Fitriyani Nurjannah adalah seorang guru honorer selama 15 tahun di SMA 2 namun ia tak pernah menyerah untuk memberikan dedikasi yang luar biasa untuk anak didiknya. Satu persatu masalah menerpa bu Fitri di sekolah tempat ia mengajar, apakah pada akhirnya bu Fitri akan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sambutan Baik dan Luapan Amarah
Fitri, yang melihat Pak Sonny diperlakukan tidak baik oleh Bu Ida dan gengnya, merasa iba. Ia menghampiri Pak Sonny dan menyambutnya dengan ramah.
"Selamat datang di SMA 2, Pak Sonny," sapa Fitri dengan senyum hangat. "Saya Fitri, guru Bahasa Indonesia di sini."
"Terima kasih, Bu Fitri," jawab Pak Sonny dengan lega. "Saya Sonny, guru ekonomi yang baru di sini."
Fitri mengajak Pak Sonny untuk duduk di dekatnya dan mereka pun mulai mengobrol. Fitri menceritakan tentang SMA 2 dan memperkenalkan Pak Sonny kepada beberapa guru lain yang sedang tidak sibuk. Pak Sonny merasa senang dan nyaman dengan sambutan yang diberikan oleh Fitri.
"Jangan sungkan untuk bertanya jika ada yang ingin Bapak ketahui," kata Fitri. "Saya akan dengan senang hati membantu Bapak."
"Terima kasih banyak, Bu Fitri," kata Pak Sonny. "Saya sangat berterima kasih atas bantuannya."
Fitri tersenyum dan mengangguk. Ia senang bisa membantu guru baru seperti Pak Sonny. Ia tahu bagaimana rasanya menjadi orang baru di lingkungan yang asing.
Namun, di sudut ruang guru, Bu Ida, Bu Vivi, dan Bu Nilam memperhatikan interaksi antara Fitri dan Pak Sonny dengan tatapan sinis. Mereka bertiga langsung berkerumun, berbisik-bisik sambil sesekali melirik ke arah Fitri.
"Lihat itu, Fitri sok sekali," celetuk Bu Ida, memulai gunjingan. "Pura-pura baik pada guru baru, padahal aslinya ada maunya."
Bu Vivi, yang selalu ikut sependapat dengan Bu Ida, langsung menimpali. "Betul sekali. Dia selalu ingin terlihat paling baik di antara kita. Padahal, semua guru juga membantu kok sama guru baru."
Bu Nilam, yang terkenal paling sinis,
menambahkan, "Iya, sok ramah. Padahal, dia juga yang paling sering mengkritik guru baru."
Mereka bertiga terus saja menggunjing Fitri, mencari-cari kesalahan dan kekurangan Fitri. Mereka iri dengan Fitri yang selalu terlihat dekat dan disayangi oleh murid-muridnya, bahkan oleh guru baru.
"Dia itu terlalu berlebihan," kata Bu Ida lagi. "Semua hal harus dipamerkan. Lihat saja, menyambut guru baru saja harus berlebihan."
"Mungkin biar dapat pujian dari kepala sekolah," sahut Bu Vivi. "Biar dianggap guru yang paling peduli."
"Atau mungkin biar dapat promosi jabatan," timpal Bu Nilam. "Siapa tahu dia punya ambisi jadi wakil kepala sekolah."
Mereka bertiga tertawa sinis, merasa puas telah menemukan celah untuk menjatuhkan Fitri. Mereka memang tidak pernah menyukai Fitri yang selalu terlihat sempurna di mata siswa dan rekan-rekan guru lainnya.
"Sudahlah, biarkan saja dia dengan segala tingkahnya," kata Bu Ida akhirnya. "Yang penting, kita jangan sampai seperti dia. Kita harus tetap menjadi diri sendiri."
Meskipun demikian, mereka tetap saja terus memperhatikan Fitri yang masih mengobrol dengan Pak Sonny. Tatapan mereka penuh dengan rasa iri dan dengki.
****
Kelas X A, yang notabene adalah anak didik Fitri, menjadi saksi bisu luapan kemarahan dan kedengkian Bu Vivi terhadap Fitri. Sandy, salah satu siswa di kelas itu, maju ke depan kelas dengan gugup. Di papan tulis telah tertulis soal vektor yang diberikan Bu Vivi. Sandy berusaha sekuat tenaga, namun ia tetap tidak bisa menemukan jawabannya.
Bu Vivi, yang terkenal dengan sifat galaknya, mulai menunjukkan wajah masam. Ia berjalan mondar-mandir di depan kelas, tatapannya tajam menusuk Sandy. "Sandy, kamu ini bagaimana sih? Soal seperti ini saja tidak bisa kamu kerjakan?"
Sandy hanya bisa menunduk, tangannya memegang erat spidol yang ia gunakan untuk mengerjakan soal. Ia tahu, Bu Vivi sedang menahan amarahnya.
"Saya sudah jelaskan berkali-kali tentang vektor," lanjut Bu Vivi dengan nada suara yang mulai meninggi. "Tapi sepertinya tidak ada satu pun dari kalian yang mengerti!"
Bu Vivi kemudian mengambil penghapus papan tulis dan dengan keras menggebrak papan tulis, menimbulkan suara yang mengejutkan seluruh kelas. Anak-anak X A yang lain, yang sedari tadi memperhatikan Sandy, kini semakin menciut nyalinya. Mereka tahu, kemarahan Bu Vivi akan segera meluap.
"Kalian ini memang anak-anak yang bodoh!" Ucap Bu Vivi dengan nada sinis dan merendahkan. "Hanya bisa membuat saya kecewa!"
Sandy, yang sudah berusaha sekuat tenaga, merasa sangat terpukul dengan perkataan Bu Vivi. Ia merasa harga dirinya jatuh dan kepercayaan dirinya hilang. Beberapa siswa lain di kelas X A juga ikut merasakan dampaknya. Mereka yang tadinya bersemangat belajar, kini merasa takut dan tidak nyaman.
"Bu, kami sudah belajar vektor semaksimal mungkin," sahut seorang siswa dengan suara bergetar, mencoba membela Sandy dan teman-temannya.
"Belajar bagaimana?" Balas Bu Vivi dengan tatapan sinis. "Kalau belajar, pasti bisa! Kalian ini hanya manja dan sok pintar seperti wali kelas kalian!"
Sindirian Bu Vivi terhadap Fitri membuat anak-anak X A semakin tertekan. Mereka merasa tidak adil karena harus menanggung akibat dari masalah pribadi antara Bu Vivi dan Fitri.
"Ibu tidak seharusnya menghina kami," ucap siswa lain dengan berani. "Kami tidak ada hubungannya dengan masalah Ibu dengan Bu Fitri."
Mendengar pembelaan dari murid-muridnya, Bu Vivi semakin meradang. "Kalian ini memang anak-anak yang tidak tahu diuntung!" Bentaknya.
Anak-anak X A dengan terpaksa kembali ke tempat duduk mereka. Mereka merasa sangat kecewa dan marah. Mereka tidak mengerti mengapa Bu Vivi harus melampiaskan kemarahannya kepada mereka.
Suasana kelas X A menjadi sangat hening dan mencekam. Tidak ada lagi semangat belajar yang terlihat. Yang ada hanyalah rasa takut, kecewa, dan marah.
****
Fitri yang kebetulan mengajar di kelas sebelah mendengar suara Bu Vivi yang melengking. Ia langsung menuju kelas X A karena khawatir dengan apa yang terjadi. Sebagai wali kelas, ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan dan kenyamanan murid-muridnya.
"Permisi, Bu Vivi," sapa Fitri dengan sopan. "Ada apa ini? Kenapa suaranya keras sekali?"
Bu Vivi menoleh ke arah Fitri dengan tatapan tajam. "Bukan urusanmu!" jawabnya ketus.
"Tapi saya wali kelas di sini, Bu," kata Fitri. "Saya berhak tahu apa yang terjadi dengan murid-murid saya."
"Sudah, tidak usah ikut campur!" bentak Bu Vivi. "Anak-anak ini memang bodoh dan malas belajar. Mereka pantas mendapatkan hukuman!"
Fitri tidak terima dengan perkataan Bu Vivi. Ia tahu bahwa murid-muridnya tidak seburuk itu. Mereka hanya butuh bimbingan dan dukungan yang tepat.
"Saya rasa Ibu terlalu keras pada mereka," kata Fitri dengan nada tenang. "Mereka masih remaja, Bu. Mereka butuh pengertian dan kesabaran dari kita sebagai guru."
"Kamu jangan sok tahu!" balas Bu Vivi dengan sinis. "Kamu pikir kamu lebih baik dari saya?"
"Saya tidak pernah merasa lebih baik dari siapa pun, Bu," jawab Fitri. "Saya hanya ingin yang terbaik untuk murid-murid kita."
"Sudahlah, Fitri," kata Bu Vivi. "Kamu tidak akan pernah mengerti. Kamu terlalu palsu untuk menjadi seorang guru."
"Saya palsu?" tanya Fitri dengan bingung.
"Iya, kamu terlalu palsu," jawab Bu Vivi. "Kamu selalu ingin terlihat baik di depan semua orang. Kamu selalu mencari muka dan ingin dipuji."
Fitri terdiam sejenak. Ia mencoba mencerna perkataan Bu Vivi. Ia merasa sedih dan kecewa karena Bu Vivi tidak menghargai niat baiknya.
"Saya hanya ingin membantu murid-murid saya, Bu," kata Fitri dengan suara bergetar. "Saya ingin mereka sukses dan bahagia."
"Sudahlah, Fitri," kata Bu Vivi. "Jangan sok baik. Semua orang juga tahu kok bagaimana kamu itu."
Fitri tidak ingin melanjutkan perdebatan dengan Bu Vivi. Ia tahu bahwa Bu Vivi tidak akan pernah mau mendengarkannya. Ia pun meninggalkan kelas X A dengan perasaan sedih dan kecewa.