Alya tidak pernah menyangka hidupnya yang biasa akan berubah selamanya saat ia bertemu dengan Rheyan, sosok pria misterius dengan tatapan kelam dan aura yang terlalu menggoda. Ia datang di saat-saat antara hidup dan mati, membawa takdir yang tak bisa dihindari. Tapi yang tak ia duga, sang malaikat maut justru terpikat oleh kelembutan dan keberaniannya.
Di sisi lain, ada Davin, dokter penuh kasih yang selalu ada untuk Alya. Ia menawarkan dunia yang nyata, cinta yang hangat, dan perlindungan dari kegelapan yang perlahan menyelimuti kehidupan Alya.
Namun, cinta di antara mereka bukanlah hal yang sederhana. Rheyan terikat oleh aturan surgawi—malaikat maut tak boleh mencintai manusia. Sementara Alya harus memilih: menyerahkan hatinya pada keabadian yang penuh bahaya atau tetap berpijak pada dunia fana dengan seseorang yang bisa menjanjikan masa depan.
Ketika batas antara surga dan bumi kabur, bisakah cinta mengubah takdir? Atau justru cinta itu sendiri yang akan menghancurkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irnu R, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kenyataan yang Tidak Bisa Dipungkiri
Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Angin yang berembus melalui celah jendela membawa serta udara lembap yang menusuk kulit. Alya menarik selimutnya lebih erat, berusaha mencari kehangatan, tetapi tubuhnya tetap terasa dingin. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan.
Davin menatapnya dari seberang ruangan, ekspresi wajahnya sulit dibaca. Sudah beberapa menit berlalu sejak pria itu mengucapkan kalimat itu, tetapi Alya masih diam.
"Alya… aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padamu, tapi aku tahu satu hal. Aku ingin melindungimu."
Suara Davin terdengar mantap, penuh ketulusan. Alya tahu bahwa pria itu benar-benar serius, tapi mengapa justru dadanya terasa sesak?
Alya mengangkat kepalanya perlahan, menatap Davin. Ia melihat kelelahan di matanya, tetapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang membuatnya ingin percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, semuanya bisa kembali normal jika ia menerima tangan yang terulur padanya.
"Kenapa?" tanyanya lirih.
Davin tampak terkejut. "Kenapa apa?"
"Kenapa kamu ingin melindungiku? Aku bahkan tidak bisa memahami diriku sendiri."
Davin menghela napas pelan, lalu tersenyum kecil. "Karena aku peduli padamu, Alya. Bukan hanya sebagai dokter yang pernah menyelamatkanmu. Aku peduli… lebih dari itu."
Jantung Alya berdetak lebih cepat. Ada sesuatu dalam kata-kata Davin yang membuatnya ingin mempercayai pria itu. Ia tahu Davin tulus, ia tahu Davin tidak akan pernah menyakitinya.
Lalu kenapa hatinya terasa kosong setiap kali ia mencoba membayangkan dirinya bersama Davin?
Alya mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Kota masih terjaga di bawah cahaya lampu-lampu jalan. Kehidupan terus berjalan seperti biasa. Seharusnya ia bisa menerima kenyataan ini, bukan? Seharusnya ia bisa melupakan masa lalu, melupakan perasaan aneh yang selalu mengganggunya, dan menjalani hidup baru dengan Davin.
Namun, ada sesuatu yang tidak bisa ia singkirkan.
Alya menghela napas panjang, tetapi udara yang ia hirup terasa berat. Ada sesuatu yang tidak beres. Ia ingin mengatakan pada dirinya sendiri bahwa ini hanya karena kelelahan, bahwa pikirannya terlalu penuh dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Namun, semakin ia mencoba menyangkal, semakin hatinya berbisik sebaliknya.
Ada seseorang yang hilang. Seseorang yang seharusnya ada di sisinya.
Tapi siapa?
Mengapa rasanya seperti seseorang telah ditarik menjauh darinya—perlahan, tapi pasti?
Di tempat lain, di dunia yang tidak bisa dijangkau oleh manusia biasa, Rheyan berlutut di atas tanah tanpa bentuk.
Cahaya yang menyelimutinya semakin redup, hampir padam sepenuhnya. Tubuhnya yang dulu tak tersentuh oleh lelah kini mulai merasakan kehampaan yang mengerikan. Ini bukan sekadar kehilangan kekuatan—ini adalah ancaman lenyapnya eksistensi.
"Jangan lupakan aku, Alya…" bisiknya.
Tangannya mencengkeram udara, seolah berusaha menangkap sesuatu yang tidak kasat mata. Tetapi tidak ada yang bisa ia genggam. Tidak ada yang bisa ia bawa kembali. Jika Alya tidak segera mengingatnya… maka ia akan terhapus. Selamanya.
"Alya…"
Nama itu meluncur dari bibirnya seperti doa.
Ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa bertahan. Ia tidak tahu apakah Alya masih mengingatnya atau tidak. Tapi jika Alya benar-benar melupakannya… maka ia tidak akan pernah bisa kembali.
Namun, semuanya mulai memudar.
Jika Alya tidak mengingatnya lagi… maka dirinya akan lenyap.
Jauh di dunia manusia, Alya tiba-tiba merasakan dadanya berdenyut nyeri. Sekilas, ia merasakan hawa hangat yang aneh mengelilinginya, seolah ada seseorang yang memeluknya dari kejauhan.
Ia menoleh ke sekeliling, mencari-cari sesuatu yang tidak bisa ia pahami. Lalu, tanpa sadar, ia mengusap lengannya sendiri—ada bekas hangat di sana, seolah baru saja disentuh oleh seseorang.
Namun, tidak ada siapa-siapa.
Di dunia manusia, Alya masih menatap bayangannya sendiri di jendela. Sesuatu terasa aneh. Seolah ada celah tipis antara dirinya dan dunia ini. Seolah ia berada di antara dua realitas yang bertolak belakang.
Davin masih menunggu jawabannya.
"Aku tidak tahu, Davin," gumamnya akhirnya. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
Davin tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Alya dengan sabar, seolah memahami kebingungannya lebih dari yang bisa Alya pahami sendiri.
"Kamu tidak perlu terburu-buru," katanya akhirnya. "Aku akan tetap di sini."
Alya ingin merasa lega mendengar itu. Namun, bukannya merasa tenang, dadanya justru semakin sesak.
Malam itu, ia mencoba tidur lebih awal. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, tidurnya tidak pernah benar-benar nyenyak. Ia selalu merasa ada sesuatu yang mengawasinya dari dalam kegelapan, sesuatu yang tidak bisa ia lihat tetapi selalu ada di sana.
Saat akhirnya ia terlelap, ia merasakan sesuatu yang hangat menyentuh tangannya.
Dunia di sekitarnya bergetar, kabur seperti bayangan yang terdistorsi. Angin sejuk menyentuh kulitnya, membawa bisikan samar. Jauh di kejauhan, ia mendengar suara kepakan sayap—pelan, penuh kehati-hatian, seolah sesuatu sedang mendekatinya, tapi tak ingin terlihat.
Di depan sana, sosok itu masih berdiri. Kali ini lebih dekat. Kali ini, meskipun wajahnya masih samar, Alya bisa melihat sesuatu yang familier dari matanya. Mata itu… seharusnya tidak asing baginya.
"Siapa kamu…?" suaranya bergetar.
Sosok itu tidak menjawab. Namun, ia mengulurkan tangan.
Alya merasakan dorongan aneh untuk menyambut tangan itu, tetapi sebelum ia bisa bergerak, segalanya tiba-tiba berputar. Angin bertiup lebih kencang, suara bergemuruh memenuhi udara. Sosok itu perlahan memudar, seolah ditarik oleh sesuatu yang tidak terlihat.
"Tunggu!" Alya berusaha melangkah, tetapi kakinya terasa berat.
"Jangan lupakan aku," suara itu akhirnya terdengar, tetapi hanya seperti bisikan yang nyaris terbawa angin.
Lalu semuanya gelap.
Di dalam mimpinya, ia melihat sosok itu lagi—seseorang yang berdiri di kejauhan, wajahnya samar, tetapi terasa begitu familiar. Ia ingin mendekat, tetapi kakinya terasa berat.
"Apa yang sebenarnya aku lupakan?" bisiknya.
Sosok itu tidak menjawab. Namun, sebelum semuanya menghilang, Alya merasakan sesuatu yang aneh di dadanya—sebuah rasa kehilangan yang begitu mendalam, begitu nyata, seolah ada bagian dari dirinya yang telah lama hilang tetapi baru sekarang ia sadari.
Ketika ia terbangun, jantungnya berdebar lebih cepat. Ia menoleh ke samping, berharap melihat seseorang di sana.
Tapi kamar itu kosong.
Namun, di dalam hatinya, ia tahu…
Bahwa ia tidak benar-benar sendirian malam ini.
Ada jejak kehadiran yang tak terlihat. Ada bayangan yang mengintai dari dunia yang seharusnya tidak bisa dijangkau.
Alya mengusap dadanya yang terasa sesak. Mimpi itu… bukan sekadar mimpi biasa. Itu terasa nyata. Terlalu nyata.
Jari-jarinya masih bisa merasakan sentuhan hangat di tangannya, seolah seseorang benar-benar ada di sana, menggenggamnya dengan lembut.
"Apa aku mulai kehilangan akal sehatku?" gumamnya pada dirinya sendiri.
Tapi meskipun ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanyalah permainan pikirannya, jauh di dalam hatinya, ia tahu.
Ia tahu ada seseorang yang sedang menunggunya.
Ia tahu ada sesuatu yang belum selesai.
Dan yang paling mengganggu adalah… ia takut bahwa ia telah melupakan sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang jika ia terus lupakan, maka ia akan kehilangan segalanya.