Zefanya Alessandra merupakan salah satu mahasiswi di Kota Malang. Setiap harinya ia selalu bermimpi buruk dalam tidurnya. Menangisi seseorang yang tak pernah ia temui. Biantara Wisam dosen tampan pengganti yang berada dalam mimpinya. Mimpi mereka seperti terkoneksi satu sama lain. Keduanya memiliki mimpi yang saling berkaitan. Obat penenang adalah satu-satunya cara agar mereka mampu tidur dengan tenang. Anehnya, setiap kali mereka berinteraksi mimpi buruk itu bak hilang ditelan malam.
Hingga sampai saat masa mengabdinya usai, Bian harus kembali ke luar negeri untuk menyelesaikan studinya dan juga merintis bisnis. Saat keberangkatan, pesawat yang diduga ditumpangi Bian kecelakaan hingga menyebabkan semua awak tewas. Semenjak hari itu Zefanya selalu bergantung pada obat penenang untuk bisa hidup normal. Mimpi kecelakaan pesawat itu selalu hadir dalam tidurnya.
Akankah harapan Zefanya untuk tetap bertemu Bian akan terwujud? Ataukah semua harapannya hanya sebatas mimpi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Harti R3, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mimpi semakin Buruk
Hari sabtu, hari libur kuliah. Namun, pagi ini Zizi memiliki jadwal kontrol ke psikiatri. Mimpi buruk yang sempat hadir di setiap tidurnya, kini mulai mereda. Berharap dia bisa pulih seperti sediakala.
“Hai Zi, apa kabar?” Sapa dokter Jee ketika Zizi masuk ke ruangan.
“Baik dok, jauh lebih baik. Akhir-akhir ini tidak sering bermimpi buruk lagi.”
“Syukurlah kalau begitu. Kira-kira pada waktu apa sih mimpi itu hilang dan tiba-tiba hadir lagi?”
“Saya gak yakin dok. Tapi... saya rasa itu karena seseorang yang ada di mimpi itu.”
“Kekasih?”
“No. My lecturer.”
“Selalu berulang di hari yang samakah?”
“Tidak menentu, pertemuan itu terkadang terjadi di luar kampus tanpa kesengajaan. Mimpi itu seperti terkoneksi dengan dia. ”
Setelah beberapa waktu berkonsultasi, akhirnya Zizi tetap mendapat resep obat dari dokter Jee.
Jika memang itu tentang koneksi, coba resapi lagi. Mungkin dengan sebuah hubungan?
Zizi keluar dari gedung klinik begitu mengambil resep obat. Perkataan dokter Jee terus terngiang di benaknya. Begitu juga perkataan Bian pada hari itu.
Buat saya pacaran itu hanya buang-buang waktu. Kalau ada ikatan pasti kenapa harus pacaran?
“Apa sekarang gue berada ditaraf gila?” ia menghela nafas lebih panjang dari biasanya. Kemudian segera meninggalkan area klinik.
Sepanjang perjalanan ia terus saja terusik dengan perkataan dokter Jee. Jika memang itu tentang koneksi, coba resapi lagi. Mungkin dengan sebuah hubungan? Di sepanjang perjalanan pula ia melihat semua motor dengan penumpang. Rasanya hanya ia yang mengendarai motor seorang diri. Bahkan tukang ojek online pun membawa penumpang.
Kemudian ia melihat ramai-ramai di sebuah taman kota. Menepi untuk melihat. Ternyata ada pertunjukan musik dari pengamen di sana. Banyak anak muda yang sedang menongkrong atau sekedar menepi menikmati lagu yang dinyanyikan.
Zizi memilih tempat yang nyaman di sana, sembari menikmati kopi dan roti ditangan. Suara pengamen jalanan yang merdu, ditambah alunan musik yang asyik membuat ia ikut terhanyut dalam suasana. Zizi melihat sekitar, ternyata banyak dari mereka adalah pasangan muda mudi.
***
Malam hari saat hendak memejamkan mata, ia kembali teringat perkataan dokter Jee. Namun, kali ini ia memilih memejamkan kedua matanya dan mengabaikan pikirannya. Bahkan ia tak meminum obat yang telah diresepkan.
Kamu egois, bahkan kamu ninggalin aku tanpa menunggu aku menjawab perasaanku. Kamu bilang aku harus menjawab pernyataanmu, tapi kenapa kamu pergi? Pergi dalam keadaan aku sudah terlanjur mencintaimu. Iya, aku juga mencintaimu. Sangat mencintaimu. Tak bisakah kau tetep disini?
Kali ini Zizi tidak terkejut, melainkan pipinya sudah basah oleh air mata. Mimpi itu terasa begitu nyata. Ia berulang kali mengatur nafas dan perasaannya, namun gagal. Ia duduk menangis tersedu-sedu dan menenggelamkan wajahnya di kedua lututnya.
Mimpi macam apa ini? Kenapa tidurku selalu dihantui mimpi yang mengerikan?
Tak berselang lama alarmnya berbunyi. Ia mencoba menetralisir perasaannya. Mematikan alarm, pergi ke kamar mandi untuk mencuci mukanya yang sudah begitu sembab karena menangis. Minggu pagi ini, ia memutuskan untuk pergi jogging.
“Gue berharap gak ketemu sama siapapun.”
Memakai training hitam, kaos putih lengan pendek, earphonne terpasang di telinganya. Ia berangkat menuju taman untuk jogging. Setelah mendapat tiga putaran, tiba-tiba kepalanya terasa pusing dan penglihatan kunang-kunang.
“Apalagi ini?”
Tiba-tiba pandangannya gelap dan tak sadarkan diri. Untung saja Bian sudah berada tak jauh di belakangnya, jadi ia tak jatuh tersungkur. Bian lalu membopong Zizi menuju gazebo yang tak jauh dari situ. Ibu penjual makanan di situ pun segera menghampiri mereka.
“Untung aja mas tadi gak tersungkur mbaknya. Ini coba kasih minyak dulu.” Kata Ibu pemilik warung dekat gazebo.
“Iya bu, makasih.”
“Sebentar saya ambilin minuman hangat dulu.”
Bian hanya mengangguk sembari memberikan aroma minyak ke hidung Zizi. Tak lama kemudian Zizi perlahan-lahan membuka kedua matanya. Ia bernafas lega ketika yang ia lihat pertama kali adalah Bian.
“Ini mbak, diminum dulu mumpung masih hangat. Biar agak seger.”
“Makasih ya bu.” Ucap Bian.
“Saya tinggal ya, itu udah ada yang beli.”
Zizi menatap Bian lama, bahkan ketika Bian membalas tatapannya. Ia teringat perkataan dokter Jee kemarin dan juga mimpi pagi ini.
“Minum dulu selagi hangat.” Memberikan segelas teh hangat pada Zizi. “Kalau ngerasa gak enak badan, jangan dipaksain olahraga gak baik buat tubuh.”
“Hmm, sorry. ”
“Aku memesan sup, makanlah selagi hangat. Kamu pasti belum sarapan.”
Perhatian Bian mampu meluluhkan hatinya, meski ia tak berselera makan setelah mimpi itu. Ia hanya merasakan nyaman ketika bersama Bian. Entah hanya perasaannya saja atau memang adanya ketulusan dari Bian. Mereka pun menyantap sup bersama ditengah hiruk pikuk pengunjung taman yang sedang jogging.
“What happened?” tanya Bian ketika mereka sudah selesai makan.
Zizi hanya menggelengkan kepalanya dan menatap kosong ke arah taman. Menatap sepasang muda-mudi yang sedang duduk beralaskan bumi menikmati makanan sambil bersendau gurau. Bian mengikuti arah pandangan Zizi, dan kembali melihat Zizi.
Apa yang sedang dia pikirkan? Apa yang sebenarnya terjadi?
Setelah selesai, Bian pun memutuskan untuk mengantar Zizi sampai kost. Kost Zizi memang tak terlalu jauh dari taman. Saat perjalanan pulang, tiba-tiba ada pemotor yang hilang kendali dan hendak menabrak mereka berdua. Reflek, Bian menarik Zizi ke dalam pelukannya dan mereka terjatuh di bahu jalan.
“Arghhh.”
Posisi Bian yang berada di bawah membuatnya sedikit tertekan menahan tubuh Zizi. Sikunya terkena bahu jalan beton. Zizi sontak terbangun dan menoleh ke arah Bian. Menolong Bian yang tengah kesakitan.
“Pak Bian gapapa?” membantu Bian berdiri.
“Maaf mbak, mas saya gak sengaja.”
“Mas kalo naik motor hati-hati dong, liat jalan bukan liat hp.” Ucap Zizi dengan nada oktaf.
“I-iya mbak maaf, saya bener-bener minta maaf.”
Bian menahan lengan Zizi yang hendak mengomel. “Lain kali kalo terima panggilan minggir dulu mas, bahaya buat orang lain. Untung saja jatuhnya bukan ke tengah jalan, kalau ke tengah jalan bisa lebih dari bahaya.”
“Iya ma-maaf mas saya salah.”
“Kami gapapa, mas lanjutin perjalanan aja. Simpan ponselnya, jangan berkendara sambil bermain ponsel.”
“I-iya mas, saya permisi.”
“Menyebalkan sekali.”
“Ssssttt udah, udah kelar.”
"Pak Bian lupa, saya preman kampus?"
Saat berjalan Zizi melihat siku Bian berdarah karena lecet. Zizi menarik lengan Bian.
“Kenapa Pak Bian bilang gapapa? Jelas-jelas ada luka.”
“Saya bukan anak kecil yang lecet dikit minta ganti rugi.”
“Tetap saja luka. Percepat langkahmu, akan ku obati di kost nanti.” Zizi menarik tangan Bian tanpa melepaskan.
“Bukankah saya terlihat seperti adik yang diomeli kakaknya?” melihat Zizi masih saja menarik tangannya meski sudah berjalan mengikutinya.
“Diamlah, terlalu berisik untuk mengatakan itu.”
Mereka pun berjalan menuju kost Zizi. Mungkin Zizi tak sadar bahwa tangannya tetap menggandeng tangan Bian meski mereka berjalan bersisihan. Bian yang menyadari pun enggan menegurnya, karena dia pun merasa nyaman berjalan seperti ini.
Baru kali ini gue diomelin cewek yang bukan siapa-siapa gue. Monolognya seraya tersenyum dan membiarkan tangannya digenggam oleh Zizi.