang mendambakan kebebasan dan kekuatan, tapi apakah Lu San bisa mendapatkan kebebasan dan mencapai true reality yang bahkan sang creator sendiri tidak dapat menyentuhnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rumah pena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Perpustakaan Tanpa Nama
Di ujung ruang dan waktu dunia immortal, Lu San dan Ling Yue berdiri di hadapan sebuah gerbang raksasa. Tingginya tak terukur, melintasi dimensi hingga ke batas realitas. Gerbang itu tampak kuno, retak-retak seperti hampir runtuh, namun dari celah-celahnya, cahaya aneh menyala, mengalir seperti tinta emas.
Ling Yue melirik Lu San.
“Kau yakin ini jalannya?”
Lu San mengangguk pelan.
“Di balik sini, ada sesuatu yang tidak bisa diakses oleh siapa pun kecuali mereka yang telah menolak narasi.”
Ling Yue diam. Dia menatap gerbang itu seolah melihat kenangan yang bukan miliknya. Matanya bergetar sesaat.
“Perpustakaan Tanpa Nama... tempat di mana semua cerita lahir dan mati.”
Lu San melangkah maju, jarinya menyentuh permukaan gerbang. Ada resonansi halus yang menyebar dari kontak itu, membuat udara bergetar.
Kemudian, perlahan-lahan, gerbang itu terbuka.
Sret...
Dari celah yang terbuka, bukan cahaya yang keluar, melainkan kegelapan pekat. Namun, di dalam kegelapan itu, ada aliran huruf, kata-kata, frasa, yang membentuk jalan. Jalan itu tidak terbuat dari batu atau tanah, tapi dari tinta solid.
“Jangan pikirkan apa pun,” bisik Lu San, “kalau kau berpikir sesuatu, tempat ini akan menulis ulang isi kepalamu.”
Ling Yue menarik napas dalam-dalam dan mengikuti langkah Lu San masuk ke dalam.
Begitu melewati ambang gerbang, dunia berubah. Tidak ada suara, tidak ada waktu. Semua terasa hening. Tapi setiap langkah mereka menghasilkan tulisan di bawah kaki kata-kata yang membentuk kisah baru di setiap tapakan.
Langit-langit lorong penuh dengan gulungan naskah.
Ada suara samar... bisikan, percakapan, jeritan, dan tangisan.
“Ini adalah kisah yang telah terlupakan,” ujar Lu San pelan.
“Kisah yang tidak pernah selesai. Atau sengaja tidak dibiarkan selesai.”
Ling Yue mengerutkan kening.
“Kalau begitu, apa yang terjadi pada tokoh dalam kisah itu?”
Lu San berhenti sejenak, menunjuk ke sebuah dinding.
Dinding itu memiliki bayangan-bayangan samar. Wajah-wajah yang tampak kosong, seperti karakter yang kehilangan tujuan.
“Mereka menunggu. Abadi. Terjebak. Tanpa akhir, tanpa awal.”
Ling Yue menunduk. Dia bisa merasakan penderitaan yang melampaui kematian, melampaui apapun.
“Kalau aku tidak bertemu kau waktu itu, aku mungkin di sini,” bisiknya.
Lu San menatapnya sebentar, lalu melanjutkan perjalanan.
Beberapa langkah kemudian, lorong terbuka ke sebuah aula raksasa.
Di tengah aula, ada pohon tinta. Akarnya menjalar di lantai, cabangnya melingkar sampai menembus langit aula. Dari setiap cabangnya, menggantung buku-buku tanpa sampul, halaman-halaman kosong yang meneteskan tinta.
Di bawah pohon itu, ada sebuah meja, dan di belakang meja duduk sosok berjubah abu-abu. Wajahnya tersembunyi oleh tudung, namun di depannya terbuka gulungan-gulungan kitab, pena-pena yang melayang perlahan, menulis tanpa henti.
Itulah Pustakawan Kosong.
Makhluk yang katanya membaca semua naskah, tahu akhir dan awal segala cerita.
“Dia sudah tahu kita datang,” ucap Lu San.
Ling Yue menarik napas pelan dan mengikuti.
Mereka melangkah mendekat, dan tanpa menunggu sapaan, Pustakawan Kosong berkata.
“Lu San... dan Ling Yue. Dua makhluk yang ingin keluar dari lembaran cerita.”
Suaranya serak, seperti suara kertas digesek.
Lu San menatap kosong.
“Aku ingin tahu bagaimana keluar dari narasi.”
Pustakawan itu mengangkat tangannya.
Sebuah pena melayang ke tangan Lu San. Pena itu putih, berbeda dengan pena hitam yang biasa digunakan para Kreator.
“Ini adalah Pena Kosong,” kata Pustakawan.
“Dengan ini, kau bisa menulis ulang bagian dari dirimu. Tapi, hanya sebagian. Ini bukan jalan keluar.”
Lu San menatap pena itu.
“Apa artinya?”
Pustakawan Kosong perlahan berdiri. Sosoknya makin tinggi, hampir menyentuh cabang-cabang pohon tinta.
“Untuk keluar dari narasi, kau harus menemukan Halaman Putih Asli. Halaman pertama dari semua cerita. Tempat di mana tidak ada aturan. Tidak ada tinta. Tidak ada tangan yang menulis.”
Ling Yue terbelalak.
“Di mana itu?”
Pustakawan menunjuk ke atas pohon tinta.
“Di puncak pohon ini... atau di dasar dunia.”
Lu San menggenggam Pena Kosong erat-erat.
“Aku akan ke sana.”
Namun sebelum dia melangkah, Pustakawan menurunkan tangannya.
“Ada harga.”
Langit-langit aula bergetar. Cabang-cabang pohon tinta menggeliat.
“Setiap langkah mendekati Halaman Putih akan membuatmu kehilangan bagian dari eksistensimu. Ingatanmu. Dirimu. Hingga kau hanya... kosong.”
Lu San tersenyum tipis.
“Aku sudah kosong sejak lama.”
Ling Yue menggenggam tangannya erat.
“Aku ikut.”
Pustakawan Kosong terdiam.
“Baiklah... naiklah.”
Pohon itu ternyata bukan hanya pohon biasa. Cabangnya membentuk jalan, namun setiap jalan bercabang lagi, menciptakan labirin tanpa ujung.
Langkah pertama, Lu San dan Ling Yue berjalan di atas cabang yang rapuh. Di bawah mereka, tinta pekat mendidih.
Setiap cabang yang mereka pijak, muncul tulisan baru di kulit cabang.
Tulisan itu mulai menyebut nama mereka, ingatan mereka, kisah mereka.
Ling Yue mulai merasa pusing.
“Ini... seperti ada yang mengambil pikiranku.”
Lu San meraih bahunya.
“Fokus. Jangan pikirkan apa pun selain langkah.”
Mereka terus berjalan, namun cabang makin tipis. Angin bertiup kencang, membawa suara-suara masa lalu mereka.
“Ayahmu mati karenamu...” bisik angin ke telinga Ling Yue.
“Semua yang kau lindungi akhirnya musnah...” desis angin ke telinga Lu San.
Ling Yue hampir terjatuh, namun Lu San menarik tangannya.
“Fokus!” serunya.
Di atas sana, mereka melihat cahaya samar cahaya putih.
Itu adalah Halaman Putih Asli.
Namun, dari samping, ada sosok lain yang mendekat.
Siluet besar, berbaju hitam, dengan sayap tinta hitam yang mengepak pelan.
“Kael’Thar,” gumam Lu San.
Kael’Thar tidak menyerang, hanya melayang di udara.
“Kalian sampai juga,” katanya pelan.
“Tapi tidak ada yang keluar dari cerita tanpa melewati ujian terakhir.”
Lu San menatap tajam.
“Aku sudah melewati semua ujian.”
Kael’Thar tersenyum samar.
“Belum. Sekarang kalian harus menulis ulang satu-satunya cerita yang tidak bisa diubah.”
“Apa itu?” tanya Ling Yue.
Kael’Thar menunjuk ke dada mereka.
“Dirimu sendiri.”
Di hadapan mereka, muncul dua buku.
Buku itu kosong, tapi ada satu kalimat di halaman pertama:
“Ini adalah aku.”
Kael’Thar melanjutkan.
“Tulis siapa kau sebenarnya... atau hancur di sini.”
Lu San menggenggam Pena Kosong, lalu menulis perlahan di halaman itu.
Tangannya gemetar. Setiap kata yang dia tulis, bagian dari dirinya menghilang.
Ingatan, rasa, masa lalu... semuanya larut.
Ling Yue melakukan hal yang sama.
Air mata mengalir dari matanya.
“Aku... aku hanya ingin bebas...” tulisnya.
Begitu mereka selesai, buku itu menyala.
Tubuh mereka terasa ringan.
Semua rasa sakit, semua ikatan, semua beban... hilang.
Kael’Thar tersenyum.
“Kalian... berhasil.”
Namun, saat Lu San hendak melangkah ke Halaman Putih, Kael’Thar menahan.
“Aku ingin melihat ke mana kau akan pergi setelah ini.”
Lu San menatapnya dingin.
“Aku akan keluar dari cerita ini. Dan kau... tetap di sini.”
Kael’Thar tertawa pelan.
“Kita lihat saja nanti.”
Menuju Halaman Putih
Langkah terakhir.
Lu San dan Ling Yue melangkah ke cahaya putih. Di sana, tidak ada apa pun. Hanya putih.
Tidak ada cerita.
Tidak ada narasi.
Lu San menatap sekeliling.
“Aku... di sini.”
Ling Yue menggenggam tangannya.
“Kita bebas?”
Lu San tersenyum.
“Kita baru mulai.”
Cahaya itu menyelimuti mereka.
Di kejauhan, Pustakawan Kosong menutup bukunya, dan dunia di Perpustakaan Tanpa Nama mulai runtuh.
Sebuah era baru dimulai.
Bersambung..