"Kau masih gadis?"
"I-iya, Tuan."
"Bagus. Kita akan membuktikannya. Kalau kau berbohong, kau akan tahu apa akibatnya."
Bab 20
Akhirnya ia berhasil menemukan berkas-berkas miliknya, ia memasukkan buku jurnalnya ke tas, beberapa lembar pakaian dan juga barang-barang pribadi lainnya. Gadis itu berhasil mengantongi benda-benda tersebut sampai tiga tas, lalu ia pergi ke flat Maria dan menitipkan barang-barang itu ke flat Maria dan berkata jika Maria menggunakan mobilnya saat mampir nanti, temannya itu bersedia membantu membawakan tas-tas itu.
"Astaga!"
"Ada apa?"
"Aku melupakan sesuatu."
"Sesuatu?"
"Ya, aku meninggalkan sertifikat rumah, padahal tadi aku sudah berniat memasukkannya ke tas."
"Kau akan kembali?"
"Ya, sebentar saja, Maria."
"Aku boleh pergi bersamamu?"
"Tidak perlu, kau di sini saja."
"Kau yakin?"
"Aku yakin, aku akan segera kembali. Lagi pula rumahku dekat dari sini."
"Baiklah."
Maka Ariella pun pergi, ia memasuki rumah itu lagi, dan berjalan perlahan menuju laci.
"Ini dia."
Tepat setelah itu. Sebuah tangan terulur dari kegelapan, merenggut Ariella, telapak tangan yang kasar dan lebar menutupi mulutnya. Ariella melepaskan semua benda yang ada di tangannya, lalu ia mencoba memberontak marah, suara kasar menyambangi telinganya. Bagaikan petir dia siang bolong.
"Kena kau, Gadis Nakal! Jangan memberontak atau kau akan tahu akibatnya!"
"Mmmphh!"
Ariella tidak mendengarkan, ia mendorong dirinya agar terlepas, tetapi pria itu tidak memberinya kesempatan. Ariella diseret ke ruang tamu, lalu ia didorong sampai jatuh tersungkur.
Tangan-tangan besar dan kasar meraihnya lagi.
Tangan-tangan itu membuat blus tipis Ariella sobek. Lalu mereka mencoba menyentuh kulitnya yang telanjang.
Kali ini mereka tidak sedikit pun menahan diri.
Lampu dihidupkan, tempat itu seketika menjadi terang sampai Ariella tidak dapat melihat, lalu tangan-tangan itu menahannya di atas meja ruang tamu.
Seseorang membungkuk di atas Ariella, mengacungkan pisau bedah yang kecil ke depan wajahnya.
"Ariella Rosewood, apa kau tahu di mana ayah dan ibumu?"
Ariella menggeleng-geleng.
"Lepaskan aku!" Suaranya tercekik. Itu para penagih hutang.
"Aku sudah muak denganmu, Gadis Kecil. Kau tidak mau melunasi hutang-hutangmu, baiklah. Tidak apa-apa."
Pria itu menjilat si pisau bedah seperti psikopat.
"Kau hanya perlu diam saat kami mengeluarkan ginjal, hati, jantung, juga kedua matamu yang indah ini."
Tubuh Ariella menggigil ketakutan.
"Tidak, jangan bunuh aku!"
"Itu bahkan belum cukup membayar hutang-hutangmu, Manis."
Pria itu mengernyit, melihat ke arah dada Ariella yang terbuka dan hanya tertutup bra hitam, mengusapnya dengan lembut sebelum mengelus pahanya yang tidak tertutup karena rok pendeknya tersibak.
"Hmm... kau memiliki wajah yang sangat cantik rupanya. Kurasa aku bisa menahan hukumanmu sampai beberapa hari. Bos pasti akan senang jika aku menyerahkanmu padanya."
Pria itu menyeringai.
"Setelah dia bosan, aku akan senang menampungmu di basecamp. Aku punya banyak anggota pria, mereka pasti akan senang jika kau ikut bergabung."
Pria itu menggoreskan pisaunya ke leher Ariella, membuat ukiran berhuruf T besar, Ariella menjerit kesakitan, ia memberontak sementara orang-orang itu tertawa, memegangi kedua tangan dan kakinya. Pisau bedah itu kini di arahkan ke dada Ariella, membuat ukiran huruf lain.
"Sakit! Kumohon hentikan!"
Ariella mengerang kesakitan, tubuhnya bergetar, mengejang, merasakan perih menusuk daging dan kulitnya saat pria itu masih terus menggoreskan pisau, darah segar mengalir keluar, bercampur dengan air mata Ariella.
"Apa ini sakit, Gadis Kecil? Yeah, ini belum seberapa dengan rasa sakit yang akan kau terima nanti. Aku akan membuka perutmu, mungkin aku akan memberimu sedikit narkoba agar adrenalinmu terpacu dan kau tetap sadar. Melihat saat aku mengeluarkan ginjal, usus dan juga bagian lainnya. Itu pasti akan menyenangkan."
Tepat di saat itu, pintu didobrak dan suara letusan senjata api menyusul.
"Tiarap!"
Tetapi mereka terlambat menghindar.