Reintara Narendra Pratama adalah CEO muda yang dikenal dingin dan penuh wibawa. Di usia 25 tahun, ia sudah membangun reputasi sebagai pria yang tajam dalam mengambil keputusan, namun sulit didekati secara emosional. Hidupnya yang teratur mulai berantakan ketika ia bertemu dengan Apria—seorang perempuan penuh obsesi yang percaya bahwa mereka ditakdirkan bersama.
Awalnya, Reintara mengira pertemuan mereka hanyalah kebetulan. Namun, semakin hari, Ria, sapaan akrab Apria, menunjukkan sisi posesif yang mengerikan. Mulai dari mengikuti setiap langkahnya, hingga menyusup ke dalam ruang-ruang pribadinya, Ria tidak mengenal batas dalam memperjuangkan apa yang ia anggap sebagai "cinta sejati."
Reintara, yang awalnya mencoba mengabaikan Ria, akhirnya menyadari bahwa sikap lembut tidak cukup untuk menghentikan obsesi perempuan itu. Dalam usaha untuk melindungi dirinya, ia justru memicu konflik yang lebih besar. Bagi Ria, cinta adalah perjuangan, dan ia tidak akan menyerah begitu saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 'yura^, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
terperangkap dalam jaring ria
Terperangkap dalam Jaring Ria
Langkah Awal yang Halus
Minggu-minggu berlalu, dan Reintara mulai merasakan tekanan dari setiap sisi. Tidak hanya dari bisnis, tetapi juga kehidupan pribadinya. Ria tampaknya telah merencanakan segalanya dengan sangat matang, hingga setiap keputusan yang ia ambil terasa seperti menutup jalan keluar bagi dirinya sendiri.
Di ruang rapat, Maya menyerahkan laporan baru kepada Reintara. "Tuan, salah satu investor utama kita menarik dukungannya. Alasan mereka, mereka merasa tidak percaya dengan keputusan manajemen akhir-akhir ini."
Reintara memeriksa laporan itu dengan wajah tegang. Investor itu adalah salah satu yang paling ia andalkan untuk proyek terbaru perusahaannya. "Apa ini ulah Ria lagi?" tanyanya tajam.
"Saya tidak memiliki bukti, tetapi pola ini terlalu rapi untuk sebuah kebetulan," jawab Maya.
Reintara mengangguk, melemparkan laporan itu ke meja. "Dia benar-benar tidak akan berhenti."
Jebakan yang Terasa Manis
Malam itu, Reintara menerima undangan makan malam dari Ria. Pesannya terdengar formal, hampir seolah tidak ada permusuhan di antara mereka:
"Rein, aku ingin bicara. Ada hal penting yang harus aku sampaikan. Aku harap kau datang, karena ini menyangkut masa depanmu. Tempat dan waktu sudah aku atur. Sampai jumpa nanti."
Reintara tahu ini jebakan. Namun, ia juga tahu bahwa menolak Ria hanya akan membuat situasi semakin rumit. Dengan enggan, ia memutuskan untuk datang.
Restoran tempat mereka bertemu dipenuhi suasana mewah, tapi hanya ada satu meja yang ditempati—oleh Ria. Wanita itu tersenyum ketika melihatnya masuk.
"Kau datang," katanya dengan nada ramah yang palsu.
"Apa yang kau inginkan kali ini, Ria?" tanya Reintara sambil duduk dengan ekspresi datar.
Ria menyodorkan segelas anggur kepadanya. "Hanya ingin bicara. Kita terlalu sering berseteru, Rein. Tidakkah kau lelah?"
Reintara menatapnya dengan dingin. "Jika aku lelah, itu karena ulahmu."
Ria tersenyum kecil. "Aku hanya ingin memastikan kau tidak melupakan siapa yang selalu memperhatikanmu. Semua ini, Rein, aku lakukan karena aku mencintaimu."
Perangkap Mulai Menutup
Percakapan itu berlangsung lama, tapi Reintara tetap waspada. Ia tidak menyadari bahwa selama makan malam, Ria diam-diam telah mempersiapkan langkah berikutnya.
Keesokan harinya, media dipenuhi berita tentang dugaan transaksi ilegal di perusahaan Reintara. Semua bukti mengarah langsung padanya.
Maya buru-buru masuk ke ruangannya dengan wajah panik. "Tuan, ini buruk! Tim audit internal menemukan laporan keuangan palsu, dan semua tanda tangan di dokumen itu... milik Anda."
"Apa?!" Reintara berdiri, wajahnya penuh kemarahan. "Itu tidak mungkin!"
Namun, bukti yang ditunjukkan Maya tak terbantahkan. Tanda tangannya ada di setiap dokumen, seolah-olah ia sendiri yang menyetujui semua transaksi itu.
"Ini jelas kerjaan Ria," gumamnya.
Namun, sebelum ia sempat bergerak untuk membersihkan namanya, polisi sudah tiba di kantornya.
Ria yang Selalu Selangkah Lebih Maju
Di apartemennya, Ria menonton berita penangkapan Reintara dengan senyum puas. Ia tahu bahwa ini hanya langkah awal. Dengan Reintara di bawah kendalinya, ia akan memiliki segalanya.
Teleponnya berdering, dan salah satu orang kepercayaannya melapor. "Semua sesuai rencana, Ria. Bukti tambahan akan dikirim ke pengadilan besok."
"Bagus," jawab Ria. "Pastikan tidak ada celah yang bisa digunakan untuk membersihkan namanya."
Ia menatap layar televisi, di mana wajah Reintara yang marah dan frustrasi terpampang jelas. "Kau milikku, Rein. Tidak peduli seberapa keras kau mencoba melawan, aku selalu selangkah di depanmu."
Kesempatan yang Tipis
Di dalam sel tahanan sementara, Reintara berusaha menghubungi tim hukumnya. Namun, setiap langkah yang ia coba terasa seperti menemui jalan buntu. Ria telah mengendalikan segalanya.
Saat itu, ia menerima kunjungan tak terduga. Ria masuk ke ruangan kecil itu, mengenakan pakaian formal yang memancarkan kekuatan dan kendali.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Reintara dengan nada tajam.
Ria tersenyum, duduk di kursi di depannya. "Aku hanya ingin melihatmu. Kau terlihat... berbeda di sini, Rein. Lebih lemah, lebih membutuhkan."
"Kau tidak akan bisa terus melakukan ini," balas Reintara dengan tegas.
"Oh, Rein," Ria tertawa kecil. "Aku sudah mengatur semuanya. Kau tidak punya pilihan selain bergantung padaku. Dan mungkin, jika kau meminta dengan baik, aku bisa membantumu keluar dari sini."
"Aku tidak akan pernah memintamu," jawab Reintara dengan penuh kemarahan.
Ria berdiri, menatapnya dengan mata penuh obsesi. "Kita lihat seberapa lama kau bisa bertahan, Rein. Pada akhirnya, semua ini adalah untuk memastikan kau tetap milikku."
Rencana dalam Kegelapan
Malam itu, Reintara duduk di sudut sel tahanan dengan pikiran berkecamuk. Ria telah mengurungnya di perangkap yang hampir sempurna. Bukti-bukti melawan dirinya terlalu kuat, dan setiap langkah untuk membuktikan kebenaran seolah berujung pada kegagalan.
Namun, satu hal yang membuatnya tetap bertahan adalah keyakinan bahwa setiap rencana, betapa pun sempurnanya, selalu memiliki celah.
Pintu sel terbuka, dan Maya masuk dengan wajah tegang. Ia mendapat izin khusus untuk berbicara dengannya.
"Tuan, saya sudah mencoba mencari bukti untuk membebaskan Anda, tapi semua jalur mengarah ke Ria. Dia bahkan melibatkan orang-orang dari sistem keamanan internal kita," kata Maya dengan suara rendah.
"Aku tahu itu," balas Reintara. "Dia terlalu pintar. Tapi dia pasti melakukan kesalahan. Tidak ada rencana yang benar-benar sempurna."
Maya mengangguk. "Ada satu hal aneh, Tuan. Beberapa transaksi yang dituduhkan pada Anda menggunakan sistem IT yang tidak biasa. Itu sepertinya sistem yang dikembangkan secara khusus."
Reintara memandang Maya dengan tajam. "Apa kau bisa melacaknya?"
"Sulit, tapi tidak mustahil. Saya hanya butuh waktu," jawab Maya dengan keyakinan.
"Kalau begitu, lakukan. Temukan apa pun yang bisa kita gunakan untuk melawan Ria," kata Reintara tegas.
Ria yang Terus Mengawasi
Di tempat lain, Ria duduk di depan layar komputer, memantau setiap pergerakan Reintara dari jarak jauh. Ia tahu Maya masih setia membantu Reintara, tapi itu tidak mengganggunya.
"Apa pun yang mereka coba lakukan, aku sudah memikirkan langkah selanjutnya," gumamnya sambil tersenyum tipis.
Seorang pria berpakaian formal masuk ke ruangannya. "Nona Ria, kami mendapatkan informasi bahwa Maya sedang mencoba melacak jalur transaksi yang Anda buat."
Ria menoleh padanya dengan santai. "Biarkan saja. Itu hanya akan membawa mereka pada jalan buntu. Pastikan semua sistem kita tetap terjaga."
"Baik, Nona," jawab pria itu sebelum meninggalkan ruangan.
Ria menatap layar kembali, melihat wajah Reintara yang terpampang dalam berita. "Kau boleh mencoba, Rein. Tapi aku selalu satu langkah di depanmu."
Langkah Berani Maya
Beberapa hari kemudian, Maya berhasil menemukan petunjuk kecil dari sistem yang digunakan Ria. Ia menyusup ke salah satu server rahasia yang tidak terhubung langsung dengan jaringan perusahaan. Di sana, ia menemukan file yang tampaknya sengaja disembunyikan.
Namun, sebelum ia sempat mengunduh file itu, layar komputernya tiba-tiba mati.
"Kau pikir bisa mencuriku, Maya?" suara Ria terdengar dari speaker komputer.
Maya membeku. Ia tidak menyangka Ria akan mengetahui pergerakannya secepat ini.
"Jangan coba-coba bermain api, Maya. Kau tidak tahu siapa yang kau lawan," lanjut Ria dengan nada dingin.
Maya segera mencabut semua koneksi dan meninggalkan kantor dengan perasaan waspada.
Pertemuan Tak Terduga
Sementara itu, Reintara menerima kabar bahwa ia akan segera diadili. Namun, sebelum sidang berlangsung, ia mendapat kunjungan tak terduga dari Ria.
"Kenapa kau di sini?" tanyanya dengan nada tajam saat melihat wanita itu masuk ke ruang interogasi.
Ria duduk dengan santai di depannya, senyum licik menghiasi wajahnya. "Aku hanya ingin melihatmu, Rein. Kau terlihat lebih... tunduk sekarang."
"Kalau kau berpikir aku akan menyerah, kau salah besar," jawab Reintara dengan tegas.
Ria tertawa kecil. "Oh, Rein. Aku tidak butuh kau menyerah. Aku hanya ingin kau menerima kenyataan bahwa kau tidak bisa melawan aku."
"Apa sebenarnya yang kau inginkan, Ria? Kekuasaan? Uang? Atau ini semua hanya soal ego?"
"Yang aku inginkan hanya kau, Rein. Hanya kau," jawab Ria dengan penuh obsesi.
Reintara menatapnya tajam. "Kau tidak akan pernah mendapatkan itu."
Ria berdiri, mendekatkan wajahnya padanya. "Kita lihat nanti. Kau mungkin tidak menyadarinya, tapi aku selalu menang."
Rencana Baru
Setelah pertemuan itu, Reintara mulai menyusun rencana baru. Ia tahu bahwa melawan Ria secara langsung tidak mungkin. Ia harus menemukan cara untuk membalikkan permainan tanpa wanita itu menyadarinya.
"Maya," katanya saat menerima kunjungan dari asisten setianya. "Kita butuh seseorang yang bisa melawan Ria di levelnya."
Maya tampak ragu. "Siapa yang Anda maksud, Tuan?"
Reintara berpikir sejenak. "Ada seorang ahli IT yang pernah bekerja untuk perusahaan ini. Namanya Adnan. Cari dia, dan pastikan dia mau membantu kita."
Maya mengangguk. "Baik, Tuan. Saya akan mencarinya segera."
Ria yang Semakin Percaya Diri
Sementara itu, Ria merasa semakin di atas angin. Dengan Reintara yang terpojok, ia percaya bahwa hanya masalah waktu sebelum pria itu sepenuhnya menyerah.
Namun, di balik kepercayaan dirinya, ada sesuatu yang ia abaikan—kemampuan Reintara untuk bertahan dan mencari celah.
"Aku akan membuatmu milikku, Rein. Tidak peduli berapa lama waktu yang diperlukan," gumamnya sambil menatap foto pria itu di mejanya.