Istri mana yang tidak bahagia bila suaminya naik jabatan. Yang semula hidup pas-pasan, tiba-tiba memiliki segalanya. Namun, itu semua tidak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang akhirnya mengangkat derajat keluarga nyatanya justru melenyapkan kebahagiaan Jihan.
Suami yang setia akhirnya mendua, ibu mertua yang penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya.
Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula Fahmi hadir kembali bersamaan dengan wanita masa lalu Aidan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20~ MENU BARU
Menjelang sore, Jihan bersiap-siap untuk pulang, setelah sebelumnya membersihkan etalase dan mengeluarkan wadah-wadah yang sudah kosong. Ia pun menuju kediaman sang bos untuk memanggil putranya sekaligus berpamitan pulang.
"Jangan lupa ya, bikin kue untuk percobaan besok." Ujar Nayra.
"Iya Mbak, sekalian dari sini aku juga mau mampir beli bahan-bahannya." Ucap Jihan.
"Semoga kue kamu nanti banyak peminat ya,"
"Aamiin," balas Jihan. Kemudian segera berpamitan pergi.
Ketika ia dan putranya berjalan menuju persimpangan untuk mencari kendaraan umum, sebuah mobil tiba-tiba saja singgah di depannya. Jihan pun menggenggam tangan putranya, sebab ia mengenali mobil itu adalah milik dokter Aidan.
"Bunda, itu Om Dokter." Tunjuk Dafa ketika Aidan turun dari mobil.
Aidan mempercepat langkahnya dan berdiri di sisi Dafa," Mau pulang ya?" Tanyanya pada anak lelaki itu, namun sorot matanya justru melirik ke Jihan, berharap wanita itu yang menjawab.
"Iya, Om." Jawab Dafa.
"Kalau gitu, biar Om antar aja ya? Kebetulan jalan pulangnya searah kok." Tawar Aidan, sekali lagi ia melirik Jihan.
"Boleh, Om." Dafa terlihat senang, sebab ini pertama kalinya ia akan menaiki mobil mewah. Dulu, saat pertama kali ayahnya memiliki mobil, ia belum pernah diajak jalan-jalan lantaran pekerjaan ayahnya mulai padat. Hanya janji dan janji yang terus ia tunggu, sampai akhirnya sang ayah mulai berubah dan tidak mempedulikannya lagi.
Jihan langsung bereaksi menarik tangan putranya, "Gak usah, Dok. Kami gak langsung pulang kok, saya mau singgah dulu beli bahan-bahan untuk buat kue." Ucap Jihan.
Aidan tersenyum mendengarnya, ia paham Jihan berusaha menolak, "Ya gak apa-apa, biar sekalian saya bantu bawakan barang belanjaannya nanti."
"Saya gak mau merepotkan, Dok. Lagipula Dokter juga pasti lelah sepulang dari rumah sakit, sebaiknya Dokter pulang saja beristirahat. Biar kami naik angkot saja," ujar Jihan.
"Enggak kok, sama sekali gak merepotkan. Dan ... saya juga gak begitu merasa lelah, jadi santai saja. Ayo," ia langsung menarik tangan Dafa menuju mobilnya sebelum Jihan melontarkan penolakan lagi.
Jihan tak dapat berkata apa-apa lagi begitu Dafa telah masuk ke mobil, mana mungkin ia meminta putranya untuk turun kembali. Pada akhirnya ia pun terpaksa menerima tumpangan dokter Aidan.
Aidan melajukan mobilnya setelah Jihan masuk dan duduk di bagian belakang, sementara Dafa duduk di sampingnya. Sesekali ia melirik dari kaca spion, melihat Jihan yang terus menatap ke arah jalan.
"Mobilnya Om Dokter bagus ya, Bunda. Apa mobil Ayah juga sebagus ini?"
Pertanyaan Dafa mengalihkan perhatian Aidan, pun dengan Jihan yang terus menatap ke arah jalan.
"Dafa, gak boleh gitu, Nak. Duduk yang mantap." Tegur Jihan pada putranya yang meraba-raba bagian dashboard sembari meneliti segala yang ada di dalam mobil itu.
Sementara Aidan hanya tersenyum, namun sorot matanya tampak sendu melihat tingkah Dafa. Dalam hati bertanya, apakah anak itu sama sekali tidak pernah melihat bagian dalam mobil ayahnya sehingga mengajukan pertanyaan demikian pada bundanya.
"Dafa, kalau nanti Om ada cuti. Mau gak Om ajak jalan-jalan?"
"Mau Om!" Seru Dafa dengan senangnya.
"Dafa mau ke mana? Om turutin deh,"
"Ke taman bermain, Om. Dulu Dafa pengen ke situ, tapi Ayah gak pernah sempat." Ujar Dafa.
Aidan menghela nafas, kini pertanyaan lain timbul dalam benaknya. Sesibuk apa ayahnya Dafa sehingga tidak ada waktu untuk putranya sendiri.
"Kenapa Dafa gak pergi sama Bunda aja?" Tanya Aidan.
Wajah Dafa seketika tampak murung, "Kasihan Bunda, Om. Bunda capek... ."
"Dafa," potong Jihan. Ia tidak mau putranya sampai menceritakan bagaimana lelahnya ia yang hanya seorang diri mengerjakan semua pekerjaan rumah. Bukannya mendapat perhatian atas rasa lelahnya, justru makian dan cacian yang terus ia dapatkan.
Dafa terdiam, suasana di dalam mobil pun hening sepanjang perjalanan. Aidan masih sesekali menatap Jihan melalui spion di depannya. Kata capek yang diucapkan Dafa kini terus berputar dalam pikirannya, ia mulai menerka-nerka apa maksud dari kalimat terpotong itu.
Begitu sampai di toko yang khusus menjual berbagai bahan kue, Aidan turun lebih dulu lalu membukakan pintu untuk Dafa. Ketika ia berbalik hendak membukakan pintu untuk Jihan, rupanya wanita itu telah lebih dulu turun.
"Dok, sekali lagi terima kasih karena sudah memberi tumpangan. Kalau Dokter mau pulang gak apa-apa, biar nanti kami pulang naik angkot saja." Ucap Jihan. Ia benar-benar merasa tidak enak jika dokter Aidan harus menunggunya berbelanja dan setelah itu akan mengantarkannya pulang.
"Tadi saya sudah bilang kan, mau bantuin sekalian bawakan barang belanjaannya. Ya udah, ayo sekarang kita masuk." Tanpa mengulur waktu Aidan lekas mengajak Dafa untuk masuk lebih dulu.
Jihan pun segera menyusul, ia langsung mengambil keranjang dan mulai mencari bahan-bahan yang diperlukannya.
Ketika Jihan telah selesai berbelanja, Aidin sigap mengambil keranjang belanjaan itu dan langsung membawanya menuju kasir.
"Totalnya semua 250 ribu,"
Jihan merogoh tasnya untuk mengambil uang, namun ia kalah cepat oleh Aidan yang lebih dulu menyodorkan uang ke kasir.
"Dok, gak usah, biar saya bayar sendiri." Jihan berusaha menolak, namun Aidan tak mempedulikan. Lelaki itu meminta kasir membungkus semua barang belanjaan yang kemudian ia bawa ke mobil.
"Dafa lapar gak? Kita mampir makan dulu yuk," tawar Aidan setelah memasukkan barang belanjaan Jihan ke dalam bagasi.
Baru saja Dafa akan menjawab, namun sang bunda memberinya kode dengan gelengan kepala. "Terima kasih, Om, tapi gak usah. Di rumah masih ada lauk yang semalam kok, nanti mubazir kalau gak dimakan." Jawabnya kemudian.
"Masya Allah, kamu pintar sekali." Aidan tersenyum sembari mengusap pucuk kepala anak lelaki itu. Seharusnya mantan suami Jihan bangga memiliki anak seperti Dafa, bukannya malah mengabaikan seperti ini.
"Ya udah, sekarang ayo Om antar pulang. Aidan membuka pintu lalu menggendong Dafa masuk ke mobil, setelahnya ia pun masuk ke bagian kemudi dan langsung melajukan mobilnya begitu Jihan telah duduk di belakang.
"Oh ya, apa kontrakan kamu masih jauh?" Tanya Aidan seraya menoleh ke belakang sebentar. Kemudian membuka aplikasi Google Maps begitu Jihan menyebutkan alamat tempat tinggalnya.
Tak berapa lama kemudian mereka pun akhirnya sampai, sejenak Aidan tertegun menatap tempat tinggal Jihan dari dalam mobilnya. Kontrakan kecil dimana cat dindingnya pun sudah terkelupas. Ia jadi membayangkan bagaimana setiap harinya Dafa dan bundanya tinggal di tempat itu, sementara mungkin ayahnya Dafa tinggal di tempat yang layak.
"Dok, terima kasih sudah mengantar pulang."
Aidan terhenyak, ia menoleh ke belakang dan tersenyum pada Jihan. "Sama-sama," ucapnya lalu turun. Mengeluarkan barang belanjaan Jihan dari dalam bagasi dan membawanya ke teras kontrakan.
"Saya langsung pamit pulang ya," ucapnya, sebab tahu Jihan tidak akan menawarkannya masuk. Selain waktu sudah mendekati magrib, Jihan juga tidak akan enak dilihat oleh tetangga sekitar membawa laki-laki asing masuk ke kontrakannya.
.
.
.
"Alhamdulillah, semuanya berjalan lancar sesuai seperti harapan kita semua." Ucap Nayra dengan penuh syukur.
Di hari pertama percobaan menjual kue buatan Jihan sebagai menu baru, mendapat respon positif dari para pelanggannya. Dan kini telah dua minggu berjalan, tokonya semakin ramai pengunjung yang mengharuskannya menambah dua pegawai lagi yang masing-masing bertugas membantunya melayani pembeli dan membantu Jihan membuat kue.
"Alhamdulillah, Mbak. Saya gak nyangka banget kue buatan saya bisa banyak peminatnya seperti ini." Ujar Jihan.
Kedua wanita itu tak hentinya tersenyum melihat pembeli yang silih berganti datang.
"Eh, itu sepertinya orang kantor yang datang mau ambil kue." Tunjuk Nayra pada sebuah mobil baru saja datang.
Dua orang pria turun dari mobil itu dan langsung menghampiri Nayra dan Jihan. "Kami ditugaskan Pak Vano untuk mengambil kue," ucap salah satu dari dua pria itu.
"Ayo, kue nya ada di belakang," Nayra dan Jihan bergegas ke belakang yang langsung disusul oleh dua pria itu untuk mengambil kue kue yang sudah dikemas berjumlah 100 boks. Pesanan rutin setiap bulan dari kantor adik iparnya untuk para karyawannya. Dan untuk bulan ini pun ia memasukkan kue buatan Jihan sebagai menu baru.
hadech mama Kiara jangan galak2 dong bisa jantungan itu si Jihan papa Denis berasa Dejavu g tu anaknya mau mepet janda 🤭🤭🤭
ayo om dokter Pepet terus jangan kasih kendor dah pasti dibantuin nyomblangin kok ama bang Rian n Nayra 🤭🤭🤭