Pedang Pusaka menceritakan tentang seorang manusia pelarian yang di anggap manusia dewa berasal dari Tiongkok yang tiba di Nusantara untuk mencari kedamaian dan kehidupan yang baru bagi keturunannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cut Tisa Channel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Waktu Berlalu
Tanpa terasa, telah lima tahun berlalu dari waktu meninggal nya sang kaisar.
Jenderal tua Bao yang kini menjabat sebagai Koksu kerajaan sekaligus penasehat militer mengatur jalannya pemerintahan atas perintah ibu suri yang menjadi wali kaisar yang baru.
Karena setelah meninggalnya kaisar akibat sakit yang diderita nya hingga keracunan yang membuat nyawanya melayang, di umumkan lah kepada seluruh rakyat bahwa pengganti kaisar sekarang adalah kemenakan kaisar dari saudara tirinya sendiri dikarenakan sang kaisar tidak memiliki keturunan lainnya.
Pengumuman itu dilakukan oleh ibu suri dan jenderal Bao atas permintaan Siaw Jin sendiri.
Sejak saat itu, kerajaan di pimpin oleh tiga tokoh terkenal yang menjadi wali kaisar yang masih berusia balita tersebut.
Mulai saat itu banyak terjadi pemberontakan kecil kecilan di seluruh pelosok negeri akibat melemahnya kepemimpinan kerajaan.
Di lain tempat, Siaw Jin bersama Naya yang telah tiga tahun lebih menjadi murid Losian terlihat sedang melatih ilmu terbarunya yaitu melawan jiwa iblis yang dulu pernah di hafalnya dari kitab pemberian Losian.
Meski kakek tua itu tak mampu menguasai jurus jurus tersebut, namun berkat bimbingan bimbingan nya, akhirnya Siaw Jin mampu menguasai ilmu dahsyat itu.
Naya yang memang dari kecil sudah gesit dan ringan gerakannya, dilatih ilmu terbang menunggang kilat yang terdiri dari cara membuat tubuh seringan kapan dan memanfaatkan apapun menjadi penunjang agar gerakan menjadi jauh lebih cepat.
Hari itu Losian yang melihat Siaw Jin dan Naya selesai berlatih memanggil keduanya.
"Siaw Jin, Naya, duduklah!!. Siaw Jin, Naya, kalian berdua telah menjadi ahli silat dan kungfu yang sangat sukar dicari tandingannya. Bahkan aku sendiri tak akan mampu melawan salah satu dari kalian. Pesan ku hanya lah jangan berbuat semena mena terhadap siapapun. Jika kalian salah mempergunakan ilmu kalian, maka bukan hanya kalian yang kena imbasnya. Tapi kami dan para leluhur kami akan ikut terbawa akibat mewariskan ilmu kepada kalian. Aku sangat yakin, kalian tentu mampu menjaga amanah di pundak kalian".
"Suhu, setelah selesai latihan ini, apalagi yang harus kami pelajari?" Tanya Naya blak blakan.
"Kalian harus turun gunung. Pergunakanlah ilmu kalian pada kebaikan. Jangan pernah sombong karena di atas langit masih ada langit". Nasehat yang di beri Losian seakan menghujam hati mereka berdua.
"Kapan kami harus berangkat Suhu?" Tanya Siaw Jin dengan wajah sedikit sedih.
"Hari ini kalian harus pergi dari sini. Cepat kemasi barang kalian". Losian dengan suara lembut memberikan ultimatum kepada mereka berdua.
"Suhu tidak ikut?" Tanya Naya ketika mereka selesai mempersiapkan diri mengemas barang barang.
"Biar aku tinggal disini menghabiskan masa tua ku di puncak gunung ini". Setelah menjawab, kakek Losian kembali bersemedi menenangkan gelisah hatinya.
Akhirnya, Naya dan Siaw Jin yang kini masing masing telah matang dalam ilmu ilmu mereka turun gunung.
Tinggallah kakek Losian bertapa seorang diri di gunung Fouji yang terkenal terjal dan sepi itu.
Siaw Jin dan Naya melakukan perjalanan melalui timur memutar ke arah selatan dan terus ke barat melewati Nepal, jalur Khitan, Tiongkok dan juga Bhutan untuk kembali ke pegunungan Himalaya.
Mereka sengaja melewati rute tersebut untuk menyampaikan pesan Xiansu yang di dengar mereka dari mulut Losian.
Berhari hari Siaw Jin melakukan perjalanan bersama gadis berusia 23 tahun yang sangat cantik dan mempunyai wajah yang khas sehingga disepanjang perjalanan, banyak juga masalah yang mereka hadapi akibat daya tarik Naya yang di balut pakaian merah muda.
Siang itu, Siaw Jin dan Naya memasuki sebuah rumah makan sederhana di pinggiran kota Tibet karena sejak pagi, hanya air putih yang mengisi perut mereka.
Keduanya mengambil tempat duduk di dekat rak makanan. Baru saja Naya dan Siaw Jin duduk di sebuah meja kecil, beberapa pendeta mendekati mereka seraya bertanya,
"Anak muda, siapakah engkau dan mau kemana? Kau pasti bukan dari daerah sini ya?"
"Mohon maaf Losuhu. Kami memang merupakan perantau yang kebetulan lewat untuk menemui seseorang di Tibet". Jawab Siaw Jin sambil berdiri dan memberi hormat.
"Setiap melewati tempat ini, kalian harus melapor kepada kepala Sim. Jika kalian di izinkan maka kalian baru dapat melanjutkan perjalanan". Sahut seorang pendeta berjubah merah dengan perutnya yang gendut sebesar labu tanah.
"Baiklah!! Selesai makan, kami akan mencari kepala Sim untuk meminta izin lewat". Sahut Siaw Jin yang kemudian duduk menyantap makanan yang baru saja tiba.
Selesai makan, Naya dan Siaw Jin segera mengikuti keempat pendeta botak itu ke arah ujung kampung.
Sesampainya mereka disana, mereka di ajak masuk ke sebuah rumah mewah yang besar di kampung tersebut.
Rumah itu sangat kontras sekali dengan pemandangan daerah kampung Liwang. Dimana di kampung itu, rumah penduduk hanya merupakan gubuk bambu dan tepas saja.
Namun rumah kepala desa nya melebihi rumah gubernur yang ada dikota sekalipun.
Dengan tenang sepasang muda mudi itu duduk disebuah bangku mewah menunggu sang empunya rumah bersama empat pendeta yang tampaknya alim itu.
Setelah sekian lama menunggu, keluarlah kepala Sim di iringi lima orang pengawal yang kekar bertampang sangat di belakang nya.
"Selamat datang Totiang. Siapakah mereka berdua yang Totiang bawa ini?" Tanya Kepala Sim kepada mereka yang ada di situ.
"Mereka berdua adalah perantau yang lewat sini. Karena terlihat mencurigakan, kami mengajak mereka kemari untuk meminta izin ketua terkait tentang mereka berdua".
"Siapa kalian?" tanyanya kepada Siaw Jin dan Naya.
"Kami hanyalah perantau biasa dari kampung daerah himalaya yang ingin menjumpai seorang kenalan guru kami di Tibet. Kebetulan kami melihat desa ini dalam keadaan kelaparan maka kami pun singgah untuk makan Tuan". Sahut Siaw Jin dengan sangat sopan.
"Siapakah nona ini? Apakah dia istrimu?"
"Bukan tuan, dia adalah adikku".
"Baiklah, besok kalian boleh pergi. Malam ini menginap lah disini. Asiang!! Siapkan dua kamar terbaik untuk mereka". Seru kepala Sim kepada pelayan yang tergopoh gopoh berlari menyiapkan kamar.
"Tidak perlu kepala desa. Kami ingin melanjutkan perjalanan secepatnya. Terimakasih". Naya berkata sambil menarik lengan Siaw Jin keluar.
Langkah mereka segera dihadang oleh empat pendeta yang merah padam wajahnya.
"Dasar kalian tak tau diri. Kepala Sim telah berbaik hati memberi kebaikan malah kalian tolak. Kalian tidak boleh pergi sebelum mengikuti perintah ketua". Ucap seorang pendeta yang tampaknya menjadi pemimpin pendeta lainnya.
Naya yang sudah marah ingin mencabut pedang nya yang didapat dari Xiansu dulu. Namun keinginan nya terhalang oleh isyarat mata Siaw Jin yang barusan saja mendengar suara anak kecil menjerit dari arah belakang.
"Baik, kami akan menginap disini tuan. Terimakasih banyak kami ucapkan. Namun kami sudah biasa tidur sekamar berdua. Biarlah kami tinggal di satu kamar saja malam ini". Seru Siaw Jin sambil menahan cubitan keras di pahanya yang dilakukan oleh Naya.
Dengan enggan, akhirnya kepala Sim menerima usul Siaw Jin asalkan malam ini mereka menerima jamuan nya.
Dari gerak gerik para pendeta, kepala Sim dan pelayan serta pengawal kepala desa itu, Siaw Jin dapat merasakan bahwa akan ada kejadian aneh yang akan terjadi kepada mereka.
Tak lama kemudian, Siaw Jin dan Naya sudah berada di dalam kamar besar, luas dan indah yang telah dipersiapkan.
Mereka berdua mandi secara bergantian dan memakai baju yang memang terdapat pada buntalan pakaian masing masing.
Selesai mandi ketika petang tiba, Naya duduk di atas tempat tidur besar dan indah itu sambil bertanya,
"Kanda, kenapa kita harus tinggal sekamar? Kau tak akan macam macam kan kepadaku?"
"Aku sengaja meminta kita sekamar agar aku bisa mengawasi gerak gerik mereka. Sepertinya ada yang tidak beres disini. Makanya kau ikuti saja. Yang perlu kau ingat adalah jaga baik baik dirimu dan jangan gegabah. Kita harus tau apa maksud mereka memaksa kita begini". Jawab Siaw Jin.
Baru saja Naya akan berkata, seorang pelayan mengetuk kamar mereka untuk mempersilakan keduanya minum teh bersama tuan rumah.
Kedua nya pun segera keluar. Namun betapa kagetnya Siaw Jin dan Naya ketika mereka tiba di ruang tengah, mereka melihat puluhan ahli silat telah berada disana.
Insting Siaw Jin dan Naya sebagai ahli silat meningkat. Mereka berdua menjaga setiap kemungkinan yang akan terjadi.
"Benar, itu mereka!!" Ucap An Bi seraya menunjuk ke arah Siaw Jin dan Naya yang berdiri sambil bersiap menanti apa yang akan terjadi.
BERSAMBUNG. . .