Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 30
Ketiganya kini duduk di ruang tamu. Sekar duduk di samping Riana sambil menggenggam tangannya erat, seolah enggan melepas. Sementara Alif memilih duduk di seberang, memperhatikan keduanya dengan wajah waspada.
“Riana, maaf ya,” ucap Sekar pelan tapi tulus. “Bukan maksud Nenek menipumu dengan keadaan Nenek yang pura-pura sakit. Salahkan saja cucu Nenek itu.” Ia menunjuk Alif tanpa ragu.
Alif refleks menegakkan punggung, matanya melebar. Dalam hati ia ingin sekali menghilang dari ruang tamu itu. Kalau ia kabur sekarang, Nenek pasti akan menambah-nambahi cerita di belakangnya, dan habislah harga dirinya di depan Riana.
“Nenek, jangan mulai lagi, tolong,” ucap Alif dengan nada setengah memohon.
Sekar menahan tawa kecil lalu segera mengganti topik, pura-pura tidak mendengar. “Riana, sudah lama kenal sama cucu Nenek yang super ngeselin ini?” tanyanya, sambil melirik Alif dengan ekspresi jenaka, seperti ingin berkata, Lihat? Nenek pintar ganti topik, kan?
Alif hanya menarik ujung bibirnya, setengah pasrah.
Berbeda dengan Riana, yang langsung menelan ludah gugup. Ia mencoba tersenyum, berusaha terlihat tenang meski jantungnya berdebar tak karuan. “Sebenarnya... kami sudah saling kenal sejak dulu. Aa Alif dosen pembimbing Riana waktu kuliah.”
Sekar mengangguk dengan antusias. “Oh, begitu? Jadi ceritanya kalian ini cinlok, ya?”
“Nenek, nggak gitu juga kali…” Alif berdeham, mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang meski telinganya merah.
Sekar hanya menaikkan alis, senyum nakal tersungging di wajahnya. “Lho, kenapa? Nenek cuma nanya. Kan kadang dari sering ketemu, terus cocok… eh, jadi sayang.”
Riana semakin salah tingkah. Ia menunduk, mencoba menarik tangannya yang masih digenggam Sekar, tapi wanita tua itu malah menepuk punggung tangannya lembut.
“Tenang aja, Nak. Nenek senang kok Alif akhirnya bawa perempuan baik seperti kamu ke rumah ini. Selama ini dia cuma sibuk sama pasien, sama jurnal, sama... teori cinta di kepalanya.”
Alif langsung menatap neneknya dengan tatapan memohon, “Nenek…” Nada suaranya kali ini terdengar seperti anak kecil yang ketahuan berbohong.
Sekar pura-pura tak mendengar dan malah menatap Riana lebih lembut. “Riana, jaga Alif ya. Dia itu keras kepala, tapi hatinya gampang rapuh. Kadang pura-pura nggak peduli padahal cuma takut kehilangan.”
Riana menatap Sekar bingung, sebagian karena terkejut dengan cara bicara nenek itu yang terasa seperti pesan sungguhan, bukan sekadar basa-basi. Ia hanya mampu mengangguk pelan, meski hatinya bergetar aneh.
"Nenek, sudah. Kami kesini juga ingin sekalian pamitan, rencananya lusa kami akan berangkat ke sorong menjadi relawan di sana," ucap Alif memecah kecanggungan.
Sekar spontan menegakkan badan. “Lho, ke Sorong? Kalian berdua ikut?” Tatapannya bergantian ke arah Alif dan Riana. “Apa kalian nggak mau urus pernikahan dulu baru ke sana?” celetuknya polos, tapi sukses membuat wajah dua orang di depannya memucat.
Riana berdehem pelan, jemarinya saling menggenggam di pangkuan. Ada rasa bersalah yang menyesak di dadanya, kebohongan yang awalnya terasa ringan kini berubah jadi beban. Ia menarik napas panjang, lalu menatap Sekar dengan mata ragu.
“Nenek… sebenarnya…” suaranya sedikit bergetar, “aku masih dalam proses perceraian. Jadi, tidak mungkin secepat itu menikah.”
Hening seketika. Hanya terdengar detik jam dinding dan suara burung dari halaman.
Riana menunduk, pasrah jika Sekar akan marah atau merasa kecewa padanya. Sementara Alif, yang tadi masih berusaha tenang, kini justru menatap Riana dengan campuran terkejut dan bingung, ia sama sekali tidak menyangka perempuan itu akan mengaku sejujur itu di depan neneknya.
Sekar diam beberapa saat, matanya berpindah dari wajah Riana ke Alif. Lalu perlahan, senyum lembut muncul di wajah tuanya.
“Begitu, ya…” gumamnya pelan, nada suaranya lebih tenang dari yang mereka duga.
Ia menepuk tangan Riana lagi, kali ini lebih hangat. “Nenek nggak masalah, Nak. Kadang hidup memang harus dimulai dari luka dulu supaya tahu rasanya disembuhkan.”
Kalimat itu membuat dada Riana terasa sesak, matanya memanas tanpa ia tahu kenapa. Dalam hati ia bertanya, apa ini rasanya diterima apa adanya meskipun itu ada kebohongan?
***
Sementara itu, di perusahaan, Septian tengah duduk di ruang rapat bersama staf humasnya. Raut wajahnya tampak serius, tapi sorot matanya menyimpan semangat yang jarang terlihat belakangan ini. Di hadapannya terbentang layar presentasi berisi rencana besar yang sedang ia susun.
“Pastikan kabar ini trending di semua platform. Aku ingin seluruh media tahu soal kabar pernikahan ini,” ucap Septian dengan nada tegas.
Staf humas yang duduk di seberang langsung mengangguk, mencatat setiap instruksinya dengan cepat. “Baik, Pak. Kami akan siapkan press release dan bekerja sama dengan beberapa influencer besar. Untuk lokasi acara, Bapak ingin konsep seperti apa?”
Septian menyandarkan punggungnya, menghela napas sebentar sebelum menjawab, “Yang megah dan mewah. Aku ingin semuanya sempurna. Tidak ada kesan sederhana. Aku ingin... Dia tahu, bahwa ini adalah keseriusanku.”
Nada suaranya melembut di akhir kalimat, seolah ada perasaan yang ia sembunyikan di balik keinginannya itu.
“Baik, Pak. Kami akan segera survei beberapa gedung,” sahut stafnya.
Setelah mereka keluar, Septian bergumam pelan, “Riana, kamu harus datang... karena semua ini aku siapkan untukmu.”
Ia terdiam sejenak, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja tertutup. Lalu, dengan gerakan tenang, ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan singkat untuk Liliana.
[Semuanya berjalan sesuai rencana. Lusa semua akan beres. Terima kasih, Lili.]
Di seberang sana, senyum licik muncul di bibir Liliana begitu membaca pesan itu. Ia segera membalas,
[Aku akan melakukan apa pun agar kamu bahagia, Tian.]
Setelah mengirim balasan itu, Liliana meletakkan ponselnya di meja. Pandangannya terarah pada bayangan dirinya di cermin.
“Karena semua yang kamu rencanakan juga untuk kebahagiaanku,” ujarnya pelan dengan nada dingin.
Sudut bibirnya perlahan terangkat, membentuk senyum sinis. “Lelaki bodoh... tapi tak apa. Asal aku bisa menjadi Nyonya Prawira, semua ini setimpal.”
Hari Pernikahan
Hari itu, seluruh kota seperti membicarakan satu acara besar, pernikahan Septian Prawira. Media menyiarkan persiapannya sejak pagi. Foto-foto gedung megah berhias mawar putih dan lampu kristal beredar di semua platform. Namun tak ada satu pun yang tahu, siapa sebenarnya pengantin wanita yang seharusnya berdiri di sisi Septian hari itu.
Dulu pernah beredar jika Septian Prawira sudah menikah, tapi sampai detik ini istrinya tidak pernah terlihat. Setelah ada kabar Septian bolak-balik ke pengadilan agama baru terdengar pernikahan megah ini.
Di ruang rias pria, Septian duduk diam di depan cermin besar. Jas hitamnya terpasang sempurna, tapi tangan kirinya terus mengetuk meja dengan gelisah. Sudah lebih dari satu jam ia menunggu kabar tentang kedatangan Riana, tapi tak kunjung tiba.
Ia menatap ponselnya sekali lagi, berharap ada notifikasi yang muncul.
Kosong.
“Riana…” gumamnya pelan. “Kamu akan datang, kan? Aku sudah siapkan semuanya untukmu.”
Suaranya hampir tak terdengar, tenggelam dalam denting lembut alat musik dari aula utama. Ia berdiri, berjalan mendekati jendela, menatap halaman depan gedung di mana tamu-tamu mulai berdatangan.
Namun wajah yang ia cari tak kunjung terlihat.
Tiba-tiba, pintu ruang rias terbuka. Seorang panitia menghampiri dengan nada tergesa. “Pak Septian, semuanya sudah siap. Pengantin wanita juga sudah bersiap.”
Septian menoleh, keningnya berkerut. “Pengantin wanita? Apa dia sudah datang?”
Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Liliana masuk dengan gaun putih menjuntai indah. Ia melangkah perlahan, senyumnya manis, tapi di matanya ada kemenangan yang dingin.
“Tian, maaf, aku agak lama,” ucapnya lembut sambil memegang buket bunga. “Tapi tenang, semuanya sudah sesuai rencana. Resepsi akan dimulai sebentar lagi.”
Septian menatapnya lama, seolah baru sadar kenyataan yang terjadi.
“Lili… apa maksudmu? Riana—”
Liliana menatapnya dengan senyum datar. “Riana tidak akan datang, Tian.” Ia menunduk sedikit, lalu berbisik di dekat telinganya, “karena hari ini adalah pesta pernikahan kita.”
tk bisa kembali 🤣🤣🤣🤣.
kecuali di mantan Istri nikah dulu
Tapi mang salahnya Riana.. jadi perempuan kelewat naif jadinya mengarah ke bodo
Gampang banget di manipulasi
Ngga punya pertahanan diri.. huft!
Satu sisi kasian.. satu sisi lagi gumuss..
Bersyukur sekarang ketemu Alif yang bener cinta dan tulus
Cobaa ketemunya kayak Septik tank lagi.. wis runyam..
Ngga bakal ada hepi endingnya.. nelongso truss 🤦🏻♀️
kdang gmes sm riana yg lmah bgt....
yg kuat dong,tgas gt...jgn dkt2 nangis....